Pengunjung

Minggu, 25 Januari 2015

PETI MATI
OLEH GANDA PEKASIH
Dari kuburan tua, beberapa gerobak kayu bergerak seakan dilahirkan oleh malam, menjemput nasib di jalan-jalan yang sedikit kendur dari kendaraan yang tak pernah berhenti meraung.
Menjelang subuh mereka semua kembali. Atap-atap kuburan yang lebar dan kokoh membuat mereka terlindungi dari hujan, mereka tinggal membuat dinding dari plastik atau kardus-kardus bekas, lantai marmer hangat dengan alas seadanya menutupi huruf-huruf permohonan ampun yang tak penting artinya.
Seperti biasa tak banyak benda berharga yang mereka dapat, hasil menjual botol-botol kosong minuman sekedar bisa untuk makan sehari. Beberapa kawan mereka pernah ditangkap, dibawa ke panti social, tapi kembali lagi jadi manusia Gerobak.
Dari kuburan tua itu lima hingga tujuh gerobak bergerak seperti kelabang yang keluar dari tanah, berpencar ke segala arah menuruti nasib. Sering ada gerobak ditabrak orang mabuk, dihanyutkan banjir atau dicuri orang. Anak-anak mereka lahir lalu diamuk penyakit hingga dimangsa paedofil atau dibunuh, mayatnya dibuang di kali seperti orang membuang bangkai binatang.
Di bawah lantai-lantai marmer kuburan itu mereka tahu ada jasad yang terkubur tinggal tulang belulang, huruf-huruf di batu nisan itu artinya bagi mereka cuman kapan tanggal lahir dan mati saja, tak ada yang perlu ditakutkan, yang mereka takuti jika mereka tiba-tiba diusir dari situ, harus mencari tempat gratis baru yang tak mudah, bersaing dengan sesama gerobak dan gelandangan bisa saling bunuh.
Sebelum subuh mereka harus tiba kembali di kuburan jika tidak mau dihadang kemacetan atau tertangkap razia gepeng, beberapa pelacur tua kesiangan dengan mata yang menatap putus asa termenung di tepi kuburan saat mereka tiba, wadam-wadam berwajah kendur disuntik silikon semaunya yang membuat mereka bukan jadi menarik, tapi berubah menjadi makhluk-makhluk aneh.
Menjelang sore beberapa orang masuk kuburan yang bersemak dipagari kawat berduri, tiang-tiang besi gerbangnya roboh dan sebagian raib hilang dicuri. Mereka membawa cangkul, lalu sibuk mencari-cari lokasi menggali. Dari balik dinding tembok-tembok kuburan bermunculan anak-anak gerobak menontoni mereka seperti anak kanguru yang keluar dari kantung induknya, diikuti orang tua mereka. Akan ada penguburan, pikir mereka senang karena kuburan ini sudah jarang dipakai, berarti ada rezeki, akan ada yang menyebar-nyebarkan uang.
Tak sampai dua jam mereka selesai menggali. Usai minum dari gelas-gelas plastic dan merokok, para penggali itu lalu pergi tanpa sepatah kata pun, tak ubahnya seperti hantu. Tapi upacara penguburan yang mereka tunggu tak ada hari itu.
Beberapa hari kemudian, ambulans dan dua kendaraan van masuk dari gerbang samping pemakaman. Beberapa orang turun dengan cepat membawa hio yang sudah dibakar menuju kuburan, lampion merah berbentuk hewan dan buah-buah sesaji dalam keranjang hias dibalut kertas berwarna warni cerah. Orang-orang berkacamata gelap berwajah cemas dan pucat memikul peti mati yang diturunkan dari ambulans, berikat pita hitam di kepala. Beberapa orang yang sudah turun lebih dulu cepat membantu, menggotong peti dengan awas, membuat upacara singkat diiringi lonceng yang dibunyikan di atas lubang, lalu peti mayat itu diturunkan, beberapa orang mengambil gambar dengan handphone. Para penggali langsung menguruknya kembali, batu nisan dipasang, lampion dibakar, keranjang-keranjang buah diletakkan, amplop-amplop kertas bersama kembang dihambur-hamburkan.
Anak-anak gerobak yang menonton upacara singkat mulai bergerak, ibu-ibu dan para lelaki yang berharap akan dapat rezeki menyerbu. Para pengubur mayat lalu pergi meninggalkan pemakaman tanpa sepatah kata, tak ubahnya seperti hantu.
Rupanya ada yang akan menunggui mayat yang akan menunggui mayat yang dimakamkan itu, dia muncul menjelang senja dari gerbang samping bersemak, dia berjaga sampai pagi. Malam kedua dia datang lagi dan seterusnya.
Seorang manusia gerobak dengan pengait besi di tangan sudah tak sabar, dengan mengendap-endap seperti kadal tanah dia mendekati makam mau membongkarnya sejak malam pertama mayat dikubur. Dia yakin ada benda berharga di dalam peti mati itu, memang tak mudah, tapi mumpung kuburan belum dibatu, dia berharap bisa cepat membongkarnya.
“Hei, siapa itu, kemari kamu!” bentak penjaga itu memainkan senternya. “Kalau tidak kutembak kau!”
Khawatir, akhirnya dia terpaksa keluar dari persembunyiannya.
“Cepat ke sini, bantu aku!”
Oh, apakah dia juga hendak membongkar makam itu?
“Dari kemarin kamu ngintip-ngintip.”
“Maaf, Bang”
“Siapa namamu?” bentaknya.
“Roso, Bang,” jawabnya kikuk.
“Eh, kau punya pacul? Bantu aku menggali kiriman, kami kepepet, gudang lagi dikepung, kau punya gerobakkan?” bisiknya berdesis.
“Punya.”
“Bagus, sekarang kau cari pacul, setelah itu bawa gerobakmu ke belakang.”
“Oke Bang,” jawabnya meluncur begitu saja.
Apakah ini rezeki besar? Pikirnya. Di dalam peti mayat itu pasti ada barang-barang berharga yang ikut mereka kubur dan sekarang mau diambil lagi.
Rupanya makam itu mudah digali kembali, baru tahu dia bahwa lubangnya tak terlalu dalam. Tak sampai satu jam penutup peti berhasil diungkit. “Siapa yang mati?”
“Jangan banyak tanya, tugas lu bawa barang pake gerobak. Oke?”
“Hhh….”
Penutup peti mati dibuka, lelaki itu mengambil sesuatu, terlihat samar di bawah sinar bulan dua bungkusan berwarna coklat.
“Tutup lagi lubang cepat,” desisnya.
Bak robot mainan disengat listrik dia cepat mengeruk tanah kembali.
Gerobak berjalan lambat, sesekali mampir di tempat pembuangan sampah. Makin lama gerobak makin jauh memasuki tengah kota, hingga ke sebuah jalan yang dipenuhi lampu-lampu berwarna, diketahuinya sejak lama adalah sepotong jalan tempat banyak orang mencari hiburan malam.
Dia digiring lewat pesan singkat hingga ke belakang sebuah ruko yang katanya ada bak berisi banyak barang rongsokan. Saat dia mengais-ngais tempat sampah, seseorang datang memeriksa gerobaknya, lalu mengambil barang titipan itu dan memberi dia sejumlah uang yang membuatnya lalu semakin semangat mengais-ngais bak sampah itu seperti anjing malam yang kelaparan.
Lega, tapi waktu gerobak mulai didorong beberapa jam yang lalu dia takut, berusaha menenangkan diri menganggap barang itu tak ada artinya, yang dia pikirkan cuma upah gede yang dibilang si Penjaga, sudah lama dia bermimpi mengajak anak dan istrinya meninggalkan kuburan itu mengontrak rumah petak di kawasan banjir kanal yang airnya jernih dan bisa memancing.
Malam berikutnya dia kembali membawa barang itu. Di tengah jalan dia merasa akan tertangkap ketika mobil patroli polisi mengikuti di belakang. Untung dia melewati tempat sampah. Dia segera mendekat dan mengais dengan pengait bengkoknya lalu memakan sisa nasi dari bungkusan plastic berharap polisi itu mual melihatnya lalu pergi. Benar saja, melihatnya jorok dan menjijikkan seperti babi, polisi jadi tak punya pikiran curiga, mereka lalu pergi. Dia santai lagi mendorong gerobaknya ke mana harus mengantarkan barang itu seperti malam kemarin. Lengang, sesekali dia masih memeriksa bak-bak sampah sambil membayangkan akan tinggal di rumah petak bersama anak dan istrinya dengan isi perabot lengkap, ada kulkas dan televisi.
Sudah tak ingat dia beberapa kali mengantarkan barang-barang itu. Malam ini dia minta yang terakhir, baginya upah sudah cukup bisa ngontrak, bahkan bisa membuat beberapa gerobak untuk disewakan, tapi si Bos berkeras masih ada kiriman lagi. Maka rencana berikutnya dia akan melarikan gerobaknya sejauh mungkin.
Malam ini jantungnya berdetak lebih cepat, kaki bergetar memperhatikan tempat-tempat sampah yang dilaluinya, mengais mengumpulkan botol-botol minuman ke dalam karung plastik, meletakkannya ke dalam gerobak dengan hati-hati. Hingga dia mulai memasuki kawasan bangunan bertingkat yang terang seperti akuarium yang diberi lampu berwarna, suara bola biliar beradu dengan cekikikan tawa perempuan.
Sebelum sampai di tempat biasa lalu seseorang memberinya upah sungguh dia terkejut, muncul patrol polisi di kejauhan menuju ke arahnya. Dia merasa akan tertangkap malam ini. Dia ingin cepat membelok agar terhalang dari penglihatan polisi, tapi itu bisa membuat mereka malah malah curiga, maka ia mencoba santai mendorong gerobaknya berharap patroli itu cuma lewat. Kalau ketahuan habislah, pikirnya, dia pasti di bui bersama anak dan istrinya, itu sama saja dengan masuk ke dalam peti.
Mobil patroli berhenti tak jauh dari gerobak, dua polisi turun, membuka tutup plastiknya sehingga terlihat oleh mereka semua apa yang ada di dalam, detik berikutnya tak diduga sontak anak balitanya menangis. Polisi itu terkejut, detik pertama yang mereka lihat pasti istri dan anak balitanya yang tergolek kesempitan. Dia segera bergerak mendekat seolah sangat khawatir sesuatu akan terjadi menimpa anak balitanya dan berharap para polisi tak menduga ada seorang balita perempuan serta ibunya terbujur dalam gerobak yang membuat perasaan mereka tersentuh. Benar saja, mereka serba salah tadinya, tapi salah seorang masih serius memperhatikan istrinya yang selalu tak memakai beha itu membuka daster dan mendekatkan buah dadanya yang besar ke mulut balita mereka yang menangis. Akhirnya polisi itu menutup kambali gerobak dan berbalik cepat ke mobil mereka.
Patroli polisi meninggalkan tempat itu, selama ini polisi-polisi itu pasti belum pernah melihat anak balita dan ibunya terbujur dalam gerobak yang biasa mereka lakukan kalau berpergian ditambah pula dengan suara tangisan anak balita mereka yang keras membuat para polisi itu cepat pergi.
Jantungnya masih berdebar belum siap mendorong gerobak, kakinya juga masih bergetar, hanya tinggal beberapa ratus meter dia tiba di sana, maka urusan selesai lalu menerima upah yang dirasanya cukup untuk lari. Dia tak akan kembali ke kuburan tua itu, dia tak akan mengantarkan barang-barang itu lagi. Perlahan dia mulai mendorong gerobaknya lagi bersamaan dengan tangis balitanya berhenti.
Terima kasih istriku, cepat gosokkan minyak kayu putih ke tempat yang kau cubit itu, gumamnya lalu membayangkan rumah kontrakan di tepi banjir kanal yang jernih, tempat mereka yang baru siang nanti. Tapi beberapa meter akan membelok ke tempat barang di ambil, tiba-tiba terdengar lagi sirene mobil patroli yang muncul di belakang, jantungnya nyaris copot mendengar raungan tiba-tiba itu. Dia ingin istrinya segera mencubit anak mereka lagi biar dia menangis keras.
Beberapa polisi turun mengepung gerobak, membuka tutupnya tak peduli istrinya menghalangi mereka mengobrak-abrik dan menemukan bungkusan coklat berisi barang yang mereka cari dalam daster istrinya. Mereka tampak puas seperti anjing yang telah lama mengendus bau bangkai.
Kuburan digali dan polisi tak menemukan apa-apa lagi di sana kecuali peti mati kosong, orang-orang gerobak memandang sedih kawan mereka yang diborgol, anak dan istrinya masih di tahanan polisi katanya. Saat meninggalkan pekuburan, mereka berpapasan dengan rombongan orang-orang yang mau datang mau memamkamkan mayat, mereka berdiri memperhatikan orang-orang itu dengan pandangan curiga.
Bergegas wajah-wajah pucat menggotong peti turun dari ambulans menuju lubang makam, stanggi kemenyan berasap, uang-uang receh dihambur-hamburkan bersama bunga-bunga. Lalu upacara pelepasan mayat berjalan khidmat, singkat, ada yang menangis, ada yang mengambil gambar dengan hati-hati, para pengubur mayat itu sendu menggumamkan bait-bait pengampunan dan pujian, dari balik kacamata-kacamata gelap mereka dan kerudung-kerudung penutup kepala berwarna hitam….

KOMPAS, MINGGU, 4 JANUARI 2015         

  

Selasa, 20 Januari 2015

Tahun Baru
OLEH PUTU WIJAYA
Pergantian pemerintahan, menendang menteri-menteri dari kompleks perumahan menteri. Tak satu pun menteri baru berasal dari kabinet lama.
Menteri Kesenian sudah ngepak semua barangnya yang seabrek. Tapi ia masih termenung melihat ke taman. Matanya sayu berkaca-kaca. Ia seperti tak rela meninggalkan tempat yang dihuninya 10 tahun. Dalam masa jabatannya itu, ia berhasil menyulap tanah lebih di belakang rumah jadi kebun yang unik. Perpaduan antara hutan dan taman.
Sedang dalam rumah, seabrek barang seni yang jadi koleksinya berasal dari seluruh Nusantara. Peninggalan tradisi maupun pencapaian-pencapaian kreaitivitas kontemporer. Cukup untuk membangun sebuah museum yang menunjukkan betapa beragam wajah Indonesia.
“Selamat pagi, Prof,” sapa Menteri Ilmu-Ilmu Pengetahuan Tradisi dan Kearifan Lokal, yang akan ganti mengisi rumah. Profesor mantan Menteri Kesenian itu melompat dari lamunannya.
“Maaf Doktor, saya sudah siap, tapi batin saya kok masih tertinggal di sini.”
Doktor tertawa.
“O, tak apa Prof, tinggal saja, jangan khawatir, biar jadi teman saya nanti.”
Profesor ikut tertawa, lalu berdiri mengulurkan tangan. Mereka bersalaman akrab. Itu tradisi baru transisi damai, yang telah dimulai sejak masa Pak SBY.
“Kelihatannya berat sekali meninggalkan tempat ini, Prof?”
“Betul. Bahkan saya lebih mencintainya dari jabatan saya. Kementerian Kesenian rumit. Tidak mudah mengatur orang-orang gila! Seniman semua punya ide-ide aneh yang dianggapnya terbaik. Mereka ego maniak semua!” Doktor nyengir.
“Betul Prof. Tapi jangan terkejut , jelek-jelek saya juga termasuk orang gila meskipun baru menulis satu kumpulan puisi. Jadi termasuk seniman, cuma belum senewen. Memang orang-orang kreatif yang memberikan inspirasi bangsa agaknya harus gila! Ambisius, radikal, militant, blak-blakan, frontal, pokoknya aneh!!” Profesor mengernyitkan alisnya.
“Doktor memang harus berkata begitu, seperti juga saya, dulu, ketika baru mulai menjabat! Tapi kursi birokrasi yang kita duduki menghendaki lain. Ada blue print yang memerlukan keseragaman yang bertentangan dengan improvisasi yang sangat disukai non-birokrat. Saya tak berhasil mendamaikan itu. Okelah, satu tahun lagi kita lihat saja, mungkin Doktor akan memperbaharui paradox itu. Oke, selamat bertugas mengabdi pada Negara!”
“Hati-hati Prof. Banyak politisi bisa memelintir statemen Anda itu jadi boomerang.” Profesor tidak memberi komentar. Ia bergegas pergi.
Menteri Ilmu-Ilmu Pengetahuan Tradisi dan Kearifan Lokal lama termenung oleh kalimat mantan Menteri Kesenian itu. Ia mencoba duduk di kursi yang tadi diduduki Profesor, lalu melepas mata ke taman. Ia mencari perasaan Profesor yang katanya tertinggal.
“Doktor, selamat datang,” sapa pohon besar yang menjulang di satu sudut taman.
“Saya durian Bangkok yang ditanam sendiri oleh Profesor. Saya selalu berbuah sepanjang tahun. Jangan sampai saya ditebang!”
Doktor terkejut. Ia sudah sejak tadi terganggu oleh pohon yang Nampak dominan itu. Tampaknya ia terlalu kuat dan rakus mengambil sinar matahari sehingga pohon-pohon yang lain tampak terdesak.
“Aku benci durian. Ayahku stroke mendadak akibat makan durian!”
Doktor menatap pohon itu dengan geram.
“Mestinya pabrik kolesterol seperti kamu tumbuh di hutan saja. Untuk makanan gajah. Dalam dunia beradab kamu hanya jadi pembunuh!”
Pohon durian itu merasakan aura panas Doktor. Ia tidak berani menyapa lagi, takut Doktor tambah sebel. Ia pernah dengar gosip, pesawat jatuh gara-gara keberatan ngangkut durian. ”Kalau toh itu betul, bukan salah durennya, tapi manusianya,” kata pohon durian itu dalam hati.
Doktor tahu apa yang tidak dikatakan. Ia paham sekarang apa yang dimaksud oleh Profesor mantan Menteri Kesenian itu.
“Profesor tidak rela kalau warisannya disia-siakan, seperti yang selalu terjadi di kementerian apa pun ketika ada pergantian menteri,” kata Doktor menyimpulkan dalam hati.
Kemudian muncul istrinya. Bu Doktor membawa sejumlah tukang yang hajatnya menyulap kebun jadi taman bunga. Doktor mewanti-wanti.
“Jangan! Pohon-pohonnya tidak usah ditebang!”
“Lho kenapa, bukannya bulan depan mau ada pertemuan dengan 200 orang pemangku adat dari seluruh Nusantara? Masak rumah dibiarkan seperti hutan? Memangnya ini rumah Tarzan?!”
Doktor tak berkutik. Hari itu juga kebun dibabat habis. Sela sebulan kemudian disulap jadi taman bunga meniru contoh taman-taman di majalah.
Dalam pertemuan dengan 200 pemangku adat yang dilangsungkan di taman, semua memuji taman itu.
“Belum pernah kami melihat taman yang cantik seperti taman raja-raja di daerah,” puji salah seorang peserta, “kami ingin meniru, tapi berapa kira-kira biayanya?”
Bu Doktor menjawab bangga, ”Ya, sekitar satu miliar saja. Soalnya tamannya dari luar semua. Termasuk arsitek yang merencanakannya.”
Selesai pertemuan banyak tanaman rusak kena injak. Beberapa hilang, dibawa pulang peserta untuk oleh-oleh.
Bu Doktor menangis dan marah besar. “Lain kali jangan bikin pertemuan di rumah dengan orang-orang kampungan kecuali tamu-tamu Negara! Belum setahun jadi menteri kita sudah rugi!”
Doktor tak memberi komentar. Dia duduk termangu, memandang taman yang amburadul itu. Lalu merenung, bahwa sesungguhnya ilmu-ilmu pengetahuan tradisi yang intinya kolektivitas sering bertentangan dengan pengetahuan modern yang memulyakan kepentingan individu. Apakah ada jembatan untuk menghubungkannya? Mungkinkah jawabannya ada dalam kearifan lokal?
Tak terduga mantan Menteri Kesenian berkunjung. Ia sudah mendengar pohon durian yang diwariskannya dibabat. Ia juga sudah dapat informasi Bu Doktor sangat berang taman yang sangat dibanggakannya hancur. Padahal itu seandainya untuk menyambut Pertemuan Besar Dharma Wanita se-ASEAN. “Saya ikut prihatin, Doktor.”
“O, terima kasih Prof. Tapi saya mendapat hikmahnya. Saya kini melihat peran kearifan lokal untuk semua fenomena paradoksal ilmu pengetahuan tradisi dan pengetahuan modern. Cuma saya harus minta maaf.” “Maaf? Kenapa?”
“Kenangan Profesor yang ditinggalkan di sini tidak berhasil saya jaga.”
Profesor tertegun, seperti bingung.
“Maksud Doktor?”
Doktor menunjuk ke taman.
“Pohon durian warisan Profesor dan yang lain-lain sudah ditebang semua. Saya minta maaf.”
Profesor mantan Menteri Kesenian itu memandang ke taman. Lama. Kemudian ia menoleh Doktor yang terus berusaha menunjukkan keprihatinannya.
“Maaf, Doktor mungkin khilaf.”
Doktor mengangguk.
“Bukan saya. Istri saya mengejek, ini bukan rumah Tarzan. Saya terlalu marah sehingga diam saja melihat pohon-pohon itu digergaji dengan kejam sekali. Saya minta maaf sekali lagi!”
Doktor terkejut melepaskan pelukannya.
“Itu kearifan lokal Prof!”
Profesor termenung.
“Anda sebut apa pun boleh. Memandang keluar jendela melihat kebun selalu membuat saya menjadi penonton dari diri saya sendiri. Dalam semua kebijakan yang saya ambil selaku menteri dalam masa jabatan saya dulu, saya tidak mengatur kesenian, tapi belajar dari kesenian. Ternyata seni bukan hiburan tapi pelajaran. Ilmu untuk memandang diri sendiri.”
Percakapan itu terukir di benak Doktor. Dalam masa jabatannya, ia sama sekali tidak mencoba mengatur ilmu-ilmu pengetahuan tradisi dan kearifan lokal. Tapi menarik pelajaran sebanyak-banyaknya, seperti Profesor mantan Menteri Kesenian itu.
Namun belum selesai masa jabatannya, dipengujung tahun menjelang tahun baru, ada resufle kabinet. Doktor diturunkan dari kursinya dan harus meninggalkan perumahan menteri.
Sebelum pergi, Doktor mengulang ucapan mantan Menteri Kesenian dulu. Kepada Bu Lalulala, Menteri Kekayaan Nusantara yang ganti menempati rumahnya, ia berkata, “Bu Menteri, pandanglah keluar jendela, simak kenangan Profesor Menteri Kesenian yang ada di taman: ’jangan membuat kerusakan sebagai pembenaran mengatur-atur, tapi seperti kearifan lokal, kekuasaan adalah penugasan mempelajari yang belum kita pahami.”
Bu Menteri Lalulala menjawab sambil tersenyum, “Setuju Dok! Betul sekali. Tapi maaf, saya tak mau di-resufle, karena dicap mengganggu birokrasi!”


Jawa Pos, Minggu 28 Desember 2014   

Senin, 12 Januari 2015

2014
OLEH PUTU WIJAYA
Elly muncul di rumah Bu Amat. Matanya bengkak oleh tangis. Tubuhnya tipis layu. Wajahnya seperti mayat.
Bu Amat kaget melihat sahabatnya di SD mengenaskan begitu. Ia langsung memeluk dan mengajaknya duduk. Menghidangkan teh manis panas dan menghiburnya.
“Ada apa Elly?”
“Habis bagaimana lagi!”
“Kenapa jadi kurus-kering begini, Elly? Sakit apa?”
“Sakit hati. Gagal. Tidak seperti aku rencanakan, Nyoman,” jawab Elly dengan suara hancur. “Sekarang tidak ada harapan lagi. Diana akan pergi selama-lamanya. Dia bilang aku bukan ibunya!”
Elly, ibunya Diana, tak sanggup lagi curhat. Ia menangis tersedu-segu. Bu Amat jadi serbasalah. Ia merasa sudah mengikuti apa yang diminta sahabatnya itu. Yakni mendorongkan Diana kepada situasi yang mau tak mau mengharuskan ia pulang. Mengikis kemauannya sendiri untuk minggat, lalu kembali selamanya. Karena ibunya sekarat.
“Yang terjadi kebalikannya, Nyoman. Boro-boro Diana pulang, kirim SMS pun tidak. Dia benci kepada aku.”
“Jangan berfikir begitu! Diana kembali ke Jakarta mendadak, mungkin karena ada kabar anaknya masuk RSU kedua-duanya. Itu akibat mereka terkejut. Habis ibunya pergi mendadak! Mereka pasti takut, jangan-jangan ibunya tidak kembali lagi! Dan itu memang rencana Diana, sebab ia sudah muak dengan kelakuan suaminya yang kejam. Ya, kan?”
Bu Diana terkesima. Air matanya mendadak berhenti mengucur. Dia menatap Bu Amat seakan-akan tak percaya yang barusan diucapkan sahabatnya.
“O, begitu? Kata siapa?”
“Kata Ami, anakku. Kan Ami dan Diana teman baik, seperti kita dulu.”
Bu Diana menghapus air matanya.
“Jadi, dia tidak jadi pulang karena anaknya sakit?”
“Ya, mestinya begitu. Jangan lupa, Diana bukan anak kecil lagi, Elly! Dia sudah menjadi ibu seperti kita. Kalau bagi kita, anak nomor satu, Diana juga begitu. Segala urusan akan dia batalkan demi anaknya. Kita juga begitu, kan?”
Bu Diana termenung. Ada kilat baru menorah matanya.
“Tapi aku rindu sekali pada Diana, Nyoman. Dia anak sulung, cantik, pinter, kesayanganku!”
“Diana juga mesti begitu terhadap anaknya!”
“Kalau begitu, dia tidak pulang bukan karena benci kepadaku, tapi karena lebih cinta pada anaknya. Pada hal dia sudah di sini, mengapa tidak menyempatkan datang sebentar saja? Kenapa tidak SMS saja?”
Bu Amat hampir tidak bisa menjawab. Untung Amat muncul menolong.
“Bu Diana, maaf, setahu saya, kalau orang panik, dia akan lupa segalanya. Ibu juga sudah panik, karena Diana tak jadi datang, sampai Ibu bingung. Lihat sandal Ibu yang satu cokelat dan yang lain hitam!”
Amat menunjuk ke sandal Bu Diana. Perempuan itu terkejut, kemudian kemalu-maluan. Namun, terasa kegembiraannya pulih.
“Apa tidak sebaiknya saya menyusul saja ke Jakarta?”
Bu Amat terkejut.
“Jangan!”
“Kenapa?”
Bu Amat bingung. Amat kembali menolong, “Seperti yang dikatakan istri saya tadi, Diana bukan anak kecil lagi. Dia orang dewasa seperti kita. Dia seorang ibu seperti ibu sendiri. Beri dia waktu menyelesaikan persoalannya. Jangan terus direcoki. Pada akhirnya kita harus memberi kesempatan anak kita menyelesaikan persoalannya sendiri. Kami juga begitu. Sesudah dewasa, anak bukan milik kita lagi, tapi milik anak dan keluarganya.” Bu Diana lama merenung. Akhirnya ia menarik napas panjang.
“Saya belum siap kehilangan anak-anak saya, meskipun dia sudah jadi milik anak-anaknya. Apa kita tidak boleh saling berbagi saja terus?”
Amat tidak bias menjawab. Dia menoleh ke arah istrinya, seperti minta bantuan. Dan tak terduga, setelah menarik nafas dalam, Bu Amat menjawab, lirih tapi tegas, “Dulu bias begitu, Elly. Memang begitu adat kita orang Timur. Dulu, tapi. Kita semua adalah keluarga besar yang saling memiliki. Tapi sekarang, sudah lain. Kita akan memasuki tahun 2014. Kita tidak boleh lagi memiliki anak-anak kita, karena mereka sudah dimiliki oleh putra-putri mereka. Kita bukan lagi di zaman kita Elly, tapi menumpang di zaman anak-anak kita. Di zaman Ami dan Diana. Kita harus mawas diri!”
Elly, ibu Diana, termenung. Bu Amat juga kaget oleh kata-katanya sendiri. Ia seperti tak percaya apa yang barusan dipaparkannya.
Bu Diana kelihatan mulai tenang. Ia bersiap-siap pamit.
Tiba-tiba Amat melihat pintu depan, terbuka perlahan dan Tahun 2014 masuk menggendong kopor berisi berbagai perubahan yang akan terjadi. Ia bicara seperti mengoreksi:
“Bukan hanya anak-anak tidak lagi anak Panjenengan, tanah yang Panjenengan injak, langit yang Panjenengan junjung, berikut segala kekayaan yang ada di dalamnya, juga bukan milik Panjenengan lagi!”
Amat terkejut.
“Masak?”
“Yakin!”
“Kalau bukan milik kami, milik siapa dong?!”
“Milik anak-anak kalian yang kalian kadalin selama ini!”
Amat terkejut, langsung protes.
“Aku? Lho kok aku! Aku tidak ikut kok! Aku rakyat kecil! Itu dong para konglongmerat kapitalis dan pejabat-pejabat yang culas itu. Aku manusia biasa yang jadi korban!”
Tahun Baru itu seperti tak punya kuping. Dia menatap Amat tajam.
“Ente sama semua. Selalu mengaku tidak ikut dan mencari kambing hitam dengan telunjuk. Jari itu untuk diacungkan kalau ngaku salah, bukan menuduh, tahu!”
Amat tak membantah. Ia merasa tak ada gunanya. Tahun itu mungkin sedang bicara kepada semua orang, jadi pukul rata saja. Tapi karena ia nyelonong mau masuk, Amat membentak.
“Tunggu! Belum waktunya! Ini baru jam berapa?! Silakan tunggu beberapa jam lagi!” Bu Amat kaget, lalu menoleh ke suaminya.
“Bapak bicara sama siapa?”
“Tahun Baru 2014. Dia freekick, belum waktunya masuk, sudah nyelonong. Maaf, Bu Diana!”
Bu Diana yang mau pamitan, menoleh heran.
“Ya,  Pak?”
“Anak-anak kita memang bukan anak kita lagi. Karena mereka sudah jadi ibu dan milik anaknya. Tapi cucu-cucu Ibu tetap masih cucu Ibu, dan milik Ibu. Sebaiknya Ibu kejar ke Jakarta!”
Bu Diana terkejut. Usul Amat itu menyengatnya. Pikirannya terusik. Kemudian ia menoleh ke Bu Amat.
“Betul juga, Nyoman,” desisnya, seperti orang baru mendusin dari pingsan panjang.
“Betul! Aku harus menengok cucuku, mereka itu milikku. Tak peduli aku benci bapaknya. Karena itu darah Diana, itu berarti darahku juga. Aku harus ke Jakarta besok, Nyoman. Tak ada yang bisa melarangku!”
Bu Diana mau keluar.
“Tidak perlu, Elly!”
“Kenapa?”
“Karena Diana dan anaknya tidak ada di Jakarta!”
Bu Diana terperanjat.
“Tidak? Di mana dia?”
“Di sini, mendengarkan percakapan kita dari tadi!”
Bu Diana tercengang. Pintu kamar terbuka. Keluar Diana menggendong kedua anak kembarnya. Bu Diana ternganga tak percaya apa yang dilihatnya.
Bu Amat memberi isyarat pada suaminya supaya membiarkan reuni berjalan sendiri. Cepat-cepat Amat mengikuti istrinya keluar.
Tahun 2014 juga mengambil kopornya dan ikut keluar.
“Aku mau makan bakso saja dulu, nanti pukul 00.00 aku balik!”
“Silakan,” jawab Amat, “bawalah segala perubahan yang kau rencanakan. Cuma camkan! Bukan perubahan kamu yang akan menentukan nasib kami, tapi kami sendiri!” Tahun Baru yang kecepatan datang itu mesem, “Oke, bro, tapi kalau tidak gua gertak tadi, kata-kata jantan itu tidak akan keluar dari mulutmu, Amat!”

Jawa Pos, Minggu 29 September 2013