Pengunjung

Senin, 19 Desember 2016

Kebohongan itu Manis, Vardhazh

KEBOHONGAN ITU MANIS, VARDHAZH
Oleh INDRA TRANGGONO



Seluruh rakyat Republik Garpallo sangat yakin, Presiden Grag-Gaz telah mati. Di layar televisi, rakyat menyaksikan peti jenazah Presiden Grag-Gaz diturunkan ke liang lahat diiringi music dan tembakan salvo, sebelum akhirnya ditimbun tanah.
Kamera televisi juga menyapa wajah-wajah istri, anak, menantu, sanak keluarga Presiden Grag, pejabat-pejabat tinggi, duta-duta besar berbagai negara, para konglomerat, tokoh-tokoh agama, politisi, akademisi, seniman, militer, dan pelayat lainnya yang menyiratkan duka yang mendalam.
“Sungguh…. Negeri ini sangat kehilangan putra terbaik bangsa. Tuan Grag-Gaz telah membawa menuju horizon cahaya,”kata Sarvantina Tunner, Ketua majelis Tinggi Perwakilan Rakyat Republik Garpallo di akhir pidato sambutannya.
Kompleks Taman Makam Pahlawan seluas sepuluh hektar itu disulap menjadi arena yang penuh warna. Terpampang baliho-baliho besar yang memasang wajah tampan Presiden Grag serta berbagai kegiatan sosialnya, foto empat istrinya, 25 anaknya, 25 menantunya, dan puluhan cucunya. Semua foto itu tidak dicetak tapi dilukis oleh belasan maestro.
Di beberapa tempat ada kemah-kemah yang dijaga perempuan-perempuan cantik yang siap melayani berbagai permintaan makanan dan minuman. Ada juga kemah besar yang memajang seluruh memorabilia sang presiden, misalnya album sejarah yang menggambarkan perjalanan kariernya, sejak ia mahasiswa, terjun di partai politik, jadi tokoh oposisi, jadi ketua partai, dan jadi presiden.
Istri keempat Tuan Grag, Nyonya Zabathini yang berusia sekitar 35 tahun dan cantik itu, kepada para wartawan bilang bahwa pihak keluarga harus memenuhi pesan dari suaminya agar membuat pesta ketika Tuan Grag meninggal. “Kematian harus dirayakan karena kematian adalah kemenangan mengatasi waktu menuju keabadian. Begitu kata Tuan Grag saat beliau selesai menjalani operasi jantung yang ternyata gagal….,” ucap Nyonya Zabathini terisak.
Berbagai media massa cetak dan elektronik mencatat bahwa upacara kematian Tuan Grag adalah upacara paling besar dan sukses dalam sejarah meninggalnya tokoh-tokoh penting negeri Garpallo. Tempat pemakaman telah berubah menjadi arena pesta dan bazar. Tercatat sekitar hampir dua juta orang melayat, 500.007 karang bunga, omzet pedagang kaki lima mencapai 600ribu dollar, dan omzet parkir kendaraan mencapai 200 ribu dollar.
Entah siapa yang menggerakkan, mendadak muncul gelombang demonstrasi mahasiswa. Ratusan ribu massa meluberi Grag-Gaz Square. Bendera-bendera berkibar-kibar. Poster-poster menyala. Mereka menuntut seluruh harta Tuan Grag disita. “Selama 25 tahun Presiden Grag berkuasa, negara telah dirugikan sebesar 800 miliar dollar!” teriak anak muda dengan pita merah terbebat di kepala.
Vardhaz, presiden pengganti Tuan Grag, telah memerintahkan Menteri Pertahanan Gargano Zappulato untuk melibas aksi mahasiswa. Jaksa agung Valoe Bessy pun telah ditugaskan untuk menutup pengusutan kasus dugaan korupsi Tuan Grag.
“Tuan Grag itu junjungan kita semua. Tidak elok kita mencari-cari kesalahan beliau. Dan kalua toh beliau ini bersalah, maka aku sudah mengampuni sebelum dimohon. Bangsa yang berbudi luhur adalah bangsa yang mau memberi maaf sebelum diminta,” kata Vardhazh dalam jumpa pers di istana negara.
Para demonstran semakin meradang. Mereka menjebol pagar istana.
“Saya sangat yakin, Tuan Grag tidak pernah korupsi. Beliau ini tak lebih dari seorang pertapa dalam memimpin negara. Hanya makan kentang dan ikan asin ditambah kecap,” ucap Vardhazh.
Para demonstran semakin meradang. Namun, orang-orang berseragam dan berwajah garang menghalau mereka. Terjadi baku hantam. Banyak orang luka. Berdarah. Para demonstran tak menyerah, namun tembakan gas air mata membuat mereka lari lintang pukang.
“Saya tidak suka anarki! Kepada adik-adik mahasiswa saya pesan, hentikan semua hujatan dan makian jika kalian tidak ingin bobok manis di sel tahanan,” ujar Vardhazh.
Vardhazh disertai para pengawal bersenjata lengkap, melaju dengan mobilnya menuju vila di Bukit Sutra. Bukit ini sering disebut orang sebagai bukit pengampunan yang dipilih para penguasa untuk istirahat dan merenung.
Kehadiran Vardhazh memecah sunyi tafakur seorang laki-laki gagah yang bersimpuh di atas karpet. Laki-laki itu memberi isyarat melalui pandangan matanya. Vardhazh pun duduk di kursi agak jauh dari posisi laki-laki gagah itu. Beberapa saat kemudian, laki-laki gagah itu beranjak dan menemui dan memeluk Vardhazh erat-erat.
“Tuan Grag…,” ucap Vardhazh spontan.
“Ssssttttt… jangan keras-keras…,” ucap laki-laki tambun itu lirih.
“Maafkan saya tuan….”
“Bagaimana perkembangan keadaan, Tuan Presiden Vardhazh?”
“Tuan Grag jangan mengolok-ngolok saya. Saya tak lebih dari pembantu Tuan….”
“Riil, kamu ini presiden, boy. Kenapa masih gamang? Aku memang sengaja memilihmu untuk menggantikan aku melalui siding Majelis Tinggi. Oya, apa yang bisa kamu laporkan, Vardhazh?”
“Rakyat percaya bahawa Tuan telah mati. Ya, mereka sangat yakin bahwa Tuan Grag ada di dalam peti mati yang dimasukkan dalam liang lahat dalam pemakaman itu. Sungguh, ini teater yang paling sempurna dan ajaib.”
“Begitulah yang kuinginkan. Begitulah yang terjadi. Oo ya, aku sangat terkesan dengan pernyataanmu dalam jumpa pers bahwa setiap hari aku hanya makan kentang, ikan asin, dan kecap. Kamu pintar mengambil hati rakyat….”
“Maafkan saya Tuan… maafkan. Saya telah berbohong….”
“Itu kebohongan yang manis, Vardhazh… Sangat manis… Begitulah seharusnya. Seorang penguasa harus pintar beternak kebohongan. Hanya dengan menanam kebohongan di mulut, orang macam kita bisa bertahan.”
“Benar, Tuan. Semua itu seperti yang pernah say abaca dalam buku Kebohongan yang Sopan yang Tuan tulis.”
“Kamu telah tuntas membacanya?”
“Bukankah itu bacaan wajib bagi seluruh kader partai kita, Tuan?”
Tuan Grag tersenyum. “Berarti kamu sudah menyerap sari pati kebohongan. Ini tak ada hubungannya dengan dosa atau apa…. Yang harus kamu tahu, rakyat selalu kecanduan untuk bohongi.”
“Ooo tentu, Tuan…. Dalam soal kebohongan Tuan adalah maestronya. Aduh maaf Tuan, maaf….”
No problem, boy. Itu predikat yang elegan. Maestro kebohongan. Dan aku suka,” Tuan Greg tertawa.
Ketegangan yang sempat dirasakan Vardhazh langsung mengendor. Suasana pun cair. Vardhazh mengusap keringat di keningnya dengan tisu basah.
“Di balik kebohongan ada tambang emas yang tak pernah habis dikuras. Tapi ingat, kebohongan butuh konsistensi dan keyakinan untuk menjadi kebenaran.”
Kepala Vardhazh mengangguk-angguk seperti mesin.
“Kamu telah melihat sendiri bagaimana aku mementaskan sandiwara kematianku. Aku susun skenarionya sendiri. Aku jadi sutradaranya sekaligus produsernya. Aku rekrut para profesional dari direktur rumah sakit, dokter-dokter spesialis, pers, ahli rias, dan event organizer,” ujar Tuan Greg sambil menuangkan anggur merah di gelas.
“Tuan tidak khawatir rahasia ini bocor?”
“Kekhawatiran itu tetap ada meskipun aku sudah melenyapkan profesional yang terlibat dalam proyek sandiwara kematianku. Oya, aku punya ide. Aku akan operasi wajah. Semua sudah siap. Minggu depan kulaksanakan.”
“Tuan memang hebat. Cerdas.”
“Aku masih bingung menentukan bentuk dan rupa wajahku nanti…. Ada usul? Yang penting jangan mirip wajah actor opera sabun.”
“Bagaimana kalua hidung tuan dibikin lebih mancung dan mata Tuan dibikin lebih lebar?”
“Ah itu mirip tukang jual obat di Golden Park. Dan lagi, hidung saya kan sudah mancung. Mosok saya harus mirip Pinokio? Boy, aku ingin wajahku berubah total. Misalnya mirip wajah seorang rabi atau orang-orang suci.”
Vardhazh disergap rasa heran. Tapi hanya diam. Tuan Grag tampak berfikir keras.
“Bagaimana jika wajahmu saja kupinjam untuk dijadikan model? Wajahmu polos. Tak ada aura kejahatan. Bagaimana?”
Vardhazh tersengat. Dadanya sesak. Jantungnya berdetak cepat. “Barangkali Tuan bisa mencari model wajah yang lain…,” ujar Vardhazh gugup.
Tuan Grag menggeleng. “Aku ingin jadi dirimu. Aku ingin ikut mengendalikan pemerintahan di negara kita. Kamu keberatan?”
Darah Vardhazh berdesir. “Tentu tidak, Tuan….”
“Bagus Aku harus menjadi presiden lagi dengan meminjam wajahmu! Oke, boy?”
Dada Vardhazh terasa semakin sesak. Mendadak ia tumbang. Tuan Grag tersenyum.
Operasi wajah Tuan Grag berjalan lancer dan hasilnya sempurna. Wajah Tuan Grag kini sama persis dengan wajah Vardhazh, bahkan hingga jumlah pori-pori atau kerut-merutnya.
Dengan wajah Vardhazh kini Tuan Grag tampil dalam berbagai acara kenegaraan. Ia pun kembali menguasai parlemen, kejaksaan, kehakiman, sektor pajak, sektor migas, anggaran belanja negara, dan lainnya. Namun, rakyat tetap yakin bahwa orang yang memimpin Republik Garpallo saat ini tetaplah Vardhazh yang menggantikan Grag-Gaz yang sudah meninggal enam bulan lalu. Nasib Vardhazh sendiri tidak jelas. Soal ini, hanya keluarga Vardhazh yang tahu.
Setiap terjadi demonstrasi. Rakyat tidak puas pada kepemimpinan “Vardhazh” yang dianggap korup. Rakyat merindukan kembalinya kekuatan politik Grag-Gaz sangat bersih. Maka, sekenario pengganti “Vardhazh” pun telah disiapkan Tuan Grag. Nyonya Zabhatini, istri keempat Tuan Grag, telah dipilih untuk menjadi presiden.

Kompas, Minggu, 8 Maret 2015

FOKUS

FOKUS
Oleh PUTU WIJAYA

“Kasus pembegalan yang diungkap tv, seperti mengembalikan kita ke zaman cerita-cerita yang sering digelar oleh teater rakyat,”kata seorang tetangga, membuka percakapan, di pertemuan rutin tahunan warga.
Kita dibawa kembali ke masa ketika jalan-jalan yang sepi dan gelap, menjadi angker. Karena bromocorah gentayangan. Tidak ada polisi yang menjaga kenyamanan hidup warga. Adanya hanya prajurit untuk berperang demi membela Negara,” sambut tetangga yang lain.
“Jadi keselamatan Negara memang terjaga tapi keamanan rakyat tidak!”
“Itu berarti kita sudah melangkah mundur,” sambut tetangga lain lagi.
“Dan ironisnya, itu terjadi di tepi Jakarta! Ibukota Negara dan jendela ke mancanegara! Bagaimana nanti pandangan dunia kepada kita? Pasti minat untuk infest di Indonesia berkurang drastis! Yang sudah ada pun bias kabur!”
“Betul! Banyak orang tidak ngeh, apa sebenarnya yang sedang terjadi. Akan kemana kita dibawa oleh globalisasi?”
“Menurut paranormal, penasihat spiritual saya, yang baru pulang dari Afrika, dia bilang….”
“Pak Jenggot?”
“Betul.”
“Wah paranormal berbobot itu! Ngapain beliau ke Afrika?”
“Katanya akhir tahun lalu, yang namanya ‘kebenaran’ ada di situ. Pak Jenggot mau mencegatnya, karena tidak ada skejulnya ke Jakarta. Jadi, Pak Jenggot mau mengkonfirmasikan praduganya pada tahun 2015 ini.”
“Sudah?”
“Belum sempat, karena ada satu dan lain hal yang memerlukan prioritas, apa eksekusi terpidana mati yang dihimbau beberapa suara, agar diberikan grasi, tidak dianggap prioritas?”
“O, ya, itu juga sudah pasti termasuk dalam agendanya!”
“Betul! Tapi kita sudah kebanyakan prioritas. Saya heran juga, gunung meletus, banjir, pesawat jatuh, gesek-gesekan, semua prioritas. Apalagi yang akan menyusul besok, ya? Segalanya datang beruntun, sambung-menyambung. Baru selesai pemilu yang menyenangkan, ada lagi, ada lagi yang lain. Yang untung tv dapat berita panas terus. Iklan mengucur, kita hancur!”
“O ya, maaf, rumah Pak Alit denger-denger kena banjir?! Itu juga prioritas buat kita, sebab bias merembet ke rumah kita!”
“Jelas! Rumah saya kan juga sudah mulai digerayangi. Itu gara-gara sungai yang di belakang kita itu, ditutup, jadi airnya meluap ke kita.”
“Kita harus protes itu!”
“Siapa yang berani? Ada rumah jenderal di situ! Mau dikarungin apa?”
“Nanti dulu! Yang begal itu sebenarnya sudah ditangkap habis belum? Ada yang ditembak mati kan?!”
“Tembak mati saja kalau ketangkap, kata ibu dari anak yang mati ketika pembegalan itu. Muka ibu itu tenang tapi usulnya sadis!”
“Itu lumrah-lumrah saja. Kata orang, perempuan memang bisa lebih sadis dari lelaki!”
“Ya, itu perempuan yang Bapak kenal. Istri saya tidak!”
Semua ketawa berderai.
“Ah sama saja! Cuma ada yang kelihatan, ada yang tidak. Kata orang wanita kan sebuah buku yang tidak pernah habis dibaca!”
“Betul, tidak, Pak Amat?”
Amat tersenyum, lalu tertawa, tapi tidak menjawab. Malahan kemudian berdiri dan berjalan pulang. Meninggalkan pertemuan.
“Semua ngaco. Tidak ada yang bener,” gerutu Amat setelah sampai di rumah. “Ngomong seenak perut saja. Asu teman! Semua! Apa yang ada di perut, langsung disemburkan. Ngumpul-ngumpul memang lebih banyak negatifnya! Pembicaraan ngalor-ngidul tidak pernah fokus! Hanya tambah mengacaukan, mengapungkan persoalan. Itulah wajah kita sekarang!”
“Kita?” potong Bu Amat keluar dari kamar sambil menyodorkan lis sumbangan warga untuk perbaikan saluran air agar rumah Pak Alit bebas banjir.
Amat melirik li situ sinis.
“Dia yang kebanjiran, karena bandel tidak mau meninggikan lantai rumahnya, kenapa kita yang ditodong menyumbang?”
“Itu kata Pak Alit, kan!”
“Bukan! Itu keputusan rapat warga yang tidak mau Bapak hadiri!”
“Karena tahu hasilnya begini!”
“Salah! Kalau Bapak datang, hasilnya akan lain! Akan lain! Akan lain!!!”
Amat tercengang.
“Akan lain?”
“Ya! Karena, jangan salah! Mereka sebetulnya sangat segan, hormat, menghargai Bapak, yang terhitung paling senior di hunian kita ini! Mereka yakin apa yang Bapak katakana pasti adil, waras dan betul. Tadi, apa yang Bapak katakana, tadi?”
“Apa ya, di pertemuan tadi, semua orang ngomong, ngomong, ngomong terus, ngalor-ngidul, ngalor-ngidul, tidak ada focus, sampai pertemuan selesai. Tidak ada focus, sampai pertemuan selesai. Tidak ada keputusan mau apa komunitas kita ke depan ini. Habis waktu untuk menggunjingkan politik!!”
“Lho itu kan berarti semua orang mau memberikan masukan pada Bapak. Semua warga percaya Bapak akan memilihkan mereka focus. Ada kan yang bertanya tadi bagaimana pendapat Bapak? Ada, tidak?”
“Ya, ada.”
“Nah itu, mereka pasti minta fokus! Mereka menunggu fokus dari Bapak! Itu tandanya Bapak punya wibawa pemimpin. Makanya awas, jangan suka membegal diri-sendiri. Jiwa kepemimpinanmu itu kelebihan, karunia Tuhan Yang Maha Kuasa di atas situ! Harus dijunjung tinggi! Paham?”
Amat bengong.
Di kesempatan berikutnya, Amat hadir lagi dengan kiat baru.
Seperti sebelumnya, percakapan terlempar ke sana kemari. Dari soal turunnya harga bahan bakar, sampai fenomena ISIS.
Amat siap untuk memberikan fokus. Menjawab kalau ada pertanyaan. Agar pertemuan itu bermakna. Tidak hanya sekedar menguruk sumur yang tanpa dasar.
  Lima jam Amat terpental-pental oleh berbagai usul, opini, curhat, kabar-kabur dan segala macam berita panas kutipan dari tv dan media massa lainnya.
Tengah malam Amat kembali ke rumah. Mukanya seperti penjudi yang terkuras habis. Wajah kuyup oleh kecewa.
“Bagaimana hasilnya, Pak,” Tanya Bu Amat sambal memijat punggung suaminya. Amat menjawab kesal.
“Sama saja. Cuma buang-buang waktu. Ramai seperti pasar. Semua rebutan bicara. Tapi bukan mencari solusi buat hunian kita. walhasil buntutnya nol!”
“Bapak sempat ngomong?”
“Ngomong apa? Tidak ada fokus!”
“Kenapa tidak difokuskan?!”
“Habis tidak ada yang nanya!”
Bu Amat kecewa.
“Lho bagaimana sih Bapak! Kalau melongo saja ngapain ikut rapat? Jangan tunggu sampai ada yang nanya! Asal sudah ketemu celah, langsung saja diembat! Harus di depan mengambil inisiatif. Belok kanan, belok kiri, melompat, kalua perlu mundur atau balik arah! Pemimpin tidak boleh nunggu kesempatan! Justru harus bikin kesempatan!”
Amat tak menjawab. Karena terlalu ngantuk. Ia tergelincir tidur.
Tapi dalam pertemuan warga berikutnya (karena belum juga ada putusan), Amat mempraktekkan usulan istrinya.
Sebelum sempat warga lain buka mulut, Amat langsung ngoceh. Suaranya lantang dan jernih.
“Saudara-saudara, jangan lupa, kita harus cari solusi untuk melindungi anak-anak remaja kita dari ancaman narkoba dan pornografi lewat internet, sebelum nasi jadi bubur!”
Tak ada yang menjawab. Dengan semangat berapi-api, Amat terus menembaki kerawanan moral masa kini, membentangkan teorinya sendiri, bagaimana caranya bilang “tidak”. Tapi peserta rapat tidak ada yang peduli. Mereka mulai ngobrol dengan teman-teman di sebelahnya. Akhirnya Amat terpaksa menghentikan ceramahnya.
Hanya satu jam, pertemuan bubar. Tahun-tahun sebelumnya, pertemuan pernah baru berakhir subuh, itu pun juga belum tentu berhasil membuat keputusan.
Amat yang terakhir meninggalkan ruangan. Ia merasa, itulah hari yang paling menyebalkan, sepanjang sejarah rapat rutin warga yang sudah 5 tahun jalan itu. Singkat, menyebalkan dan kosong-melompong.
Di rumah, Bu Amat terpaksa lembur memijit lagi. Bukan hanya pundak, tapi seluruh tubuh Amat. Sembari mengantuk ia menghibur.
“sudahlah, Pak, taka pa, kebesaran seorang pemimpin, tidak hanya ditentukan oleh sukses dan keberhasilannya. Tetapi juga oleh segala kekalahan, kegagalan dan kekecewaannya! Karena itu, piker yang matang-matang. Mau jadi pemimpin atau rakyat biasa saja?!”
“Ya sudah, jadi rakyat jelata saja.”
Namun demikian, Amat tidak kapok. Ketika diundang rapat lagi, ia datang dengan bersemangat.
Ia ikut rebutan buka mulut, dengan berbagai isyu panas dari tv dan media massa lain. Rapat jadi riuh dan galau. Tapi hangat, ceria dan berhasil menelorkan keputusan.
“Bagaimana, berhasil?” sambut Bu Amat menyapa suaminya yang pulang dengan wajah berseri-seri.
“Sip!”
“Apa keputusannya?”
“Terus menggelinding, mengalir seperti sungai.”
“Maksudnya?”
“Keputusannya singkat, padat dan tepat.”
“Apa?”

“Secara aklamasi rapat memutuskan: tidak perlu ada keputusan!”
Kompas, 2015