PETI MATI
OLEH GANDA PEKASIH
Dari kuburan tua, beberapa gerobak kayu bergerak seakan
dilahirkan oleh malam, menjemput nasib di jalan-jalan yang sedikit kendur dari
kendaraan yang tak pernah berhenti meraung.
Menjelang subuh mereka semua kembali. Atap-atap kuburan yang
lebar dan kokoh membuat mereka terlindungi dari hujan, mereka tinggal membuat
dinding dari plastik atau kardus-kardus bekas, lantai marmer hangat dengan alas
seadanya menutupi huruf-huruf permohonan ampun yang tak penting artinya.
Seperti biasa tak banyak benda berharga yang mereka dapat,
hasil menjual botol-botol kosong minuman sekedar bisa untuk makan sehari.
Beberapa kawan mereka pernah ditangkap, dibawa ke panti social, tapi kembali
lagi jadi manusia Gerobak.
Dari kuburan tua itu lima hingga tujuh gerobak bergerak
seperti kelabang yang keluar dari tanah, berpencar ke segala arah menuruti
nasib. Sering ada gerobak ditabrak orang mabuk, dihanyutkan banjir atau dicuri
orang. Anak-anak mereka lahir lalu diamuk penyakit hingga dimangsa paedofil atau
dibunuh, mayatnya dibuang di kali seperti orang membuang bangkai binatang.
Di bawah lantai-lantai marmer kuburan itu mereka tahu ada
jasad yang terkubur tinggal tulang belulang, huruf-huruf di batu nisan itu
artinya bagi mereka cuman kapan tanggal lahir dan mati saja, tak ada yang perlu
ditakutkan, yang mereka takuti jika mereka tiba-tiba diusir dari situ, harus
mencari tempat gratis baru yang tak mudah, bersaing dengan sesama gerobak dan
gelandangan bisa saling bunuh.
Sebelum subuh mereka harus tiba kembali
di kuburan jika tidak mau dihadang kemacetan atau tertangkap razia gepeng,
beberapa pelacur tua kesiangan dengan mata yang menatap putus asa termenung di
tepi kuburan saat mereka tiba, wadam-wadam berwajah kendur disuntik silikon
semaunya yang membuat mereka bukan jadi menarik, tapi berubah menjadi
makhluk-makhluk aneh.
Menjelang sore beberapa orang masuk kuburan yang bersemak
dipagari kawat berduri, tiang-tiang besi gerbangnya roboh dan sebagian raib
hilang dicuri. Mereka membawa cangkul, lalu sibuk mencari-cari lokasi menggali.
Dari balik dinding tembok-tembok kuburan bermunculan anak-anak gerobak
menontoni mereka seperti anak kanguru yang keluar dari kantung induknya,
diikuti orang tua mereka. Akan ada penguburan, pikir mereka senang karena
kuburan ini sudah jarang dipakai, berarti ada rezeki, akan ada yang
menyebar-nyebarkan uang.
Tak sampai dua jam mereka selesai
menggali. Usai minum dari gelas-gelas plastic dan merokok, para penggali itu
lalu pergi tanpa sepatah kata pun, tak ubahnya seperti hantu. Tapi upacara
penguburan yang mereka tunggu tak ada hari itu.
Beberapa hari kemudian, ambulans dan dua kendaraan van masuk
dari gerbang samping pemakaman. Beberapa orang turun dengan cepat membawa hio
yang sudah dibakar menuju kuburan, lampion merah berbentuk hewan dan buah-buah
sesaji dalam keranjang hias dibalut kertas berwarna warni cerah. Orang-orang
berkacamata gelap berwajah cemas dan pucat memikul peti mati yang diturunkan
dari ambulans, berikat pita hitam di kepala. Beberapa orang yang sudah turun
lebih dulu cepat membantu, menggotong peti dengan awas, membuat upacara singkat
diiringi lonceng yang dibunyikan di atas lubang, lalu peti mayat itu
diturunkan, beberapa orang mengambil gambar dengan handphone. Para penggali langsung menguruknya kembali, batu nisan
dipasang, lampion dibakar, keranjang-keranjang buah diletakkan, amplop-amplop
kertas bersama kembang dihambur-hamburkan.
Anak-anak gerobak yang menonton
upacara singkat mulai bergerak, ibu-ibu dan para lelaki yang berharap akan
dapat rezeki menyerbu. Para pengubur mayat lalu pergi meninggalkan pemakaman
tanpa sepatah kata, tak ubahnya seperti hantu.
Rupanya ada yang akan menunggui mayat yang akan menunggui
mayat yang dimakamkan itu, dia muncul menjelang senja dari gerbang samping
bersemak, dia berjaga sampai pagi. Malam kedua dia datang lagi dan seterusnya.
Seorang manusia gerobak dengan pengait besi di tangan sudah
tak sabar, dengan mengendap-endap seperti kadal tanah dia mendekati makam mau
membongkarnya sejak malam pertama mayat dikubur. Dia yakin ada benda berharga
di dalam peti mati itu, memang tak mudah, tapi mumpung kuburan belum dibatu,
dia berharap bisa cepat membongkarnya.
“Hei, siapa itu, kemari kamu!” bentak penjaga itu memainkan
senternya. “Kalau tidak kutembak kau!”
Khawatir, akhirnya dia terpaksa keluar dari persembunyiannya.
“Cepat ke sini, bantu aku!”
Oh, apakah dia juga hendak membongkar makam itu?
“Dari kemarin kamu ngintip-ngintip.”
“Maaf, Bang”
“Siapa namamu?” bentaknya.
“Roso, Bang,” jawabnya kikuk.
“Eh, kau punya pacul? Bantu aku menggali kiriman, kami
kepepet, gudang lagi dikepung, kau punya gerobakkan?” bisiknya berdesis.
“Punya.”
“Bagus, sekarang kau cari pacul, setelah itu bawa gerobakmu
ke belakang.”
“Oke Bang,” jawabnya meluncur begitu saja.
Apakah ini rezeki besar? Pikirnya. Di dalam peti mayat itu
pasti ada barang-barang berharga yang ikut mereka kubur dan sekarang mau
diambil lagi.
Rupanya makam itu mudah digali kembali, baru tahu dia bahwa
lubangnya tak terlalu dalam. Tak sampai satu jam penutup peti berhasil
diungkit. “Siapa yang mati?”
“Jangan banyak tanya, tugas lu bawa barang pake gerobak. Oke?”
“Hhh….”
Penutup peti mati dibuka, lelaki itu mengambil sesuatu,
terlihat samar di bawah sinar bulan dua bungkusan berwarna coklat.
“Tutup lagi lubang cepat,” desisnya.
Bak robot mainan disengat listrik dia
cepat mengeruk tanah kembali.
Gerobak berjalan lambat, sesekali mampir di tempat pembuangan
sampah. Makin lama gerobak makin jauh memasuki tengah kota, hingga ke sebuah
jalan yang dipenuhi lampu-lampu berwarna, diketahuinya sejak lama adalah
sepotong jalan tempat banyak orang mencari hiburan malam.
Dia digiring lewat pesan singkat hingga ke belakang sebuah
ruko yang katanya ada bak berisi banyak barang rongsokan. Saat dia
mengais-ngais tempat sampah, seseorang datang memeriksa gerobaknya, lalu
mengambil barang titipan itu dan memberi dia sejumlah uang yang membuatnya lalu
semakin semangat mengais-ngais bak sampah itu seperti anjing malam yang
kelaparan.
Lega, tapi waktu gerobak mulai didorong beberapa jam yang
lalu dia takut, berusaha menenangkan diri menganggap barang itu tak ada
artinya, yang dia pikirkan cuma upah gede yang dibilang si Penjaga, sudah lama
dia bermimpi mengajak anak dan istrinya meninggalkan kuburan itu mengontrak
rumah petak di kawasan banjir kanal yang airnya jernih dan bisa memancing.
Malam berikutnya dia kembali membawa
barang itu. Di tengah jalan dia merasa akan tertangkap ketika mobil patroli
polisi mengikuti di belakang. Untung dia melewati tempat sampah. Dia segera
mendekat dan mengais dengan pengait bengkoknya lalu memakan sisa nasi dari
bungkusan plastic berharap polisi itu mual melihatnya lalu pergi. Benar saja,
melihatnya jorok dan menjijikkan seperti babi, polisi jadi tak punya pikiran
curiga, mereka lalu pergi. Dia santai lagi mendorong gerobaknya ke mana harus
mengantarkan barang itu seperti malam kemarin. Lengang, sesekali dia masih
memeriksa bak-bak sampah sambil membayangkan akan tinggal di rumah petak
bersama anak dan istrinya dengan isi perabot lengkap, ada kulkas dan televisi.
Sudah tak ingat dia beberapa kali mengantarkan barang-barang
itu. Malam ini dia minta yang terakhir, baginya upah sudah cukup bisa ngontrak, bahkan bisa membuat beberapa
gerobak untuk disewakan, tapi si Bos berkeras masih ada kiriman lagi. Maka
rencana berikutnya dia akan melarikan gerobaknya sejauh mungkin.
Malam ini jantungnya berdetak lebih cepat, kaki bergetar
memperhatikan tempat-tempat sampah yang dilaluinya, mengais mengumpulkan
botol-botol minuman ke dalam karung plastik, meletakkannya ke dalam gerobak
dengan hati-hati. Hingga dia mulai memasuki kawasan bangunan bertingkat yang
terang seperti akuarium yang diberi lampu berwarna, suara bola biliar beradu
dengan cekikikan tawa perempuan.
Sebelum sampai di tempat biasa lalu seseorang memberinya upah
sungguh dia terkejut, muncul patrol polisi di kejauhan menuju ke arahnya. Dia
merasa akan tertangkap malam ini. Dia ingin cepat membelok agar terhalang dari
penglihatan polisi, tapi itu bisa membuat mereka malah malah curiga, maka ia
mencoba santai mendorong gerobaknya berharap patroli itu cuma lewat. Kalau
ketahuan habislah, pikirnya, dia pasti di bui bersama anak dan istrinya, itu
sama saja dengan masuk ke dalam peti.
Mobil patroli berhenti tak jauh dari gerobak, dua polisi
turun, membuka tutup plastiknya sehingga terlihat oleh mereka semua apa yang ada
di dalam, detik berikutnya tak diduga sontak anak balitanya menangis. Polisi
itu terkejut, detik pertama yang mereka lihat pasti istri dan anak balitanya
yang tergolek kesempitan. Dia segera bergerak mendekat seolah sangat khawatir
sesuatu akan terjadi menimpa anak balitanya dan berharap para polisi tak
menduga ada seorang balita perempuan serta ibunya terbujur dalam gerobak yang
membuat perasaan mereka tersentuh. Benar saja, mereka serba salah tadinya, tapi
salah seorang masih serius memperhatikan istrinya yang selalu tak memakai beha
itu membuka daster dan mendekatkan buah dadanya yang besar ke mulut balita
mereka yang menangis. Akhirnya polisi itu menutup kambali gerobak dan berbalik
cepat ke mobil mereka.
Patroli polisi meninggalkan tempat itu, selama ini
polisi-polisi itu pasti belum pernah melihat anak balita dan ibunya terbujur
dalam gerobak yang biasa mereka lakukan kalau berpergian ditambah pula dengan
suara tangisan anak balita mereka yang keras membuat para polisi itu cepat
pergi.
Jantungnya masih berdebar belum siap mendorong gerobak,
kakinya juga masih bergetar, hanya tinggal beberapa ratus meter dia tiba di
sana, maka urusan selesai lalu menerima upah yang dirasanya cukup untuk lari.
Dia tak akan kembali ke kuburan tua itu, dia tak akan mengantarkan
barang-barang itu lagi. Perlahan dia mulai mendorong gerobaknya lagi bersamaan
dengan tangis balitanya berhenti.
Terima kasih istriku, cepat gosokkan minyak kayu putih ke
tempat yang kau cubit itu, gumamnya lalu membayangkan rumah kontrakan di tepi banjir
kanal yang jernih, tempat mereka yang baru siang nanti. Tapi beberapa meter
akan membelok ke tempat barang di ambil, tiba-tiba terdengar lagi sirene mobil
patroli yang muncul di belakang, jantungnya nyaris copot mendengar raungan
tiba-tiba itu. Dia ingin istrinya segera mencubit anak mereka lagi biar dia
menangis keras.
Beberapa polisi turun mengepung
gerobak, membuka tutupnya tak peduli istrinya menghalangi mereka
mengobrak-abrik dan menemukan bungkusan coklat berisi barang yang mereka cari
dalam daster istrinya. Mereka tampak puas seperti anjing yang telah lama
mengendus bau bangkai.
Kuburan digali dan polisi tak menemukan apa-apa lagi di sana
kecuali peti mati kosong, orang-orang gerobak memandang sedih kawan mereka yang
diborgol, anak dan istrinya masih di tahanan polisi katanya. Saat meninggalkan
pekuburan, mereka berpapasan dengan rombongan orang-orang yang mau datang mau
memamkamkan mayat, mereka berdiri memperhatikan orang-orang itu dengan
pandangan curiga.
Bergegas wajah-wajah pucat menggotong peti turun dari
ambulans menuju lubang makam, stanggi kemenyan berasap, uang-uang receh
dihambur-hamburkan bersama bunga-bunga. Lalu upacara pelepasan mayat berjalan
khidmat, singkat, ada yang menangis, ada yang mengambil gambar dengan
hati-hati, para pengubur mayat itu sendu menggumamkan bait-bait pengampunan dan
pujian, dari balik kacamata-kacamata gelap mereka dan kerudung-kerudung penutup
kepala berwarna hitam….
KOMPAS,
MINGGU, 4 JANUARI 2015