Pengunjung

4,913

Senin, 12 Januari 2015

2014
OLEH PUTU WIJAYA
Elly muncul di rumah Bu Amat. Matanya bengkak oleh tangis. Tubuhnya tipis layu. Wajahnya seperti mayat.
Bu Amat kaget melihat sahabatnya di SD mengenaskan begitu. Ia langsung memeluk dan mengajaknya duduk. Menghidangkan teh manis panas dan menghiburnya.
“Ada apa Elly?”
“Habis bagaimana lagi!”
“Kenapa jadi kurus-kering begini, Elly? Sakit apa?”
“Sakit hati. Gagal. Tidak seperti aku rencanakan, Nyoman,” jawab Elly dengan suara hancur. “Sekarang tidak ada harapan lagi. Diana akan pergi selama-lamanya. Dia bilang aku bukan ibunya!”
Elly, ibunya Diana, tak sanggup lagi curhat. Ia menangis tersedu-segu. Bu Amat jadi serbasalah. Ia merasa sudah mengikuti apa yang diminta sahabatnya itu. Yakni mendorongkan Diana kepada situasi yang mau tak mau mengharuskan ia pulang. Mengikis kemauannya sendiri untuk minggat, lalu kembali selamanya. Karena ibunya sekarat.
“Yang terjadi kebalikannya, Nyoman. Boro-boro Diana pulang, kirim SMS pun tidak. Dia benci kepada aku.”
“Jangan berfikir begitu! Diana kembali ke Jakarta mendadak, mungkin karena ada kabar anaknya masuk RSU kedua-duanya. Itu akibat mereka terkejut. Habis ibunya pergi mendadak! Mereka pasti takut, jangan-jangan ibunya tidak kembali lagi! Dan itu memang rencana Diana, sebab ia sudah muak dengan kelakuan suaminya yang kejam. Ya, kan?”
Bu Diana terkesima. Air matanya mendadak berhenti mengucur. Dia menatap Bu Amat seakan-akan tak percaya yang barusan diucapkan sahabatnya.
“O, begitu? Kata siapa?”
“Kata Ami, anakku. Kan Ami dan Diana teman baik, seperti kita dulu.”
Bu Diana menghapus air matanya.
“Jadi, dia tidak jadi pulang karena anaknya sakit?”
“Ya, mestinya begitu. Jangan lupa, Diana bukan anak kecil lagi, Elly! Dia sudah menjadi ibu seperti kita. Kalau bagi kita, anak nomor satu, Diana juga begitu. Segala urusan akan dia batalkan demi anaknya. Kita juga begitu, kan?”
Bu Diana termenung. Ada kilat baru menorah matanya.
“Tapi aku rindu sekali pada Diana, Nyoman. Dia anak sulung, cantik, pinter, kesayanganku!”
“Diana juga mesti begitu terhadap anaknya!”
“Kalau begitu, dia tidak pulang bukan karena benci kepadaku, tapi karena lebih cinta pada anaknya. Pada hal dia sudah di sini, mengapa tidak menyempatkan datang sebentar saja? Kenapa tidak SMS saja?”
Bu Amat hampir tidak bisa menjawab. Untung Amat muncul menolong.
“Bu Diana, maaf, setahu saya, kalau orang panik, dia akan lupa segalanya. Ibu juga sudah panik, karena Diana tak jadi datang, sampai Ibu bingung. Lihat sandal Ibu yang satu cokelat dan yang lain hitam!”
Amat menunjuk ke sandal Bu Diana. Perempuan itu terkejut, kemudian kemalu-maluan. Namun, terasa kegembiraannya pulih.
“Apa tidak sebaiknya saya menyusul saja ke Jakarta?”
Bu Amat terkejut.
“Jangan!”
“Kenapa?”
Bu Amat bingung. Amat kembali menolong, “Seperti yang dikatakan istri saya tadi, Diana bukan anak kecil lagi. Dia orang dewasa seperti kita. Dia seorang ibu seperti ibu sendiri. Beri dia waktu menyelesaikan persoalannya. Jangan terus direcoki. Pada akhirnya kita harus memberi kesempatan anak kita menyelesaikan persoalannya sendiri. Kami juga begitu. Sesudah dewasa, anak bukan milik kita lagi, tapi milik anak dan keluarganya.” Bu Diana lama merenung. Akhirnya ia menarik napas panjang.
“Saya belum siap kehilangan anak-anak saya, meskipun dia sudah jadi milik anak-anaknya. Apa kita tidak boleh saling berbagi saja terus?”
Amat tidak bias menjawab. Dia menoleh ke arah istrinya, seperti minta bantuan. Dan tak terduga, setelah menarik nafas dalam, Bu Amat menjawab, lirih tapi tegas, “Dulu bias begitu, Elly. Memang begitu adat kita orang Timur. Dulu, tapi. Kita semua adalah keluarga besar yang saling memiliki. Tapi sekarang, sudah lain. Kita akan memasuki tahun 2014. Kita tidak boleh lagi memiliki anak-anak kita, karena mereka sudah dimiliki oleh putra-putri mereka. Kita bukan lagi di zaman kita Elly, tapi menumpang di zaman anak-anak kita. Di zaman Ami dan Diana. Kita harus mawas diri!”
Elly, ibu Diana, termenung. Bu Amat juga kaget oleh kata-katanya sendiri. Ia seperti tak percaya apa yang barusan dipaparkannya.
Bu Diana kelihatan mulai tenang. Ia bersiap-siap pamit.
Tiba-tiba Amat melihat pintu depan, terbuka perlahan dan Tahun 2014 masuk menggendong kopor berisi berbagai perubahan yang akan terjadi. Ia bicara seperti mengoreksi:
“Bukan hanya anak-anak tidak lagi anak Panjenengan, tanah yang Panjenengan injak, langit yang Panjenengan junjung, berikut segala kekayaan yang ada di dalamnya, juga bukan milik Panjenengan lagi!”
Amat terkejut.
“Masak?”
“Yakin!”
“Kalau bukan milik kami, milik siapa dong?!”
“Milik anak-anak kalian yang kalian kadalin selama ini!”
Amat terkejut, langsung protes.
“Aku? Lho kok aku! Aku tidak ikut kok! Aku rakyat kecil! Itu dong para konglongmerat kapitalis dan pejabat-pejabat yang culas itu. Aku manusia biasa yang jadi korban!”
Tahun Baru itu seperti tak punya kuping. Dia menatap Amat tajam.
“Ente sama semua. Selalu mengaku tidak ikut dan mencari kambing hitam dengan telunjuk. Jari itu untuk diacungkan kalau ngaku salah, bukan menuduh, tahu!”
Amat tak membantah. Ia merasa tak ada gunanya. Tahun itu mungkin sedang bicara kepada semua orang, jadi pukul rata saja. Tapi karena ia nyelonong mau masuk, Amat membentak.
“Tunggu! Belum waktunya! Ini baru jam berapa?! Silakan tunggu beberapa jam lagi!” Bu Amat kaget, lalu menoleh ke suaminya.
“Bapak bicara sama siapa?”
“Tahun Baru 2014. Dia freekick, belum waktunya masuk, sudah nyelonong. Maaf, Bu Diana!”
Bu Diana yang mau pamitan, menoleh heran.
“Ya,  Pak?”
“Anak-anak kita memang bukan anak kita lagi. Karena mereka sudah jadi ibu dan milik anaknya. Tapi cucu-cucu Ibu tetap masih cucu Ibu, dan milik Ibu. Sebaiknya Ibu kejar ke Jakarta!”
Bu Diana terkejut. Usul Amat itu menyengatnya. Pikirannya terusik. Kemudian ia menoleh ke Bu Amat.
“Betul juga, Nyoman,” desisnya, seperti orang baru mendusin dari pingsan panjang.
“Betul! Aku harus menengok cucuku, mereka itu milikku. Tak peduli aku benci bapaknya. Karena itu darah Diana, itu berarti darahku juga. Aku harus ke Jakarta besok, Nyoman. Tak ada yang bisa melarangku!”
Bu Diana mau keluar.
“Tidak perlu, Elly!”
“Kenapa?”
“Karena Diana dan anaknya tidak ada di Jakarta!”
Bu Diana terperanjat.
“Tidak? Di mana dia?”
“Di sini, mendengarkan percakapan kita dari tadi!”
Bu Diana tercengang. Pintu kamar terbuka. Keluar Diana menggendong kedua anak kembarnya. Bu Diana ternganga tak percaya apa yang dilihatnya.
Bu Amat memberi isyarat pada suaminya supaya membiarkan reuni berjalan sendiri. Cepat-cepat Amat mengikuti istrinya keluar.
Tahun 2014 juga mengambil kopornya dan ikut keluar.
“Aku mau makan bakso saja dulu, nanti pukul 00.00 aku balik!”
“Silakan,” jawab Amat, “bawalah segala perubahan yang kau rencanakan. Cuma camkan! Bukan perubahan kamu yang akan menentukan nasib kami, tapi kami sendiri!” Tahun Baru yang kecepatan datang itu mesem, “Oke, bro, tapi kalau tidak gua gertak tadi, kata-kata jantan itu tidak akan keluar dari mulutmu, Amat!”

Jawa Pos, Minggu 29 September 2013    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar