2014
OLEH PUTU WIJAYA
Elly muncul di rumah Bu Amat.
Matanya bengkak oleh tangis. Tubuhnya tipis layu. Wajahnya seperti mayat.
Bu Amat kaget melihat sahabatnya
di SD mengenaskan begitu. Ia langsung memeluk dan mengajaknya duduk.
Menghidangkan teh manis panas dan menghiburnya.
“Ada apa Elly?”
“Habis bagaimana lagi!”
“Kenapa jadi kurus-kering
begini, Elly? Sakit apa?”
“Sakit hati. Gagal. Tidak
seperti aku rencanakan, Nyoman,” jawab Elly dengan suara hancur. “Sekarang
tidak ada harapan lagi. Diana akan pergi selama-lamanya. Dia bilang aku bukan
ibunya!”
Elly, ibunya Diana, tak sanggup
lagi curhat. Ia menangis tersedu-segu. Bu Amat jadi serbasalah. Ia merasa sudah
mengikuti apa yang diminta sahabatnya itu. Yakni mendorongkan Diana kepada
situasi yang mau tak mau mengharuskan ia pulang. Mengikis kemauannya sendiri
untuk minggat, lalu kembali selamanya. Karena ibunya sekarat.
“Yang terjadi kebalikannya,
Nyoman. Boro-boro Diana pulang, kirim SMS pun tidak. Dia benci kepada aku.”
“Jangan berfikir begitu! Diana
kembali ke Jakarta mendadak, mungkin karena ada kabar anaknya masuk RSU
kedua-duanya. Itu akibat mereka terkejut. Habis ibunya pergi mendadak! Mereka
pasti takut, jangan-jangan ibunya tidak kembali lagi! Dan itu memang rencana
Diana, sebab ia sudah muak dengan kelakuan suaminya yang kejam. Ya, kan?”
Bu Diana terkesima. Air matanya
mendadak berhenti mengucur. Dia menatap Bu Amat seakan-akan tak percaya yang
barusan diucapkan sahabatnya.
“O, begitu? Kata siapa?”
“Kata Ami, anakku. Kan Ami dan
Diana teman baik, seperti kita dulu.”
Bu Diana menghapus air matanya.
“Jadi, dia tidak jadi pulang
karena anaknya sakit?”
“Ya, mestinya begitu. Jangan
lupa, Diana bukan anak kecil lagi, Elly! Dia sudah menjadi ibu seperti kita.
Kalau bagi kita, anak nomor satu, Diana juga begitu. Segala urusan akan dia
batalkan demi anaknya. Kita juga begitu, kan?”
Bu Diana termenung. Ada kilat
baru menorah matanya.
“Tapi aku rindu sekali pada
Diana, Nyoman. Dia anak sulung, cantik, pinter, kesayanganku!”
“Diana juga mesti begitu
terhadap anaknya!”
“Kalau begitu, dia tidak pulang
bukan karena benci kepadaku, tapi karena lebih cinta pada anaknya. Pada hal dia
sudah di sini, mengapa tidak menyempatkan datang sebentar saja? Kenapa tidak
SMS saja?”
Bu Amat hampir tidak bisa
menjawab. Untung Amat muncul menolong.
“Bu Diana, maaf, setahu saya,
kalau orang panik, dia akan lupa segalanya. Ibu juga sudah panik, karena Diana
tak jadi datang, sampai Ibu bingung. Lihat sandal Ibu yang satu cokelat dan
yang lain hitam!”
Amat menunjuk ke sandal Bu
Diana. Perempuan itu terkejut, kemudian kemalu-maluan. Namun, terasa
kegembiraannya pulih.
“Apa tidak sebaiknya saya
menyusul saja ke Jakarta?”
Bu Amat terkejut.
“Jangan!”
“Kenapa?”
Bu Amat bingung. Amat kembali
menolong, “Seperti yang dikatakan istri saya tadi, Diana bukan anak kecil lagi.
Dia orang dewasa seperti kita. Dia seorang ibu seperti ibu sendiri. Beri dia
waktu menyelesaikan persoalannya. Jangan terus direcoki. Pada akhirnya kita harus
memberi kesempatan anak kita menyelesaikan persoalannya sendiri. Kami juga
begitu. Sesudah dewasa, anak bukan milik kita lagi, tapi milik anak dan
keluarganya.” Bu Diana lama merenung. Akhirnya ia menarik napas panjang.
“Saya belum siap kehilangan anak-anak
saya, meskipun dia sudah jadi milik anak-anaknya. Apa kita tidak boleh saling
berbagi saja terus?”
Amat tidak bias menjawab. Dia menoleh
ke arah istrinya, seperti minta bantuan. Dan tak terduga, setelah menarik nafas
dalam, Bu Amat menjawab, lirih tapi tegas, “Dulu bias begitu, Elly. Memang begitu
adat kita orang Timur. Dulu, tapi. Kita semua adalah keluarga besar yang saling
memiliki. Tapi sekarang, sudah lain. Kita akan memasuki tahun 2014. Kita tidak boleh
lagi memiliki anak-anak kita, karena mereka sudah dimiliki oleh putra-putri
mereka. Kita bukan lagi di zaman kita Elly, tapi menumpang di zaman anak-anak
kita. Di zaman Ami dan Diana. Kita harus mawas diri!”
Elly, ibu Diana, termenung. Bu Amat
juga kaget oleh kata-katanya sendiri. Ia seperti tak percaya apa yang barusan
dipaparkannya.
Bu Diana kelihatan mulai tenang.
Ia bersiap-siap pamit.
Tiba-tiba Amat melihat pintu
depan, terbuka perlahan dan Tahun 2014 masuk menggendong kopor berisi berbagai
perubahan yang akan terjadi. Ia bicara seperti mengoreksi:
“Bukan hanya anak-anak tidak
lagi anak Panjenengan, tanah yang Panjenengan injak, langit yang Panjenengan
junjung, berikut segala kekayaan yang ada di dalamnya, juga bukan milik
Panjenengan lagi!”
Amat terkejut.
“Masak?”
“Yakin!”
“Kalau bukan milik kami, milik
siapa dong?!”
“Milik anak-anak kalian yang
kalian kadalin selama ini!”
Amat terkejut, langsung protes.
“Aku? Lho kok aku! Aku tidak
ikut kok! Aku rakyat kecil! Itu dong para konglongmerat kapitalis dan
pejabat-pejabat yang culas itu. Aku manusia biasa yang jadi korban!”
Tahun Baru itu seperti tak punya
kuping. Dia menatap Amat tajam.
“Ente sama semua. Selalu mengaku
tidak ikut dan mencari kambing hitam dengan telunjuk. Jari itu untuk diacungkan
kalau ngaku salah, bukan menuduh, tahu!”
Amat tak membantah. Ia merasa tak
ada gunanya. Tahun itu mungkin sedang bicara kepada semua orang, jadi pukul
rata saja. Tapi karena ia nyelonong mau masuk, Amat membentak.
“Tunggu! Belum waktunya! Ini baru
jam berapa?! Silakan tunggu beberapa jam lagi!” Bu Amat kaget, lalu menoleh ke
suaminya.
“Bapak bicara sama siapa?”
“Tahun Baru 2014. Dia freekick,
belum waktunya masuk, sudah nyelonong. Maaf, Bu Diana!”
Bu Diana yang mau pamitan,
menoleh heran.
“Ya, Pak?”
“Anak-anak kita memang bukan anak
kita lagi. Karena mereka sudah jadi ibu dan milik anaknya. Tapi cucu-cucu Ibu
tetap masih cucu Ibu, dan milik Ibu. Sebaiknya Ibu kejar ke Jakarta!”
Bu Diana terkejut. Usul Amat itu
menyengatnya. Pikirannya terusik. Kemudian ia menoleh ke Bu Amat.
“Betul juga, Nyoman,” desisnya,
seperti orang baru mendusin dari pingsan panjang.
“Betul! Aku harus menengok
cucuku, mereka itu milikku. Tak peduli aku benci bapaknya. Karena itu darah
Diana, itu berarti darahku juga. Aku harus ke Jakarta besok, Nyoman. Tak ada
yang bisa melarangku!”
Bu Diana mau keluar.
“Tidak perlu, Elly!”
“Kenapa?”
“Karena Diana dan anaknya tidak
ada di Jakarta!”
Bu Diana terperanjat.
“Tidak? Di mana dia?”
“Di sini, mendengarkan
percakapan kita dari tadi!”
Bu Diana tercengang. Pintu kamar
terbuka. Keluar Diana menggendong kedua anak kembarnya. Bu Diana ternganga tak
percaya apa yang dilihatnya.
Bu Amat memberi isyarat pada
suaminya supaya membiarkan reuni berjalan sendiri. Cepat-cepat Amat mengikuti
istrinya keluar.
Tahun 2014 juga mengambil kopornya
dan ikut keluar.
“Aku mau makan bakso saja dulu,
nanti pukul 00.00 aku balik!”
“Silakan,” jawab Amat, “bawalah
segala perubahan yang kau rencanakan. Cuma camkan! Bukan perubahan kamu yang
akan menentukan nasib kami, tapi kami sendiri!” Tahun Baru yang kecepatan datang
itu mesem, “Oke, bro, tapi kalau tidak gua gertak tadi, kata-kata jantan itu tidak
akan keluar dari mulutmu, Amat!”
Jawa Pos, Minggu 29 September 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar