Tahun Baru
OLEH PUTU WIJAYA
Pergantian pemerintahan, menendang menteri-menteri dari
kompleks perumahan menteri. Tak satu pun menteri baru berasal dari kabinet
lama.
Menteri Kesenian sudah ngepak semua barangnya yang seabrek.
Tapi ia masih termenung melihat ke taman. Matanya sayu berkaca-kaca. Ia seperti
tak rela meninggalkan tempat yang dihuninya 10 tahun. Dalam masa jabatannya
itu, ia berhasil menyulap tanah lebih di belakang rumah jadi kebun yang unik.
Perpaduan antara hutan dan taman.
Sedang dalam rumah, seabrek barang seni yang jadi koleksinya
berasal dari seluruh Nusantara. Peninggalan tradisi maupun
pencapaian-pencapaian kreaitivitas kontemporer. Cukup untuk membangun sebuah
museum yang menunjukkan betapa beragam wajah Indonesia.
“Selamat pagi, Prof,” sapa Menteri Ilmu-Ilmu Pengetahuan
Tradisi dan Kearifan Lokal, yang akan ganti mengisi rumah. Profesor mantan
Menteri Kesenian itu melompat dari lamunannya.
“Maaf Doktor, saya sudah siap, tapi batin saya kok masih
tertinggal di sini.”
Doktor tertawa.
“O, tak apa Prof, tinggal saja, jangan khawatir, biar jadi
teman saya nanti.”
Profesor ikut tertawa, lalu berdiri mengulurkan tangan.
Mereka bersalaman akrab. Itu tradisi baru transisi damai, yang telah dimulai
sejak masa Pak SBY.
“Kelihatannya berat sekali meninggalkan tempat ini, Prof?”
“Betul. Bahkan saya lebih mencintainya dari jabatan saya.
Kementerian Kesenian rumit. Tidak mudah mengatur orang-orang gila! Seniman
semua punya ide-ide aneh yang dianggapnya terbaik. Mereka ego maniak semua!”
Doktor nyengir.
“Betul Prof. Tapi jangan terkejut , jelek-jelek saya juga
termasuk orang gila meskipun baru menulis satu kumpulan puisi. Jadi termasuk
seniman, cuma belum senewen. Memang orang-orang kreatif yang memberikan
inspirasi bangsa agaknya harus gila! Ambisius, radikal, militant, blak-blakan,
frontal, pokoknya aneh!!” Profesor mengernyitkan alisnya.
“Doktor memang harus berkata begitu, seperti juga saya, dulu,
ketika baru mulai menjabat! Tapi kursi birokrasi yang kita duduki menghendaki
lain. Ada blue print yang memerlukan
keseragaman yang bertentangan dengan improvisasi yang sangat disukai
non-birokrat. Saya tak berhasil mendamaikan itu. Okelah, satu tahun lagi kita
lihat saja, mungkin Doktor akan memperbaharui paradox itu. Oke, selamat
bertugas mengabdi pada Negara!”
“Hati-hati Prof. Banyak politisi bisa memelintir statemen
Anda itu jadi boomerang.” Profesor tidak memberi komentar. Ia bergegas pergi.
Menteri Ilmu-Ilmu Pengetahuan Tradisi dan Kearifan Lokal lama
termenung oleh kalimat mantan Menteri Kesenian itu. Ia mencoba duduk di kursi
yang tadi diduduki Profesor, lalu melepas mata ke taman. Ia mencari perasaan
Profesor yang katanya tertinggal.
“Doktor, selamat datang,” sapa pohon besar yang menjulang di
satu sudut taman.
“Saya durian Bangkok yang ditanam sendiri oleh Profesor. Saya
selalu berbuah sepanjang tahun. Jangan sampai saya ditebang!”
Doktor terkejut. Ia sudah sejak tadi terganggu oleh pohon
yang Nampak dominan itu. Tampaknya ia terlalu kuat dan rakus mengambil sinar
matahari sehingga pohon-pohon yang lain tampak terdesak.
“Aku benci durian. Ayahku stroke
mendadak akibat makan durian!”
Doktor menatap pohon itu dengan geram.
“Mestinya pabrik kolesterol seperti kamu tumbuh di hutan
saja. Untuk makanan gajah. Dalam dunia beradab kamu hanya jadi pembunuh!”
Pohon durian itu merasakan aura panas Doktor. Ia tidak berani
menyapa lagi, takut Doktor tambah sebel. Ia pernah dengar gosip, pesawat jatuh
gara-gara keberatan ngangkut durian. ”Kalau toh itu betul, bukan salah
durennya, tapi manusianya,” kata pohon durian itu dalam hati.
Doktor tahu apa yang tidak dikatakan. Ia paham sekarang apa
yang dimaksud oleh Profesor mantan Menteri Kesenian itu.
“Profesor tidak rela kalau warisannya disia-siakan, seperti
yang selalu terjadi di kementerian apa pun ketika ada pergantian menteri,” kata
Doktor menyimpulkan dalam hati.
Kemudian muncul istrinya. Bu Doktor membawa sejumlah tukang
yang hajatnya menyulap kebun jadi taman bunga. Doktor mewanti-wanti.
“Jangan! Pohon-pohonnya tidak usah ditebang!”
“Lho kenapa, bukannya bulan depan mau ada pertemuan dengan
200 orang pemangku adat dari seluruh Nusantara? Masak rumah dibiarkan seperti
hutan? Memangnya ini rumah Tarzan?!”
Doktor tak berkutik. Hari itu juga kebun dibabat habis. Sela
sebulan kemudian disulap jadi taman bunga meniru contoh taman-taman di majalah.
Dalam pertemuan dengan 200 pemangku adat yang dilangsungkan
di taman, semua memuji taman itu.
“Belum pernah kami melihat taman yang cantik seperti taman
raja-raja di daerah,” puji salah seorang peserta, “kami ingin meniru, tapi
berapa kira-kira biayanya?”
Bu Doktor menjawab bangga, ”Ya, sekitar satu miliar saja.
Soalnya tamannya dari luar semua. Termasuk arsitek yang merencanakannya.”
Selesai pertemuan banyak tanaman rusak kena injak. Beberapa
hilang, dibawa pulang peserta untuk oleh-oleh.
Bu Doktor menangis dan marah besar. “Lain kali jangan bikin
pertemuan di rumah dengan orang-orang kampungan kecuali tamu-tamu Negara! Belum
setahun jadi menteri kita sudah rugi!”
Doktor tak memberi komentar. Dia duduk termangu, memandang
taman yang amburadul itu. Lalu merenung, bahwa sesungguhnya ilmu-ilmu
pengetahuan tradisi yang intinya kolektivitas sering bertentangan dengan
pengetahuan modern yang memulyakan kepentingan individu. Apakah ada jembatan
untuk menghubungkannya? Mungkinkah jawabannya ada dalam kearifan lokal?
Tak terduga mantan Menteri Kesenian berkunjung. Ia sudah
mendengar pohon durian yang diwariskannya dibabat. Ia juga sudah dapat
informasi Bu Doktor sangat berang taman yang sangat dibanggakannya hancur.
Padahal itu seandainya untuk menyambut Pertemuan Besar Dharma Wanita se-ASEAN.
“Saya ikut prihatin, Doktor.”
“O, terima kasih Prof. Tapi saya mendapat hikmahnya. Saya
kini melihat peran kearifan lokal untuk semua fenomena paradoksal ilmu
pengetahuan tradisi dan pengetahuan modern. Cuma saya harus minta maaf.” “Maaf?
Kenapa?”
“Kenangan Profesor yang ditinggalkan di sini tidak berhasil
saya jaga.”
Profesor tertegun, seperti bingung.
“Maksud Doktor?”
Doktor menunjuk ke taman.
“Pohon durian warisan Profesor dan yang lain-lain sudah
ditebang semua. Saya minta maaf.”
Profesor mantan Menteri Kesenian itu memandang ke taman.
Lama. Kemudian ia menoleh Doktor yang terus berusaha menunjukkan
keprihatinannya.
“Maaf, Doktor mungkin khilaf.”
Doktor mengangguk.
“Bukan saya. Istri saya mengejek, ini bukan rumah Tarzan.
Saya terlalu marah sehingga diam saja melihat pohon-pohon itu digergaji dengan
kejam sekali. Saya minta maaf sekali lagi!”
Doktor terkejut melepaskan pelukannya.
“Itu kearifan lokal Prof!”
Profesor termenung.
“Anda sebut apa pun boleh. Memandang keluar jendela melihat
kebun selalu membuat saya menjadi penonton dari diri saya sendiri. Dalam semua
kebijakan yang saya ambil selaku menteri dalam masa jabatan saya dulu, saya
tidak mengatur kesenian, tapi belajar dari kesenian. Ternyata seni bukan
hiburan tapi pelajaran. Ilmu untuk memandang diri sendiri.”
Percakapan itu terukir di benak Doktor. Dalam masa
jabatannya, ia sama sekali tidak mencoba mengatur ilmu-ilmu pengetahuan tradisi
dan kearifan lokal. Tapi menarik pelajaran sebanyak-banyaknya, seperti Profesor
mantan Menteri Kesenian itu.
Namun belum selesai masa jabatannya, dipengujung tahun
menjelang tahun baru, ada resufle
kabinet. Doktor diturunkan dari kursinya dan harus meninggalkan perumahan
menteri.
Sebelum pergi, Doktor mengulang ucapan mantan Menteri
Kesenian dulu. Kepada Bu Lalulala, Menteri Kekayaan Nusantara yang ganti
menempati rumahnya, ia berkata, “Bu Menteri, pandanglah keluar jendela, simak
kenangan Profesor Menteri Kesenian yang ada di taman: ’jangan membuat kerusakan
sebagai pembenaran mengatur-atur, tapi seperti kearifan lokal, kekuasaan adalah
penugasan mempelajari yang belum kita pahami.”
Bu Menteri Lalulala menjawab sambil tersenyum, “Setuju Dok!
Betul sekali. Tapi maaf, saya tak mau di-resufle,
karena dicap mengganggu birokrasi!”
Jawa Pos,
Minggu 28 Desember 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar