Pengunjung

Selasa, 20 Januari 2015

Tahun Baru
OLEH PUTU WIJAYA
Pergantian pemerintahan, menendang menteri-menteri dari kompleks perumahan menteri. Tak satu pun menteri baru berasal dari kabinet lama.
Menteri Kesenian sudah ngepak semua barangnya yang seabrek. Tapi ia masih termenung melihat ke taman. Matanya sayu berkaca-kaca. Ia seperti tak rela meninggalkan tempat yang dihuninya 10 tahun. Dalam masa jabatannya itu, ia berhasil menyulap tanah lebih di belakang rumah jadi kebun yang unik. Perpaduan antara hutan dan taman.
Sedang dalam rumah, seabrek barang seni yang jadi koleksinya berasal dari seluruh Nusantara. Peninggalan tradisi maupun pencapaian-pencapaian kreaitivitas kontemporer. Cukup untuk membangun sebuah museum yang menunjukkan betapa beragam wajah Indonesia.
“Selamat pagi, Prof,” sapa Menteri Ilmu-Ilmu Pengetahuan Tradisi dan Kearifan Lokal, yang akan ganti mengisi rumah. Profesor mantan Menteri Kesenian itu melompat dari lamunannya.
“Maaf Doktor, saya sudah siap, tapi batin saya kok masih tertinggal di sini.”
Doktor tertawa.
“O, tak apa Prof, tinggal saja, jangan khawatir, biar jadi teman saya nanti.”
Profesor ikut tertawa, lalu berdiri mengulurkan tangan. Mereka bersalaman akrab. Itu tradisi baru transisi damai, yang telah dimulai sejak masa Pak SBY.
“Kelihatannya berat sekali meninggalkan tempat ini, Prof?”
“Betul. Bahkan saya lebih mencintainya dari jabatan saya. Kementerian Kesenian rumit. Tidak mudah mengatur orang-orang gila! Seniman semua punya ide-ide aneh yang dianggapnya terbaik. Mereka ego maniak semua!” Doktor nyengir.
“Betul Prof. Tapi jangan terkejut , jelek-jelek saya juga termasuk orang gila meskipun baru menulis satu kumpulan puisi. Jadi termasuk seniman, cuma belum senewen. Memang orang-orang kreatif yang memberikan inspirasi bangsa agaknya harus gila! Ambisius, radikal, militant, blak-blakan, frontal, pokoknya aneh!!” Profesor mengernyitkan alisnya.
“Doktor memang harus berkata begitu, seperti juga saya, dulu, ketika baru mulai menjabat! Tapi kursi birokrasi yang kita duduki menghendaki lain. Ada blue print yang memerlukan keseragaman yang bertentangan dengan improvisasi yang sangat disukai non-birokrat. Saya tak berhasil mendamaikan itu. Okelah, satu tahun lagi kita lihat saja, mungkin Doktor akan memperbaharui paradox itu. Oke, selamat bertugas mengabdi pada Negara!”
“Hati-hati Prof. Banyak politisi bisa memelintir statemen Anda itu jadi boomerang.” Profesor tidak memberi komentar. Ia bergegas pergi.
Menteri Ilmu-Ilmu Pengetahuan Tradisi dan Kearifan Lokal lama termenung oleh kalimat mantan Menteri Kesenian itu. Ia mencoba duduk di kursi yang tadi diduduki Profesor, lalu melepas mata ke taman. Ia mencari perasaan Profesor yang katanya tertinggal.
“Doktor, selamat datang,” sapa pohon besar yang menjulang di satu sudut taman.
“Saya durian Bangkok yang ditanam sendiri oleh Profesor. Saya selalu berbuah sepanjang tahun. Jangan sampai saya ditebang!”
Doktor terkejut. Ia sudah sejak tadi terganggu oleh pohon yang Nampak dominan itu. Tampaknya ia terlalu kuat dan rakus mengambil sinar matahari sehingga pohon-pohon yang lain tampak terdesak.
“Aku benci durian. Ayahku stroke mendadak akibat makan durian!”
Doktor menatap pohon itu dengan geram.
“Mestinya pabrik kolesterol seperti kamu tumbuh di hutan saja. Untuk makanan gajah. Dalam dunia beradab kamu hanya jadi pembunuh!”
Pohon durian itu merasakan aura panas Doktor. Ia tidak berani menyapa lagi, takut Doktor tambah sebel. Ia pernah dengar gosip, pesawat jatuh gara-gara keberatan ngangkut durian. ”Kalau toh itu betul, bukan salah durennya, tapi manusianya,” kata pohon durian itu dalam hati.
Doktor tahu apa yang tidak dikatakan. Ia paham sekarang apa yang dimaksud oleh Profesor mantan Menteri Kesenian itu.
“Profesor tidak rela kalau warisannya disia-siakan, seperti yang selalu terjadi di kementerian apa pun ketika ada pergantian menteri,” kata Doktor menyimpulkan dalam hati.
Kemudian muncul istrinya. Bu Doktor membawa sejumlah tukang yang hajatnya menyulap kebun jadi taman bunga. Doktor mewanti-wanti.
“Jangan! Pohon-pohonnya tidak usah ditebang!”
“Lho kenapa, bukannya bulan depan mau ada pertemuan dengan 200 orang pemangku adat dari seluruh Nusantara? Masak rumah dibiarkan seperti hutan? Memangnya ini rumah Tarzan?!”
Doktor tak berkutik. Hari itu juga kebun dibabat habis. Sela sebulan kemudian disulap jadi taman bunga meniru contoh taman-taman di majalah.
Dalam pertemuan dengan 200 pemangku adat yang dilangsungkan di taman, semua memuji taman itu.
“Belum pernah kami melihat taman yang cantik seperti taman raja-raja di daerah,” puji salah seorang peserta, “kami ingin meniru, tapi berapa kira-kira biayanya?”
Bu Doktor menjawab bangga, ”Ya, sekitar satu miliar saja. Soalnya tamannya dari luar semua. Termasuk arsitek yang merencanakannya.”
Selesai pertemuan banyak tanaman rusak kena injak. Beberapa hilang, dibawa pulang peserta untuk oleh-oleh.
Bu Doktor menangis dan marah besar. “Lain kali jangan bikin pertemuan di rumah dengan orang-orang kampungan kecuali tamu-tamu Negara! Belum setahun jadi menteri kita sudah rugi!”
Doktor tak memberi komentar. Dia duduk termangu, memandang taman yang amburadul itu. Lalu merenung, bahwa sesungguhnya ilmu-ilmu pengetahuan tradisi yang intinya kolektivitas sering bertentangan dengan pengetahuan modern yang memulyakan kepentingan individu. Apakah ada jembatan untuk menghubungkannya? Mungkinkah jawabannya ada dalam kearifan lokal?
Tak terduga mantan Menteri Kesenian berkunjung. Ia sudah mendengar pohon durian yang diwariskannya dibabat. Ia juga sudah dapat informasi Bu Doktor sangat berang taman yang sangat dibanggakannya hancur. Padahal itu seandainya untuk menyambut Pertemuan Besar Dharma Wanita se-ASEAN. “Saya ikut prihatin, Doktor.”
“O, terima kasih Prof. Tapi saya mendapat hikmahnya. Saya kini melihat peran kearifan lokal untuk semua fenomena paradoksal ilmu pengetahuan tradisi dan pengetahuan modern. Cuma saya harus minta maaf.” “Maaf? Kenapa?”
“Kenangan Profesor yang ditinggalkan di sini tidak berhasil saya jaga.”
Profesor tertegun, seperti bingung.
“Maksud Doktor?”
Doktor menunjuk ke taman.
“Pohon durian warisan Profesor dan yang lain-lain sudah ditebang semua. Saya minta maaf.”
Profesor mantan Menteri Kesenian itu memandang ke taman. Lama. Kemudian ia menoleh Doktor yang terus berusaha menunjukkan keprihatinannya.
“Maaf, Doktor mungkin khilaf.”
Doktor mengangguk.
“Bukan saya. Istri saya mengejek, ini bukan rumah Tarzan. Saya terlalu marah sehingga diam saja melihat pohon-pohon itu digergaji dengan kejam sekali. Saya minta maaf sekali lagi!”
Doktor terkejut melepaskan pelukannya.
“Itu kearifan lokal Prof!”
Profesor termenung.
“Anda sebut apa pun boleh. Memandang keluar jendela melihat kebun selalu membuat saya menjadi penonton dari diri saya sendiri. Dalam semua kebijakan yang saya ambil selaku menteri dalam masa jabatan saya dulu, saya tidak mengatur kesenian, tapi belajar dari kesenian. Ternyata seni bukan hiburan tapi pelajaran. Ilmu untuk memandang diri sendiri.”
Percakapan itu terukir di benak Doktor. Dalam masa jabatannya, ia sama sekali tidak mencoba mengatur ilmu-ilmu pengetahuan tradisi dan kearifan lokal. Tapi menarik pelajaran sebanyak-banyaknya, seperti Profesor mantan Menteri Kesenian itu.
Namun belum selesai masa jabatannya, dipengujung tahun menjelang tahun baru, ada resufle kabinet. Doktor diturunkan dari kursinya dan harus meninggalkan perumahan menteri.
Sebelum pergi, Doktor mengulang ucapan mantan Menteri Kesenian dulu. Kepada Bu Lalulala, Menteri Kekayaan Nusantara yang ganti menempati rumahnya, ia berkata, “Bu Menteri, pandanglah keluar jendela, simak kenangan Profesor Menteri Kesenian yang ada di taman: ’jangan membuat kerusakan sebagai pembenaran mengatur-atur, tapi seperti kearifan lokal, kekuasaan adalah penugasan mempelajari yang belum kita pahami.”
Bu Menteri Lalulala menjawab sambil tersenyum, “Setuju Dok! Betul sekali. Tapi maaf, saya tak mau di-resufle, karena dicap mengganggu birokrasi!”


Jawa Pos, Minggu 28 Desember 2014   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar