Pengunjung

Selasa, 24 Februari 2015

TENGGAT WAKTU
OLEH DJENAR MAESA AYU
Seantero mal dibelai alunan lagu Natal nan syahdu. Di sana-sini menjuntai kertas hias dan lampu-lampu. Beberapa sudut plaza pun disulap menjadi taman salju. Lengkap dengan patung rusa yang tengah menarik kereta kayu. Pohon natal raksasa menjulang tinggi seolah sedang berdiri mengerami kotak-kotak kado berpita dan kartu-kartu.
Ho..ho..ho…. Selamat Natal dan Tahun Baru!” teriak seseorang dari balik baju Santa. Para orangtua dengan sigap mengeluarkan kamera atau ponsel pintar dari dalam tas mereka. Anak-anak dipaksa mendekat dan bergaya. Ada yang secara otomatis menempelkan kedua telunjuk ke pipinya. Ada yang mengedipkan satu matanya. Lantas hasil jepretan kamera itu dijamin langsung bisa disaksikan di sosial media. Dengan segala judul yang mencerminkan kebahagiaan keluarga mereka. Tak ketinggalan menyebutkan lokasi di mana mereka mengambil gambar itu, yang tak lebih untuk menunjukkan jika mereka adalah keluarga berada.
Di kafe yang tepat berada di seberang taman salju itu, Nay duduk menghadap ke laptopnya. Ditenggaknya dingin bir dari dalam kaleng yang keringatan lalu menghisap dalam-dalam rokok putihnya sambil sesekali memerhatikan sosok Santa di seberang kafenya. Sudah tiga kaleng bir habis selama satu jam berada di kafe itu. Sudah berkali-kali pula pelayan kafe menukar asbak yang dipenuhi bangkai puntung rokok dengan asbak yang baru. Tapi layar laptopnya tetap kosong. Dan dari layar kosong laptopnya itu terpantul wajahnya yang sedang bengong.
Sebenarnya Nyata tidak pernah suka pergi ke mal. Selalu merasa jengah ia ditengah orang-orang yang dibungkus pakaian mahal. Selalu merasa asing ia di tengah orang-orang yang menutupi wajahnya dengan tata rias tebal. Sementara dirinya hanya memakai kaos oblong dengan sandal.
Tapi memang tidak ada yang lebih sialan ketimbang tenggat waktu. Artikel tentang pengunjung mal masa kini harus diselesaikan seminggu sebelum tahun baru. Ia sudah meminta kepada editornya untuk menulis artikel lain. Cuma editornya bersikeras jika Nay lah orang yang paling tepat untuk menuliskannya, tidak ada yang lain!
“Kamu kan gak suka pergi ke mal, karena itulah justru kamu yang paling cocok bikin artikel ini. Kamu pasti jauh lebih sensitif melihat apa yang ada di depan matamu ketimbang orang yang biasa ke mal.”
Nayla mengalihkan pandangannya dari layar laptop dan menyapu seluruh penjuru kafe. Kafe itu dipenuhi orang-orang dengan penampilan perlente. Dan meja pun berubah menjadi etalase. Berjejer ponsel pintar keluaran terbaru. Tak ketinggalan tas maupun dompet merk ternama yang harganya bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah meski entah benar-benar asli atau palsu. Setiap kali pelayan datang membawa pesanan makanan, pasti makanan itu difoto lebih dulu. Lantas mereka sibuk dengan ponselnya masing-masing. Mereka bersama namun bagai orang asing.
Cukup bagi Nayla untuk merangkum semua yang terjadi di mal hanya dengan duduk di satu kafe, sebenarnya, cukup bagi Nayla untuk menyelesaikan artikelnya tak lebih dari dua jam tanpa perlu terlebih dahulu minum berkaleng-kaleng bir hingga terbengong-bengong di depan layar laptopnya. Tapi pikirannya sedang tidak ada di sana. Pikirannya tertancap pada sosok Santa yang sedang berfoto dengan anak-anak di seberang kafenya.
“Ho…ho…ho…. Selamat Natal dan Tahun Baru!”
Nayla segera terbangun dari tidurnya. Matanya memicing akibat silau sinar lampu yang dinyalakan tiba-tiba. Di depannya sudah berdiri Santa. Berperut buncit, berjanggut putih, dengan baju dan topi merah menyala. Tangan Santa memegang sebuah kotak kado berpita merah menyala juga. Dengan tak sabar Nayla segera menerima dan membukanya.
“Ho…ho…ho…. Selamat Natal dan Tahun Baru, Nayla!” teriak Santa sebelum pergi. Nayla sudah tak menggubrisnya lagi. Ia sudah benar-benar penasaran dengan apa yang ada di dalam kotak kado berpita merah menyala di tangannya. Tapi alangkah kecewanya Nayla saat kotak kado itu terbuka. Di dalamnya hanya ada sebuah ponsel baru. Tidak ada apa yang ia mau.
Nayla menangis di atas tempat tidurnya. Tak lama kemudian terdengar suara pintu pelan-pelan di buka. Ayahnya muncul dengan masih mengenakan piyama. Di matanya terpancar kekecewaan yang sama besarnya dengan kekecewaan yang Nayla rasa. Mereka duduk berdampingan tanpa mengatakan sepatah kata pun. Semalaman seperti itu hingga tertidur dalam posisi duduk yang sama dengan sebelumnya.
Nayla menutup laptopnya. Sudah tidak kuasa lagi ia membendung sesak yang seakan ingin meledak di dalam dadanya. Ia pun mencoba memanggil pelayan yang sedang sibuk melayani permintaan pengunjung yang ingin difoto bersama. Bukan cuma satu kali. Namun berkali-kali. Jika hasilnya tidak memuaskan, mereka minta diulang lagi. Itu pun tidak dengan satu kamera. Tapi setiap kamera yang orang-orang bawa. Alhasil Nayla harus menunggu lebih lama.
Akhirnya Nayla menarik menu. Dicermatinya harga yang tertera untuk membayar tiga kaleng bir yang dipesannya selama di kafe itu. Seratus lima puluh ribu kurang sedikit dengan total yang harus ia bayar di luar pajak dan service. Dikeluarkannya dua lembar seratus ribuan dengan hati miris. Ditinggalkannya uang itu di atas meja sebab para pelayan masih sibuk melayani permintaan foto bersama tak ubahnya turis.
Nayla menyeret kakinya berjalan seantero mal yang dibelai alunan lagu natal nan syahdu. Di sana-sini menjuntai kertas hias dan lampu-lampu. Beberapa sudut Plaza pun disulap menjadi taman salju. Lengkap dengan patung rusa yang tengah menarik kereta kayu. Pohon natal raksasa menjulang tinggi seolah sedang berdiri mengerami kotak-kotak kado berpita dan kartu-kartu.
“Ho…ho…ho…. Selamat Natal dan Tahun Baru!” teriak seseorang dari balik baju Santa yang tiba-tiba sudah berdiri di depannya. Mereka saling bertatapan sebentar saja. Mata yang ditatapnya itu, bukan mata yang bahagia. Mata yang letih meski bibirnya harus senantiasa mengeluarkan suara tawa. Mata yang kecewa. Mata ayahnya. Mata yang membuatnya merasa harus merasa harus keluar dari mal segera.
“Kalau kamu berkelakuan baik, kamu minta apa pun ke Santa, Nay. Pasti permintaanmu dikabulkan.”
“Bagaimana cara memintanya?”
“Tulis surat saja dan masukkan ke dalam kotak pos.”
“Alamatnya?”
“Tidak perlu alamat. Santa pasti menerimanya. Tapi kamu taruh dulu sehari di bawah bantalmu ya.”
Kalimat percakapan dengan ayahnya itu seolah diantar angin yang menerpa wajahnya saat keluar dari pintu lobi. Mobil-mobil mewah dengan sopir pribadi terlihat bagai antrian semut yang panjang sekali. Dari setiap pintu mobil yang terbuka, muncul tubuh yang keluar berjalan berlenggak-lenggok bagai peragaan busana. Dengan rambut hasil salon yang tak akan berubah bentuk meski angin mengguncangnya. Petugas keamanan yang bertugas memeriksa isi tas mereka tak digubrisnya. Mereka merasa cukup memperlihatkan tas mahalnya tanpa sudi terlebih dahulu dibuka.
Nayla terus melangkah menuju antrian taksi. Ia ingin secepatnya pergi meninggalkan Mal yang bising oleh suara sunyi. Kalau bisa, ia pun ingin memutar waktu kembali. Tak lupa memasukkan surat ke dalam kotak pos agar Santa menerimanya. Tak membiarkan surat itu lebih dari sehari di bawah bantal sehingga terbaca ayahnya.
“Selamat Natal, Ayah.”
Nayla mengecap kedua pelupuk mata ayahnya yang terpejam. Dicabutnya janggut putih yang masih menempel di dagu ayahnya yang berbentuk runcing tajam. Dicopotnya topi warna merah menyala yang masih menempel di kepala ayahnya yang tak lagi berambut hitam. Dimatikannya lampu lalu memeluk tubuh ayahnya di dalam kelam.
Kenangan menjalar hangat di dalam tubuh mereka. Memijar sejuta warna dan hiasan di seluruh sudut rumah yang sederhana. Terekam abadi dalam pigura hati meski tak dijepret kamera.
“Saya mau Ibu.” Demikian surat untuk Santa yang Nayla tulis dulu.
Saya mengetik kalimat terakhir artikel tentang Nayla yang sudah hamper di penghujung tenggat waktu.

KOMPAS, MINGGU, 21 DESEMBER 2014   


Rabu, 18 Februari 2015

PENJOR
OLEH I WAYAN SUARDIKA
Kerumunan kecil di bale banjar itu perlahan menyusut ketika melihat I Beneh dari kejauhan. Hanya tinggal dua orang yang masih bertahan di situ ketika I Beneh benar-benar sampai di bale banjar. Seorang dari mereka menyapa lelaki itu. Tapi I Beneh tak ambil peduli.
Perhatian lelaki itu lebih mengarah pada sebatang penjor[1] yang berdiri menjulang dengan ujung melengkung ke bawah. “Ada yang salah pada penjor itu,” katanya, lebih kepada dirinya sendiri.
“Apanya yang salah, Nang[2]?”
I Beneh menoleh kepada orang yang bertanya itu, memandangnya sinis dan tajam. “Percuma aku jelaskan! Potong kupingku kalau kau mengerti penjelasanku. Tahumu Cuma tajen[3] dan mamitra[4]!”
Seseorang yang dihardik itu Cuma tersenyum masam. Ketika I Beneh melangkah menjauhi mereka menuju sebatang penjor yang berdiri depan rumah seorang warga desa dekat bale banjar itu, barulah dua orang itu berani menggerutu.
Jelema[5] stres!”
“Baru namanya I Beneh, belum tentu beneh[6]!”
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa banyak yang tak menyukai I Beneh. Pembawaan lelaki paruh baya itu sering melukai orang-orang. Semua orang di desa itu dianggapnya dungu. Semua hal dianggapnya berlangsung salah. Aneh bahwa sejauh itu orang tak berani membantah I Beneh. Mereka hanya berani membantah dan menggerutu di belakang punggung lelaki itu.
Mungkin karena mereka menganggap I Beneh pernah bersekolah tinggi di kota, dan meskipun tidak tamat, namun orang terlanjur menganggap ia pintar, merasa sebagai orang kota yang kembali ke desa dan juga omongannya tinggi, banyak istilah-istilah yang tak dimengerti oleh orang desa dan dia juga mengaku mengenal banyak orang-orang penting yang sering kelihatan di acara-acara berita di TV.
Di sisi lain, mereka juga terpaksa mengakui kalau I Beneh banyak tahu tentang persoalan adat, agama dan masalah desa. Jika berlangsung mebat[7] di bale banjar atau di rumah warga yang mempunyai hajatan adat, maka I Beneh akan mengambil bagian pekerjaan yang paling sulit, misalnya memotong babi dan dari mana harus memulai mengirisnya kemudian membagi-bagi dagingnya berdasarkan keperluan upacara. Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa mengambil pekerjaan ini, termasuk yang paling diperhitungkan ialah I Beneh!
Prajuru[8] adat juga malas melangsungkan rapat jika dilihatnya I Beneh hadir dalam rapat itu. Jika tidak mengkritik, maka dia akan berbicara panjang lebar tentang bagaimana seharusnya pembangunan desa berjalan, pendidikan anak dikedepankan, memandirikan desa dengan memajukan koperasi, membangun kesadaran politik agar masyarakat desa tak mudah diperdaya dan memiliki daya tawar politik dan seterusnya.
Belum pernah ada yang berani membantah I Beneh.
Tetapi bagi orang-orang di desa itu, I Beneh adalah orang setengah gila, sok pintar dan stres. Setengah dari percakapan mereka di warung kopi, di sawah, sungai menjelang mandi atau ngobrol santai di bale banjar, adalah tentang I Beneh. “Ngomongnya galak di kampong sendiri, tapi waktu rapat di kantor camat, dia malah bungkam!” gerutu seorang prajuru adat dalam suatu obrolan di warung kopi samping bale banjar.
Memasuki hari penampahan[9] Galungan, orang-orang sibuk membuat penjor. Kebanyakan penjor mulai digarap saat penampahan sehari sebelum memasuki Galungan. Tapi tak masalah juga jika penjor dibikin dua tiga hari sebelumnya. Penjor dibuat dari batang bambu panjang yang ujungnya makin meruncing ke bawah. Sepanjang pokok bambu dihiasi dengan gulungan-gulungan janur melajur ke atas hingga sampai ke ujung bamboo yang melengkung. Di pokok bambu setinggi 2-3 meter dari tanah, berimbun segala daun, beberapa ikat padi dan kelapa yang ditata sedemikian rupa mengembang indah dan menyenangkan dilihat.
Sebatang penjor dilengkapi dengan sanggah cucuk[10] yang berfungsi sebagai tempat sesajian dan persembahan suci. Pada bagian dasar anyaman segitiga diselimuti kain kuning. Pada bagian dasar anyaman segitiga diselimuti kain kuning. Pagi di hari Galungan besok, sanggah cucuk itu akan dipenuhi baten[11], dupa dan persembahan lainnya. Hari penampahan adalah rangkain paling terakhir dari serangkaian panjang sebelum sehari berikutnya memasuki hari suci yang dinanti-nanti: Galungan!
Pagi masih berkabut di desa itu. Tapi kesibukan dan suasana hari suci Galungan sudah sangat terasa. Gaung gamelan dari pengeras suara berkumandang ke plosok desa, beberapa perempuan dan anak-anak sudah mengenakan pakaian adat, aroma banten dan dupa menyemarakan jalan-jalan lebar di desa.
Kesibukan paling tinggi di hari Galungan memang terjadi di pagi hari sebelum melewati tengah hari. Persembahan dan persembahyangan biasanya sangat ramai pada pukul sembilan pagi. Jalanan umum jauh lebih lengang dari hari biasa, dan jika ada kendaraan biasanya juga untuk kepentingan menuju ke pura desa atau pura dadia[12], atau ketempat-tempat yang dipandang suci.
Tapi ada pemandangan sedikit ganjil pagi itu. Semua orang-orang tak terlalu ambil peduli karena mungkin mereka lebih khusyuk pada kegiatan persembahyangan dan persembahan untuk hari Galungan. Namun menjelang siang, terutama saat orang-orang sudah selesai bersembahyang, satu dua orang mulai berkerumun, mempercakapkannya dengan rasa heran.
Keganjilan itu ialah penjor depan rumah I Beneh. Tak sebagaimana bentuk sosok penjor pada umumnya, penjor depan rumah I Beneh itu tegak lurus dan sama sekali tak ada lengkungan ke bawah di ujung penjor. Penjor itu sepenuhnya tegak lurus. Selebihnya, kaidah penjor yang lain dipenuhi.
Kerumunan itu makin membesar dan mengelilingi ‘penjor tegak lurus’ itu. Dan berbagai komentar pun mengemuka.
“Ini penjor atau umbul-umbul menyerupai penjor?” tanya seseorang.
“Ini tidak benar. Penjor harus ada lengkungan di atasnya karena itulah yang kita sebut penjor,” ujar yang lain.
“Badah, Galungan bisa leteh[13] karena penjor yang tak sesuai aturan!”
“Ini pasti kerjaan Nang Beneh!”
Makin riuh komentar-komentar dan mereka akhirnya sampai pada nama I Beneh. Penjor itu berdiri tegak di muka rumah lelaki yang mereka kenal sebagai orang setengah gila, sok pintar dan stres itu.
“Dasar jelema buduh[14]!”
“Stres!”
“Merasa paling benar!”
Ketika kehebohan makin sengit, dan guna mencegah kejadian yang tak diinginkan, prajuru adat dan beberapa pengelingsir[15] desa mendatangi I Beneh di rumahnya.
I Beneh ditegur secara kekeluargaan, diceramahi, dinasehati, bahwa sesuatu adat yang telah berlangsung turun-temurun adalah warisan yang harus diteruskan karena dasar kearifannya ada. “Kami tahu Nanang adalah orang pintar, dan kami juga tahu Nanang sangat…sangat mengerti mengapa Nanang membikin penjor yang tak lazim itu. Tapi mohon juga dipahami bahwa kami sekalian adalah orang-orang desa, orang-orang sederhana yang terlalau mudah terperanjat oleh hal-hal baru yang tak dapat kami mengerti. Kami meminta Nanang memahami itu,” kata salah seorang prajuru adat.
Orang-orang mengira I Beneh akan melakukan serangan balik dengan bantahan-bantahannya yang sengit sebagaimana yang mereka lihat di hari-hari kemarin di berbagai situasi. Namun kali ini mereka melihat I Beneh hanya diam dan menyerangai tipis.
“Jadi, kami dengan rasa kekeluargaan memohon maaf kepada Nanang jika sebentar lagi penjor Nanang akan kami cabut,” lanjut prajuru adat yang nampaknya menjadi juru bicara di antara prajuru adat itu.
Namun salah seorang pengelingsir desa yang dari tadi diam saja akhirnya juga ingin tahu apa yang menjadi alas an I Beneh membikin penjor tegak lurus itu.
  Ketika ditanyakan hal itu, I Beneh tak segera menjawab. Ia diam cukup lama dengan seringaian yang tak pernah lepas dari bibirnya.
“Mengapa, Neh? Mengapa kau bikin penjor seperti itu?” desak pengelingsir desa itu ingin tahu.
“Menurut aku, seluruh penjor seharusnya tegak lurus,” sahut I Beneh akhirnya. “Menurut aku juga, penjor yang tegak lurus mencerminkan juga makna Galungan. Kita semua tahu mengapa Galungan dirayakan, yaitu karena kita merayakan dan mensyukuri kemenangan dharma atas adharma. Dharma ialah kelurusan hati, lurus pada hal-hal tulus, kebaikan, jalan murni hati nurani menuju Hyang Widhi[16]. Penjor tegak lurus menjulang ke langit karena kita semua ingin menuju kepada-Nya…Dia Yang di Atas.”
Semua diam dan mendengarkan.
Dan I Beneh kembali menjelaskan arti penjor menurut jalan pikirannya sendiri dengan penuh semangat.” …bukan tak mungkin pula pendahulu kita membuat penjor dengan memanfaatkan bambu yang utuh dengan membiarkan lengkungannya tetap ada lalu kemudian baru dibikin artinya …”
Apa pun penjelasan dan pembelaan I Beneh, namun di ujung pertemuan, penjor bikinan I Beneh tetap saja dicabut.
 Dan orang-orang bersorak-sorai.
I WAYAN SUARDIKA
Selain menulis novel dan cerpen, ia juga dikenal sebagai kurator dan penulis seni rupa. Sampai kini tinggal di Denpasar, Bali.
[1] Penjor = Hiasan bambu dengan janur, dedaunan, padi dan buah-buahan, dibuat sedemikian rupa sehingga Nampak sangat indah. Penjor dibuat biasanya menyertai hari raya suci Galungan. Penjor dimaknai sebagai gunung atau Naga Basuki.
[2] Nang = Pak, dari kata nanang = bapak
[3] Tajen = sabungan ayam
[4] Mamitra = selingkuh
[5] Jelema = orang
[6] Beneh = betul, benar
[7] Mebat = menyiapkan segala jenis makanan untuk persembahan atau untuk penjamuan, biasanya dikerjakan oleh kaum lelaki di Bali secara gotong royong.
[8] Prajuru = pengurus
[9] Penampahan = rangkaian dari hari raya Galungan. Penampahan dirayakan sehari sebelum Galungan, dimaknai sebagai kegiatan penyembelihan hewan, umumnya babi, juga ayam atau bebek, sebagai persembahan perayaan hari raya Galungan.
[10] Sanggah cucuk = tempat sarana sesajian dan persembahan suci, dibuat dengan bahan serba bambu, berbentuk anyaman longgar segitiga yang ditopang oleh pokok bambu kurus kecil.
[11] Benten = sarana suci yang pada umunya dibuat dari daun janur dan berbagai bunga disertai dupa
[12] Dadia = sehimpunan kepala keluarga
[13] Leteh = kotor
[14] Jelema buduh = orang gila
[15] Pengelingsir = tokoh, orang yang dihormati, orang yang dituakan
[16] Hyang Widhi = Tuhan Yang Esa


KOMPAS, MINGGU, 18 JANUARI 2015

Minggu, 08 Februari 2015

KOPI DAN CINTA YANG TAK PERNAH MATI

OLEH AGUS NOOR


Kebebasan selalu layak dirayakan. Maka selepas keluar penjara, yang diinginkan ialah kopi. Hanya di kedai kopi ini ia bisa menikmati kopi terbaik yang disajikan dengan cara paling baik.
Ada orang-orang yang bersikeras mempertahankan kenangan, dan kedai kopi ini seolah diperuntukan bagi orang-orang seperti itu. Nyaris tak ada yang berubah. Meja kursi kayu hanya terlihat makin gelap dan tua. Yang dulu tak ada hanya poster bergambar siluet wajah lelaki berkumis tebal, yang terpasang di dekat jendela. Ada tulisan bawah poster itu, seperti larik puisi. Pada kopi ada revolusi, juga cinta yang tak pernah mati. Ia tersenyum. Sejarah memang aneh: dulu lelaki itu pembangkang, kini dianggap pejuang.
Beberapa orang di kedai kopi langsung menatap tajam saat ia masuk. Ia mengenali beberapa dari mereka, para pembangkang yang sejak dulu memang selalu berkumpul di kedai kopi ini. Ia tetap tenang. Apa pun bisa terjadi. Mungkin seseorang akan menyerangnya. Sepuluh tahun dalam penjara membuat kewaspadaannya makin terasah. Ia meraba pistol di balik jaket. Sekedar berjaga. Kita harus berhati-hati menghadapi kebencian, batinnya, saat menatap anak muda penyaji kopi yang terus memandanginya. Mata itu mengingatkan pada mata laki-laki yang dulu dibunuhnya. Umur anak muda itu baru 11 tahun saat bapaknya mati. Kini terlihat seperti banteng muda yang siap meluapkan dendamnya. Pemuda itu mengangguk pelan saat ia memesan.
Panas udara siang membuat aroma kopi terasa semakin kental. Tak akan pernah dilupakannya harum kopi yang menentramkan ini, seolah aroma itu dicuri dari surga. Ketika ditugaskan ke kota ini, komandan memberi tahu, agar tak melewatkan kedai kopi ini dari ‘daftar yang harus dikunjungi’: Kedai kopi yang menyediakan kopi terbaik. Kedai kopi yang bukan saja istimewa, tetapi juga berbahaya.
Bertahun lalu, ia dikirim ke kota ini  untuk menghabisi seorang pembangkang yang dianggap berbahaya bagi Negara. Saat itu demonstrasi nyaris meledak setiap hari. Kota ini menjadi kota yang selalu rusuh oleh gagasan gila perihal kemerdekaan. Para pesuruh itu, begitu tentara menyebut, tak hanya bergerak di hutan-hutan, tapi juga menyusup ke kota, menyerang pos keamanan atau menyergap pasukan patrol kemanan. Tentara melakukan pembersihan. Puluhan orang ditangkap, diculik dan tak pernah kembali. Ada peristiwa yang tak akan dilupakan oleh penduduk kota ini, ketika suatu hari tentara mengeksekusi delapan anak muda di perempatan pusat kota. Mereka diseret, dibariskan satu per satu, kemudian ditembak tepat di kepala. Kekejian seperti itu terkadang diperlukan untuk menciptakan ketakutan. Tapi siapa yang bisa membunuh gagasan? Kepala bisa ditembak sampai pecah, tetapi gagasan akan terus hidup dalam kepala banyak orang. Peristiwa itu mendapat protes keras, dan makin memicu perlawanan. Amnesty Internasional menekan pemerintah pusat. Saat operasi militer dianggap tak lagi efektif, ia pun dikirim.
Sebagai agen intelijen terlatih ia pun dengan cepat mengetahui, bagi orang-orang di kota ini kedai kopi bukan sekedar tempat untuk menikmati kopi. Hampir di setiap jalan di kota ini selalu ada kedai kopi. Rasanya tak ada penduduk kota ini yang tak menyukai kopi. Di kedai kopi waktu seperti berhenti. Orang bisa sepanjang hari duduk di kedai kopi untuk berkumpul, berbual atau menyendiri, mempercakapkan hal-hal rahasia, kasak-kusuk perlawanan, juga tempat paling tepat untuk menyelesaikan masalah. Pertengkaran bisa diselesaikan dengan secangkir kopi. Semua informasi di kota ini akan dengan mudah didapatkan di kedai kopi.
Dari informasi yang dimiliki ia mengenali lelaki yang mesti dihabisi. Yang dianggap musuh negara paling berbahaya ternyata bukan seorang berpawakan kekar, yang hidup berpindah-pindah dalam hutan memimpin gerilyawan, dank arena itu tentara tak pernah berhasil menangkapnya. Orang yang dicarinya itu hanya bertubuh kecil, nyaris kurus, berkulit gelap, rambut agak ikal. Ia terlihat keras, tetapi selalu berbicara dengan intonasi santun. Jadi inilah orang yang selalu menghasut anak-anak muda untuk melakukan perlawanan dan menuntut kemerdekaan. Dia hanya penyaji kopi.
    ANAK muda penyaji kopi itu telah berdiri di dekatnya, menyodorkan secangkir kopi yang sedikit bergetar ketika diletakkan di meja. Ia tahu anak muda itu gugup, tetapi berusaha mengendalikan emosinya.
“Ini kopi terbaik yang kusajikan untukmu yang di dalamnya tersimpan rahasia, yang hanya bisa kau ketahui setelah kau meminumnya.” Anak muda itu menatapnya. “Tapi aku tak yakin, apakah kamu berani meminumnya habis.”
Di luar, jalanan ramai lalu lalang kendaraan. Klakson angkot, knalpot sepeda motor meraung kencang. Lagu dangdut terdengar dari kedai kopi seberang jalan. Tapi ia merasakan suasana begitu sunyi di kedai ini. Semua orang dalam kedai terdiam dan memandang ke arahnya, seolah berharap terjadi perkelahian seru.
“Duduklah,” akhirnya ia berkata. “Seperti yang selalu dikatakan orang-orang di kota ini, mari kita selesaikan semuanya dengan secangkir kopi.”
“Seperti ketika kamu menghabisi ayah aku!”
Terdengar kursi bangku digeser, dan anak muda itu duduk. Lagu dangdut masih terdengar dari kedai seberang: Tuduhlah aku, sepuas hatiiimuuuu, atau bila kau perlu bunuhlah akuuuu…
“Kau pasti membenciku,” Ia menghisap rokok dalam-dalam.
“Untuk apa membenci seorang pengecut. Pengecut lebih pantas dikasihani.”
“Kalau kukatakan aku bukan pembunuh ayahmu, pasti kau tak percaya. Tapi baiklah, bila aku memang kau anggap pembunuh ayahmu, kau pasti tahu kenapa ayahmu harus dibunuh.”
“Selalu tersedia cukup banyak alasan untuk menjadi pembunuh. Hanya pengecut yang membunuh dengan cara-cara licik.”
“Jangan terlalu percaya pada apa yang diberitakan Koran-koran. Asal kau tahu, aku mengagumi ayahmu. Kematian ayahmu bukan tanggung jawabku. Itu tanggung jawab Negara.”
“Yang pertama-tama dilakukan para pengecut memang selalu mencari pembenaran. Itu sebabnya para pengecut selalu selamat.”
Ia kembali menyalakan sebatang rokok. Padahal rokok di asbak masih panjang. Ia ingin meminum kopi di cangkir itu pelan, tapi seperti ada yang menahannya, insting yang mengharuskannya bersikap hati-hati dalam situasi seperti ini. Jari-jarinya berkedut, hal yang selalu terjadi bila ia merasa cemas, hingga rokok di jarinya nyaris lepas. “Aku telah menghabiskan sepuluh tahun dalam penjara untuk sesuatu yang dituduhkan padaku yang sebenarnya tak pernah kulakukan.”
“Pengecut tak akan pernah berani mengakui kejahatan yang dilakukan!”
“Aku sendiri hanya orang yang dikorbankan untuk menutupi kesalahan orang lain. Salah alamat bila kau mendendam padaku.”
“Ini bukan soal dendam. Ini soal keadilan,” tatapan anak muda itu makin tajam. “Kamu memang sudah dihukum. Dan aku yakin, sepanjang hidupmu, kamu akan terus dihukum oleh kepengecutan dan ketakutanmu. Tapi itu bukan alasan bagiku untuk berhenti menuntut keadilan.”
“Apa yang kamu tuntut dari keadilan? Keadilan tak pernah membuat yang mati hidup kembali.”
“Yang mati memang tak akan pernah hidup kembali…”
“Kecuali Tuhan,” ia menimpali ucapan anak muda itu, mencoba berkelakar mencairkan suasana tegang.
“Keadilan bukan perkara orang per orang. Ini bukan persoalan antara aku dan kamu. Juga bukan persoalan kamu dan ayahku. Jika kamu menganggap ini hanya persolan pribadi, semestinya kamu menantang ayahku untuk berduel, sampai salah satu diantara kalian mati. Itu jauh lebih jantan dan terhormat. Tapi aku tahu, pengecut semacammu tak akan pernah berani bersikap jantan seperti itu. Menyedihkan memang, pengecut selalu selamat oleh kepengecutannya.”
“Aku bukan pengecut!” Suaranya terdengar mengambang di udara.
“Kalau begitu, minum kopi itu, dan kita tunggu apa yang terjadi.”
Ketika ia hanya terdiam gamang memandangi secangkir kopi, anak muda itu tertawa masam. “Apa kamu pikir dengan berani datang ke kedai ayahku ini kamu sudah membuktikan keberanianmu? Tidak! Aku yakin kamu datang kemari bukan untuk meminta maaf. Kamu datang kemari justru karena ingin membuktikan bahwa kamu tidak bersalah telah membunuh ayahku. Kamu merasa, dengan dipenjara sepuluh tahun, sudah cukup untuk menganggap selesai persoalan. Bagiku, tak ada kata lupa untuk kejahatan. Pembunuh selalu bersikeras melupakan korbannya. Bahkan, aku yakin, kamu sudah lupa seperti apa ayahku.”
Ia diam-diam melirik pada poster di tembok kayu itu; wajah lelaki berkumis tebal itu tak akan pernah mungkin dilupakannya. Wajah itu selalu muncul dalam mimpi buruknya. Ia tak akan pernah lupa pada saat-saat ia mulai mendekati lelaki itu. Masuklah ke dalam hati musuhmu melalui apa yang disukainya. Ketika ia selalu mengajaknya bicara tentang kopi, lelaki itu dengan cepat menyukainya. Saat menikmati kopi di sore bergerimis, dari lelaki itu ia tahu rahasia menyajikan kopi. Sentuhan tangan penyaji kopilah yang membedakan rasa kopi. Biji kopi terbaik tetap saja tak akan enak bila tangan penyaji kopi itu tak mengenali jiwa kopi. Ia pun mengerti kenapa di kedai ini taka da mesin penggiling kopi. Lelaki itu mengolah sendiri biji-biji kopi dengan tangannya. Sentuhlah biji-biji kopi itu dengan seluruh perasaanmu, kamu akan merasakan sesuatu yang lembut. Dan kamu akan tahu mana biji kopi terbaik yang pantas disajikan untuk pelanggan.
Sebenarnya ia tak hendak percaya. Namun pada kenyataannya kopi di kedai kopi ini memang terasa paling nikmat di lidahnya. Ia sudah sering menikmati kopi di banyak kedai kopi, tetapi tak ada yang bisa membuatnya merasa begitu nikmat senikmat setiap kali ia menikmati kopi di kedai ini. Seakan dalam secangkir kopi itu ada kebahagiaan yang dikekalkan. Bahkan ketika dalam penjara, diam-diam ia membelikan kopi dari kedai ini. Dengan sogokan tentu saja.
“Tak pernah ada sebelumnya yang membiarkan kopi di kedai ini menjadi dingin tanpa menyentuhnya,” suara anak muda itu membuyarkan ingatannya. “Itu sudah cukup membuktikan bahwa kamu bukan saja pengecut karena tidak berani meminum kopi yang aku sajikan, tapi juga menyakinkanku kalau kamu memang pengecut yang dihantui ketakutanmu sendiri.”
Anak muda itu bangkit meninggalkannya sendirian.
Langit gelap dan kosong ketika ia keluar dari kedai itu. Tapi perasaan kosong dalam hatinya menghamparkan kehampaan melebihi luas langit yang dipandanginya. Rasanya ia merasa lebih terhormat bila anak muda itu menghajarnya hingga babak belur ketimbang membuatnya merasa terhina seperti ini.
Tak akan pernah berani lagi ia kembali ke kedai kopi itu. Kopi yang disajikan anak muda itu benar-benar telah membuatnya diluapi perasaan takut; mengingatkannya pada peristiwa saat ia menuangkan arsenik ke dalam cangkir kopi lelaki berkumis itu. Ia melihat seorang gadis berjalan bergegas menyeberang jalan. Gadis itu memakai kaos bergambar sablon wajah lelaki berkumis itu. Kematian seorang pengecut seperti dirinya tak akan pernah mendapat kehormatan seperti kematian lelaki yang dibunuhnya.
Saat melintas di depan toko kelontong berkaca lebar ia berhenti, memandangi bayangan muram tubuhnya; kulit coklat gelapnya tersamar warna jaket yang telah pudar, mata cekung dan alis matanya yang semurung sayap burung sedikit tertutup rambut yang mulai gondrong. Bayangan di kaca itu seperti hantu masa lalu yang tak ingin dilihatnya.
Kemudian ia berjalan menuju kelokan, dan untuk terakhir kali memandang kedai kopi itu dari kejauhan, sebelum akhirnya menghilang ke dalam cahaya kota yang remang. Bila pada akhirnya ia benar-benar menghilang dari dunia ini, adakah seseorang yang masih mengingat dan mengenangnya?


Kompas, Minggu, 11 Januari 2015