Pengunjung

Sabtu, 18 Februari 2017

Biografi Pohon Sidrah

Biografi Pohon Sidrah
Oleh ROYYAN JULIAN


KALAU kau percaya bahwa pohon sidrah hanya tumbuh di lapis langit ketujuh, kau salah besar, Musawir. Aku melihatnya di area gundukan tanah Dusun Palanggaran. Setiap matahari jatuh di kaki langit, serumpun pohon akan memijarkan cahaya hijau yang lembut; meredupkan pendar ribuan kunang-kunang yang berterbangan di sekitarnya.
Setidaknya begitulah yang dikatakan sahabatku, Lien, ketika ku katakana kepadanya tentang pohon sidrah yang dikisahkan Kiai Ahyar. Gadis bermata sipit itu menggeleng-geleng saat mendengar tuturku tentang perjumpaan sang Nabi dengan pohon itu tatkala mikraj menembus langit tertinggi. Aku sedikit tersinggung Karena Lien tak bersikap takzim kepada guru ngajiku itu.
“Bukannya aku tak menghormati gurumu. Kalau kau mau, aku bisa menunjukkan di mana pohon itu berada.”
Tentu aku lebih percaya kepada Kiai Ahyar yang repotasinya sudah tak diragukan daripada kepada Lien meskipun ia tak pernah berdusta. Tetapi, tawarannya untuk menunjukkan lokasi itu membuat keyakinanku sedikit goyah. Bila ia terbukti benar, robohlah kisah yang dituturkan Kiai Ahyar tentang persinggungan sang Junjungan dengan pohon terang-benderang di langit ketujuh.
“Pohon Sidrah, sebagaimana ciri-ciri yang kau sebut, hanya bisa dilihat ketika hari mulai petang. Ia tampak seperti pohon biasa bila matahari masih bercokol di cakrawala.”
Lalu pada hari itu juga, atas rasa penasaranku yang menggebu-gebu, kami datang ke Dusun Palanggaran saat senja condong kea rah barat. Yang perlu kubawa hanyalah obor yang akan menjadi penerang jalan pulang.
Saat kami sampai di sana, hari nyaris petang. Palanggaran adalah dusun yang tak berpenghuni. Dulu, ketika aku masih kecil, ibuku pernah bercerita bahwa Ki Moko, leluhur kami, telah mengutuk warga Dusun Palanggaran atas tabiat kikir mereka. Masyarakat pelit itu kemudian meninggalkan dusun mereka, menjadi peminta-minta hingga tujuh turunan. Dusun itu menjadi senyap. Pesantren kecil Ki Moko kehilangan murid-muridnya. Di sana hanya tinggal Ki Moko dan istrinya. Sampai saat ini, tak seorang pun tahu di mana makam Ki Moko berada. Dan taka da pula orang yang sudi memijak Dusun Palanggaran yang telah mati. Orang-orang menyebutnya “tanah yang dikutuk”.
“Kita akan segera sampai.”
Dari kejauhan kulihat cahaya hijau berpedar di atas area gundukan tanah. Hatiku berdebar kencang. Ini tak mungkin, batinku sambil meyakinkan diri bahwa apa yang bakal kulihat hanyalah sepotong mimpi. Saat kami sampai di hadapannya, aku tahu bahwa pohon itu benar-benar nyata.
“Apakah aku tengah berada di surga?”
Lien tertawa memandang wajah ketakjubanku. “Aku menemukannya dulu ketika mencari belalang bersama sepupuku. Aku tak menangkap serangga lincah itu seekor pun, tetapi aku mendapatkan pengganti yang lebih memukau. Sejak saat itu aku seringkali ke sini. Memandangnya lama-lama membuat kesadaranku seperti terhisap.”
Benar saja apa yang dikatakan Lien. Cahaya pohon itu menyeretku ke ambang antara sadar dan tak sadar. Aku seperti memasuki dimensi lain, lapisan yang lebih spiritual daripada segala doa yang pernah kupanjatkan.
Sebenarnya pohon yang kini kusebut sidrah itu hanyalah serumpun bambu biasa. Rimbunan pohon itu tak terlalu tinggi. Aku tak bisa melihat apa yang ada di pusatnya karena rumpun bambu itu amat rapat. Ia tepat tumbuh di tengah lahan timbul yang cukup luas. Hanya ada rumpun itu, selebihnya hamparan rumput.
Aku tak mau mukjizat ini kunikmati sendiri. Lalu kuceritakan semuanya kepada teman-temanku. Kuantar mereka ke tempat ini. Reaksinya seperti apa yang kurasakan. Ketika menatap pohon ajaib itu, mereka seperti kehilangan kata-kata untuk mengungkapkannya, lupa daratan, dan setelah itu, setelah itu wajah mereka seperti habis diguyur air yang menyegarkan.
Bagaikan wabah yang mematikan, berita tentang pohon itu menyebar ke sejumlah dusun. Orang-orang mulai lupa bahwa Pelanggaran pernah mereka sebut “tanah yang dikutuk”. Pada hari-hari dan bulan-bulan tertentu, mereka berziarah ke pohon sidrah. Setelah menyambangi pohon itu, mereka—sebagaimana aku, Lien, dan temanku—merasa sangat spiritual. Ketakjuban, keterpukauan, dan rasa tersihir membuat orang-orang dari berbagai dusun mencawiskan doa-doa, memadahkan zikir dan salawat. Kini, Pelanggaran bukan lagi dusun yang sepi yang hanya diriuhkan oleh angina dan kerisik daun-daun yang berterbangan oleh desis ular serta bising suara tonggeret.
“Lien, kau tahu apa yang dikatakan Kiai Ahyar setelah kuceritakan pohon itu kepada beliau?” Gadis berkulit keramik itu menggeleng. “Beliau bilang, pohon sidrah Cuma ada di langit ketujuh.” Namun beliau tak pernah melarang orang-orang menziarahinya.
“Musa, meskipun itu bukan pohon sidrah, orang-orang menjadi sakaw dan merasa lebih baik setelah berjumpa dengan pohon itu. Bukankah itu pula yang dialami nabimu setelah bergumul dengan pohon sidrah?”
Aku tak dapat berkata apa-apa lagi. Barang kali dunia ini ada dua pohon sidrah atau lebih. Atau mungkin cuma satu sebagaimana yang dipercaya Kiai Ahyar.
Dari kegelapan jalan, Lien muncul. Melihatnya tergopoh-gopoh, aku meloncat dari atas lincak bambu yang kududuki. Tak sampai di depan rumahku, segera kususul ia dan ingin tahu apa yang terjadi.
“Astaga, Musa, apa kau takt ahu apa yang terjadi?” Itulah kalimat pertama yang diucapkannya ketika berhadapan denganku. Keringat sebiji jagung menetes dari dahinya. Rambutnya yang legam lurus terurai agak berantakan disapu angin.
Rupanya pemerintah Hindia wilayah kami mendengar cerita tentang pohon sidrah; tentang orang-orang berbagai dusun yang menziarahinya. Selama ini, pemerintah Belanda melarang orang-orang berkumpul, berserikat. Menurut pikiran paranoid mereka, orang-orang berserikat biasanya merencanakan pemberontakan. Pemerintah kolonial tak menerima alasan orang-orang berserikat. Bagi mereka, segala perserikatan inlander adalah subversif.
“Malam ini mereka akan menebang pohon sidrah!”
“Jangan panik, Lien.”
“Aku tak mau pohonku dirusak!”
“Bagaimana dengan peziarah?”
“Mereka tak berkutik! Tak aka nada yang mau isi kepalanya luluh lantak dihantam peluru. Lihat itu!” Lien menunjuk pada barisan serdadu Belanda yang diterangi suluh.
Kami mengikuti mereka diam-diam. Tentu kami juga tak bisa berbuat apa-apa. Itu menunjukkan bahwa kami masih lebih mencintai nyawa kami ketimbang pohon keramat itu.
Di Palanggaran, orang-orang segera menghentikan aktivitas ziarah ketika serdadu Belanda datang. Para ziarah menepi, berdiri, dan menyaksikan apa yang akan dilakukan serdadu Belanda. Mereka akan tahu apa yang akan terjadi, tetapi membiarkan segalanya terjadi.
“Kita serahkan semuanya kepada Allah,” tukas seorang di antara mereka.
Langit tak menampakkan bulan, taka da cericit kelelawar. Pohon itu masih memendarkan cahaya hijau yang melenakan. Mungkin Karena sihir pohon itulah para peziarah tak dibakar amarah ketika aktivitas mereka tengah diganggu para penjajah itu.
Dari barisan para peziarah, tiba-tiba terdengar sebuah suara mengalunkan kasidah Burdah. Lantunan syair Al-Busyiri itu terdengar lembut. Lalu suara-suara yang lain mengikutinya.
Lien tampak berkaca-kaca. Jantungku yang sedari tadi berpacu perlahan-lahan menjadi tenang. Tak ada amarah sebagaimana para peziarah. Malam telah dibuaikan oleh koor para peziarah. Yang tersisa hanyalah rasa haru. Sebentar lagi pohon itu akan lenyap di hadapan kami.
“Tian, bila ini kehendak-Mu, biarlah aku rela menerima segalanya,” isak Lien dengan suara nyaris tak terdengar. Setetes air matanya jatuh, meresap ke dalam bajunya yang merah.
Seorang pemimpin barisan memberi isyarat kepada para serdadu. Mereka siaga dengan bayonet dan senapan; berjaga-jaga bila ada peziarah yang hendak berziarah yang hendak menyerang. Tapi kuyakin itu takkan terjadi.
Seorang serdadu maju beberapa langkah, mengacungkan sehunus parang dan menebas sebatang bambu seukuran lengan bocah dengan gerakan cepat. Bukannya jatuh, potongan bambu itu melesat, membumbung ke langit. Penebas itu mendongak. Mulutnya menganga takjub melihat bambu melesat ke atas. Pada ketinggian tertentu, patahan bambu berhenti membumbung dan secepat kilat meluncur ke bawah, menancap ke mulut si penebang. Parangnya terlepas dari genggaman, tangannya terentang. Ia jatuh berlutut dengan kepala mengadah. Dari mulutnya yang tertancap, darah menyembur.
Para peziarah hanya bergumam, barisan serdadu kocar-kacir tunggang langgang. Lien tak berkata apa-apa. Ia hanya tak percaya terhadap apa yang dilihatnya. Tetapi aku tahu, ia merasa doanya telah dikabulkan.
Dari celah bambu yang ditebang, bisa kuintip sisi dalam rumpun pohon. Di tengah-tengahnya ada setimbun makam. Nisannya batu berlumutan. Di atas pusaranya, cahaya hijau bergulung-gulung. Wangi kasturi menguar dari rumpun sidrah.
Makam Ki Moko. Entah kenapa, hanya itu yang terlintas dalam pikiranku.

Jawa Pos, Minggu 17 Mei 2015

Selasa, 14 Februari 2017

Bangku Beton

Bangku Beton

Oleh SUNLIE THOMAS ALEXANDER

Bangku beton itu masih di sana, di bawah rindang batang jambu air. Kusam dan berlumut tebal. Alang-alang tumbuh lebat di sekelilingnya, taman pakis menjalar liar. Di atasnya, berserakan guguran daun-daun tua. Sebagian telah membusuk oleh hujan. Ia tergeletak di pintu dapur, tak berkesip memandang bangku di sudut pekarangan rumah itu. Entahlah, lamat-lamat ia seolah mendengar tiupan harmonika, mendengar lagu Les Premiers Sourires de Venessa-nya Richard Clayderman. Beberapa saat lamanya ia merasa terbuai. Tapi, sesuatu seperti menyesaki dadanya. Tanpa sadar menggigit bibir. Pandangannya menjadi buram. Tentu ia tak pernah bisa melupakan lagu itu, juga lagu-lagu Richard Clayderman lainnya. Meskipun sudah demikian lama, bertahun-tahun, tak pernah mendengarnya lagi. Ia ingat, lelaki itu nyaris dapat memainkan semua lagu Richard Clayderman dengan segala instrumen, dengan cukup sempurna.
Di tengah pandangannya yang berkabut, lelaki itu seolah masih duduk di sana sambil meniup harmonika. Hampir setiap sore, setelah toko tutup, lelaki itu akan duduk-duduk di bangku beton di bawah pohon jambu air lebat itu sambil meniup harmonika, membaca buku atau koran. Kadangkala secangkir kopi menemaninya. Lelaki itulah yang membuat ia jatuh cinta pada musik, juga mengenalkannya pada wushu.
“Pinggangmu kurang lentur, geser kaki kananmu lebih ke belakang,“ ia seperti mendapat instruksi dari lelaki itu lagi. “Ya, turunkan kuda-kudamu lebih rendah. Kalau lawan datang dari samping, kau akan punya kesempatan mengelak dan menyerang bagian rusuknya.”
Tapi, lututnya sudah goyah, bahunya terasa linu. “Sudah Pa, sudah capek. Aku mau main bola….”
“Ah, manja kau!” lelaki itu menyeringai.” Kau les piano kan nanti malam?”
Aroma dupa mengental, menyengat hidungnya. Gerimis sudah berhenti. Tiupan harmonika itu timbul-tenggelam, terus mengiang-ngiang di telinganya. Lagu-lagu silih berganti, menyeret kembali kenangannya dengan kejam. Ballade Pour Adeline, A Comme Amour, Un Blanc Jour D’ un Chaton, Nostalgy, Lettre A Ma Mere… Agaknya ia masih menghafal semua judul lagu. Meskipun ia tak pernah bisa memainkan lagu-lagu itu dengan baik di atas tuts-tuts piano, dan lebih tertarik pada music klasik murni. Pada Chopin, Mozart, Beethoven, dan Bach. Atau yang lebih kontemporer Stravinsky. Dan, ketika memutuskan untuk belajar di akademi musik, ia pun lebih senang mengambil mayor gitar.
Ada jalan setapak kecil dari susunan batu-batu putih, membentuk lengkungan setengah lingkaran dari pintu dapur ke bangku beton itu, memotong hamparan rumput jarum yang meranggas. Agak ragu ia melangkahkan kakinya ke sana. Angin sore terasa basah, sedikit kencang, membuat dedaunan jambu air bergemerisik rebut. Ia melihat daun-daun tua keemasan yang melayang jatuh seakan dalam gerak slow motion. Dan, hal itu, entah kenapa, membuat perasaan sedihnya semakin tajam. Seperti mengiris di dada. Ah, waktu! Waktu!
Namun, saat langkah kakinya sampai di sana, bangku beton itu tiba-tiba terasa begitu senyap. Bungkam, seakan-akan tak berkenan menyambut kedatangannya. Tak ada lagi tiupan harmonika, taka da lagi lagu-lagu Richard Clayderman yang mengiyang di telinganya. Semua lenyap, ia berdiri tertegun di bawah kerindangan pohon jambu.
Memandang sekeliling, ia melihat pekarangan rumahnya kini agak kurang terurus. Ia tahu, sejak muda ibunya bukanlah orang yang telaten mengurus rumah. Lagi pula sekarang di rumah mereka tak ada pembantu. Bibi Fatonah dipulangkan ibu ke kampong setelah lelaki itu meninggal.
“Dia sudah tua, biarlah istirahat di kampong. Ibu beri pesangon secukupnya,” kata ibunya dalam sepucuk surat. Ah, dulu lelaki itu selalu wanti-wanti kalau pekarangan belakang rumah itu harus selalu bersih dan rapi. Tiba-tiba ia baru menyadari kalau di teras belakang itu tak ada lagi pot-pot bunga berukuran besar-kecil yang tertata indah. Beragam bunga, terutama euphorbia, anggrek, dan adenium. Ia termangu-mangu di depan bangku beton yang kusam berlumut itu. Mencoba mengingat semua kejadian indah yang pernah dilewati.
“Kau makan dulu?” Suara ibu sedikit mengagetkan lamunannya. Ia berpaling dan mendapatkan perempuan itu sedang berdiri di ambang pintu dapur. Ia menggeleng ragu.
IA pulang juga setelah Sembilan tahun. Rumahnya – sebuah ruko tepatnya – tidak banyak berubah seperti juga kota kecilnya. Bagian muka ruko tampak sepi, ketika ia turun dari angkot yang membawanya dari pelabuhan. Rolling door biru muda kusam berkarat tertutup rapat dengan gembok besar terkait di bagian bawahnya. Hujan rintik-rintik menyergapnya di depan ruko. Kernet angkot membantu menurunkan dua ransel besar yang dibawanya. Setelah membayar sesuai harga yang telah disepakati di pelabuhan, ia mengangkat kedua ransel besarnya, agak sempoyongan Karena berat. Ada beberapa orang menatapnya. Ia berpaling ketika merasa mengenali perempuan itu, tetangga bertahun-tahun. Ia tersenyum lebar. Tapi perempuan itu diam saja, terus menatapnya tak berkedip, meskipun kemudian mengangguk kecil. Tanpa senyum. Ah, apakah ia tidak kenal padauk lagi? Pikirnya kurang enak.
Diteruskan langkahnya ke pintu dengan rumah yang terbuka dengan rolling door tergulung ke atas. Sebetulnya itu pintu samping dari ruko yang berfungsi sebagai pintu masuk rumah tinggal. Los toko dipisahkan dari rumah dengan pembatas dinding triplek yang membentuk semacam lorong kecil dari pintu masuk itu. Lampu di lorong kecil itu belum dinyalakan.
Ia akhirnya sampai ke bagian dalam rumah. Ruang tengah juga tidak banyak berubah. Sebuah lukisan pemandangan alam pegunungan masih tergantung sayu di dinding. Agak miring. Berpaling ke kiri, ia melihat pintu kamar baca itu tertutup rapat. Kenangan yang berdebu menyergapnya. Geleng-geleng kepala, ia meneruskan langkahnya melewati ruang tengah. Ada seekor kucing belang tidur di dekat sofa. Bangun mendadak ketika ia lewat. Kucing itu tampak waspada. Ia menyeringai lebar.
Ketika ia sampai di dapur, ibunya sedang mengatur sesajen di atas meja sembahyang. Perempuan itu menoleh ketika mendengar langkah kaki anak-anak masuk. Tampak begitu tua dan ringkih, tapi senyumnya masih menyisakan kecantikannya di masa muda.
“Ah, kau sudah sampai rupanya. Pas! Mama baru saja mau sembahyang.” Perempuan itu menarik sebuah kursi plastik di dekatnya, “Duduklah.” Perempuan itu kemudian menuangkan secangkir teh dari teko keramik untuk anaknya. Diperhatikan kerut-merut wajah ibunya, juga uban di kepala perempuan itu. Ia tersenyum getir.
“Mama piker kau tak jadi pulang,” suara ibunya seperti menggantung. Ah, tidak Ma, aku pasti pulang seperti yang aku katakana di telepon, elaknya buru-buru. Ibunya tersenyum tipis. Tiba-tiba ia merasa malu karena teringat dua kali ia pernah berjanji untuk pulang tapi tak pernah jadi. Pertama, saat kakak perempuannya menikah. Kedua, ketika neneknya sakit lalu meninggal. Setelah itu, ia seolah ditelan tanah rantau, nyaris tak pernah berkabar ke rumah.
Diperhatikannya ibunya menuang arak dari botol bekas sirup ke tiga cawan kecil di atas meja sembahyang. Perempuan itu kemudian merobek sebungkus dupa merah, dan membakarnya pada lilin besar di sisi kiri meja. Tiga buah kaleng susu bubuk yang dililit kertas merah berisi pasir diletakkan bersusun di tepi meja. Tiga lembar kertas merah bertulisan China yang masing-masing ditempel pada dua batang dupa tertancap pada setiap kaleng. Ia tak bisa membaca hanji – meskipun pernah diajari – tapi ia tahu mana nama bapaknya, kakek, dan neneknya.
“Sembahyanglah! Kabari papamu kalau kau pulang!” kata perempuan itu sambil mengulurkan sejumlah dupa berasap kepadanya. Ia menerima dengan begitu bimbang. Dengan canggung ia memegang dupa itu dengan kedua tangannya di depan meja. Dan, semakin ragu ketika menatap beragam buah, kue, dan daging yang tertata dalam piring-piring di atas meja.
Akhirnya, dengan setengah hati, ia menuruti juga keinginan ibunya. Ia bersin berulang kali oleh asap dupa yang tajam menyengat. Padahal, dulu, aroma dupa itu begitu harum bagi hidungnya. Ia hanya menggerak-gerakkan kedua tangannya yang memegang dupa di depan dada sekedarnya dengan mulut terkatup, tanpa mengucap sepatah doa pun. Dulu, ibunya, juga nenek, selalu saja mengajarinya berdoa, panjang-lebar setiap kali sembahyang.
Ia merasa tak ada yang harus dipanjatkan, tak ada kata-kata yang mesti diucapkan untuk masa lalu. Orang-orang yang telah pergi itu cukuplah menjadi hantu, yang kadang-kadang membuat kita terharu – atau sakit – oleh beragam peristiwa yang telah lewat. Demikian ia berpikir ketika menancapkan dupa di kaleng. Sampai tiba-tiba ia menangkap bayangan bangku beton itu lewat ambang pintu dapur yang terbuka lebar.
BANGKU beton itu kini seperti membara di bawah remang cahaya matahari yang merembes di sela-sela dedaunan basah. Ada kemarahan yang sulit dicegah, bangkit dari kuburan peristiwa di kepalanya. Ia merasa tubuhnya gemetar ketika mencoba menghalau emosi yang meluap itu. Lalu rasa sedih yang dingin, seperti bongkahan batu es, membeku di ulu hati. Bercampur dengan rasa rindu yang runcing menusuk.
Lelaki itu seharusnya bisa memilih untuk melupakan masa silamnya. Seharusnya. Tetapi lelaki itu memilih mengawetkannya, bahkan kemudian menjemput masa silam itu. Ia tahu alangkah sulit bagi lelaki itu untuk menjatuhkan pilihan. Ia selalu yakin lelaki itu seorang yang cukup bijak. Tapi ketika lelaki itu akhirnya memilih tidak seperti yang ia harapkan, kekecewaan tak mampu ia pendam. Ia memang menghargai pilihan lelaki itu, meskipun sejak itu dendam perlahan tumbuh di dadanya, menggerogoti hatinya. Barangkali seperti lumut yang kini melapisi bangku beton di hadapannya, pikirnya sedikit sinis.
Ia ingat, bermalam-malam ibunya menangis. Cuma menangis. Tak ada keributan di rumah. Semua berjalan seperti biasa. Hanya saja, kemudian lelaki itu sering keluar rumah, mulai jarang duduk-duduk di bangku beton itu sambil memainkan harmonika atau membaca. Meskipun setiap kali pergi, lelaki itu selalu saja pulang, kadang menjelang dini hari. Dan ibunya tetap setia membukakan pintu.
Ia tidak tahu apa yang salah. Apakah ia memang pantas membenci lelaki itu. Yang pasti, ia mulai jarang berbicara dengan lelaki itu. Lebih sering menghindari ketika berpapasan. Tak ada makan malam bersama, tak ada latihan wushu, atau acara pergi memancing berdua ke pelabuhan. Hubungan mereka jadi aneh. Serba canggung. Richard Clayderman menghilang.
“Papamu tidak salah, Nak. Mamalah yang merebutnya dari perempuan itu….” Ada senyum tipis di wajah ibunya. Mama tidak sakit kok! Papamu mengerti dia. Sederet kalimat meluncur lancer, senyum di wajah ibunya merebak lebih lebar. Tapi ia melihat luka menganga yang sia-sia disembunyikan itu, di dalam bola matai bunya. Mata yang indah, meski sedikit sayu. Mirip dengan mata Natalia. Ah!
Ibunya kemudian menuturkan sebuah cerita, nyaris seperti dongeng-dongeng yang suka dikisahkan perempuan itu sewaktu masih kecil. Tentang seorang lelaki yang jatuh cinta pada seorang gadis penyanyi di sebuah bar. Seorang biduan yang manis. Ah, tidak, Nak, itu bukan pertemuan mereka yang pertama. Perempuan itu sesungguhnya bersama dari masa lalu si lelaki. Masa kecil yang hilang. Saat itu, si lelaki masih seorang mahasiswa tingkat akhir yang mencari tambahan uang saku dengan menjadi pianis di sejumlah bar. Ia begitu bahagia menemukan biduan itu, yang selalu dikenangnya sebagai seorang gadis cilik berkepang dua. Diajaknya perempuan itu pulang ke kampung halaman.
“Tapi aku tidak punya rumah dan siapa-siapa lagi di sana?” kata perempuan itu bimbang. Lelaki itu tergetar oleh sepasang matanya yang begitu sunyi, “Tapia da aku. Aku akan membawamu kepada orang tuaku.” Biduan manis itu hanya tersenyum sipu, senyum yang tak kentara maknanya. Toh, itu sudah cukup membuat lelaki itu berbunga-bunga.
Namun, kampong halaman ternyata bukan lagi tempat yang ramah untuk menerima si perempuan, juga rumah lelaki itu. Wajah kedua orang tuanya, suami-istri pemilik toko kelontong, begitu masam ketika menerima jabatan tangan si biduan.
“Kau tahu, perempuan apa yang kau bawa kemari?!” Suara bapaknya cukup keras di tengah malam, “Kau bahkan tak tahu siapa orang tuanya kan?!” Lelaki itu balas menatap mata bapaknya lekat-lekat, tak gentar. Ia tak peduli siapa perempuannya, siapa orang tua perempuan itu sebagaimana yang diceritakan bapaknya. Ia juga tak peduli pada peristiwa besar yang pernah terjadi di kota kecilnya, juga seluruh negeri. Sebuah peristiwa politik yang kelabu. Tahun gelap yang kemudian tercatat penuh dusta di buku sejarah anak-anak sekolah.
“Aku mencintainya!” Si lelaki menjadi garang. Kedua matanya berapi-api. Tapi perempuan itu sudah lenyap keesokan pagi. Lenyap. Tanpa meninggalkan pesan apa pun. Lelaki itu menangis, ia kehilangan untuk yang kedua kali.
IA tidak tahu kenapa perempuan itu kembali. Apa keinginannya. Ia mengenal Natalia ketika gadis berkulit kuning langsat dengan rambut potongan poni itu pindah ke sekolahnya. Berwajah polos tapi sensual. Ia diam-diam suka mencuri pandang pada gadis itu ketika pelajaran sedang berlangsung dengan dada yang sedikit berdebar. Tapi gadis itu jinak-jinak merpati. Menjauh kalau didekati, mendekat ketika ia menjauh. Toh, justru membuat ia makin penasaran dan bersemangat mendekati gadis itu. Sampai kemudian ia melihat sebuah luka. Luka yang begitu muram di kedua mata Natalia yang sayu….
Dan, ia bertemu perempuan itu, perempuan yang fotonya dulu pernah ia temukan di laci meja baca bapanya. Waktu itu ia kelas enam SD. Ibunya buru-buru merebut foto itu dari tangannya dan memasukkan kembali ke laci, sekaligus mengunci laci itu.
“Jangan lancang, Nak! Jangan ganggu barang-barang di laci itu!” Ibunya bergegas menariknya keluar dari ruang baca yang merangkap perpustakaan kecil.
“Siapa perempuan di foto itu, Ma?” tanyanya. Namun tidak pernah mendapat jawaban.
“Jangan masuk lagi ke ruang baca Papa!” Lelaki itu menatapnya tajam dengan wajah agak merah. Ia buru-buru menunduk. Belum pernah lelaki itu bersuara keras padanya. Sejak itu ruang baca selalu terkunci rapat, namun wajah perempuan cantik di dalam foto itu tak pernah pudar dari ingatannya.
“Aku bertemu perempuan dalam foto Papa…,” katanya sore itu sepulang dari rumah Natalia. Gadis itu memang tidak pernah mau mengatakan padanya tinggal di mana, tetapi siang itu sepulang sekolah ia diam-diam menguntit Natalia. Dan perempuan itu ada di sana, mempersilahkannya masuk dan menghidangkan untuknya secangkir teh. Ia sama sekali lupa apa tujuannya datang ke sana, pun ketika Natalia mempersilahkan minum. Mereka duduk berhadapan dengan begitu kaku.
“Aku bertemu dengannya, Ma,” ia mengulangi sekali lagi. Dilihatnya wajah ibunya berangsur-angsur berubah pucat. Tertegun menatapnya.
ENTAH telah berapa tahun, bangku beton itu tinggal sepi. Sudah belasan tahun agaknya. Setelah semuanya berlangsung, sesekali lelaki itu memang masih duduk di sana, tapi tidak bermain harmonika atau membaca. Dia hanya duduk termangu di sana, dengan raut wajah kadangkala tampak kosong. Mereka tidak pernah lagi bicara. Badan kekar lelaki itu kian hari semakin susut, tampak rapuh. Asam urat, iritasi lambung, ada masalah dengan ginjal dan lever. Malarianya juga sering kambuh, kata ibunya terisak. Entah dari mana segala penyakit itu datang, barangkali akibat waktu muda papamu terlalu banyak mengkonsumsi alkohol. Dia dulu peminum? Tanyanya, tapi cuma di dalam hati. Lelaki itu meninggal ketika ia hampir tamat SMA. Ibu dan kakanya menangis berhari-hari tapi ia tidak. Ia hanya menatap wajah lelaki itu dimasukkan ke peti mati dengan perasaan yang ia sendiri tak bisa jelaskan sepenuhnya. Pandangan matanya seperti berkabut. Perempuan itu datang ke pemakaman bersama Natalia, keduanya mengenakan pakaian serba putih seperti halnya ia, ibu, dan kakak perempuannya. Tetapi mereka tidak saling bertegur sapa.
Tak lama setelah itu, ia pergi meninggalkan rumah, meninggalkan pulau kecil itu, dan tidak pernah pulang sekali pun….
“Mama harap kau mau pulang. Kakakmu sedang dalam masalah. Toko bangkrut. Kakak iparmu entah di mana sekarang. Hampir tiap hari selalu saja ada orang datang menagih hutang, tambang-tambang itu benar-benar menguras seluruh uang kakak iparmu!” Itu kata-kata ibunya dalam telepon beberapa hari yang lalu. Ia tak menyangka kalau akan tiba di rumah tepat pada hari sebahyang arwah Chit Ngiat Pan….
Ia masih menatap bangku beton yang kusam dan berlumut itu, ketika namanya dipanggil. Menoleh, ia melihat kakak perempuannya sedang berjalan mendatanginya. Wajah Ai Ling tampak tirus dan kusut, lebih tua dari usia yang sebenarnya. Begitu berbeda dengan sosok gadis manis dan periang yang dikenalnya bertahun-tahun lalu. Ibunya masih berdiri di pintu dapur.
Ah, tiba-tiba ia merasa ingin sekali bermain harmonika, memainkan Les Premiers Sourises de Venessa dan lagu-lagu lainnya…***

JAWA POS, Minggu 6 Januari 2008