PENJOR
OLEH I WAYAN SUARDIKA
Kerumunan kecil di bale banjar itu
perlahan menyusut ketika melihat I Beneh dari kejauhan. Hanya tinggal dua orang
yang masih bertahan di situ ketika I Beneh benar-benar sampai di bale banjar.
Seorang dari mereka menyapa lelaki itu. Tapi I Beneh tak ambil peduli.
Perhatian lelaki itu lebih
mengarah pada sebatang penjor[1] yang
berdiri menjulang dengan ujung melengkung ke bawah. “Ada yang salah pada penjor itu,” katanya, lebih kepada
dirinya sendiri.
“Apanya yang salah, Nang[2]?”
I Beneh menoleh kepada orang yang
bertanya itu, memandangnya sinis dan tajam. “Percuma aku jelaskan! Potong
kupingku kalau kau mengerti penjelasanku. Tahumu Cuma tajen[3] dan mamitra[4]!”
Seseorang yang dihardik itu Cuma
tersenyum masam. Ketika I Beneh melangkah menjauhi mereka menuju sebatang penjor yang berdiri depan rumah seorang
warga desa dekat bale banjar itu, barulah dua orang itu berani menggerutu.
“Jelema[5] stres!”
“Baru namanya I Beneh, belum tentu
beneh[6]!”
Sudah menjadi pengetahuan umum
bahwa banyak yang tak menyukai I Beneh. Pembawaan lelaki paruh baya itu sering
melukai orang-orang. Semua orang di desa itu dianggapnya dungu. Semua hal
dianggapnya berlangsung salah. Aneh bahwa sejauh itu orang tak berani membantah
I Beneh. Mereka hanya berani membantah dan menggerutu di belakang punggung
lelaki itu.
Mungkin karena mereka menganggap I
Beneh pernah bersekolah tinggi di kota, dan meskipun tidak tamat, namun orang
terlanjur menganggap ia pintar, merasa sebagai orang kota yang kembali ke desa
dan juga omongannya tinggi, banyak istilah-istilah yang tak dimengerti oleh
orang desa dan dia juga mengaku mengenal banyak orang-orang penting yang sering
kelihatan di acara-acara berita di TV.
Di sisi lain, mereka juga terpaksa
mengakui kalau I Beneh banyak tahu tentang persoalan adat, agama dan masalah
desa. Jika berlangsung mebat[7] di
bale banjar atau di rumah warga yang mempunyai hajatan adat, maka I Beneh akan
mengambil bagian pekerjaan yang paling sulit, misalnya memotong babi dan dari
mana harus memulai mengirisnya kemudian membagi-bagi dagingnya berdasarkan
keperluan upacara. Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa mengambil
pekerjaan ini, termasuk yang paling diperhitungkan ialah I Beneh!
Prajuru[8] adat juga malas melangsungkan rapat jika dilihatnya I
Beneh hadir dalam rapat itu. Jika tidak mengkritik, maka dia akan berbicara
panjang lebar tentang bagaimana seharusnya pembangunan desa berjalan,
pendidikan anak dikedepankan, memandirikan desa dengan memajukan koperasi,
membangun kesadaran politik agar masyarakat desa tak mudah diperdaya dan
memiliki daya tawar politik dan seterusnya.
Belum pernah ada yang berani
membantah I Beneh.
Tetapi bagi orang-orang di desa
itu, I Beneh adalah orang setengah gila, sok pintar dan stres. Setengah dari
percakapan mereka di warung kopi, di sawah, sungai menjelang mandi atau ngobrol
santai di bale banjar, adalah tentang I Beneh. “Ngomongnya galak di kampong
sendiri, tapi waktu rapat di kantor camat, dia malah bungkam!” gerutu seorang prajuru adat dalam suatu obrolan di
warung kopi samping bale banjar.
Memasuki hari penampahan[9] Galungan, orang-orang sibuk membuat penjor. Kebanyakan penjor mulai digarap saat penampahan
sehari sebelum memasuki Galungan. Tapi tak masalah juga jika penjor dibikin dua tiga hari sebelumnya.
Penjor dibuat dari batang bambu
panjang yang ujungnya makin meruncing ke bawah. Sepanjang pokok bambu dihiasi
dengan gulungan-gulungan janur melajur ke atas hingga sampai ke ujung bamboo
yang melengkung. Di pokok bambu setinggi 2-3 meter dari tanah, berimbun segala
daun, beberapa ikat padi dan kelapa yang ditata sedemikian rupa mengembang
indah dan menyenangkan dilihat.
Sebatang penjor dilengkapi dengan sanggah
cucuk[10] yang berfungsi sebagai tempat sesajian dan persembahan suci. Pada
bagian dasar anyaman segitiga diselimuti kain kuning. Pada bagian dasar anyaman
segitiga diselimuti kain kuning. Pagi di hari Galungan besok, sanggah cucuk itu akan dipenuhi baten[11], dupa dan persembahan lainnya.
Hari penampahan adalah rangkain
paling terakhir dari serangkaian panjang sebelum sehari berikutnya memasuki
hari suci yang dinanti-nanti: Galungan!
Pagi masih berkabut di desa itu.
Tapi kesibukan dan suasana hari suci Galungan sudah sangat terasa. Gaung
gamelan dari pengeras suara berkumandang ke plosok desa, beberapa perempuan dan
anak-anak sudah mengenakan pakaian adat, aroma banten dan dupa menyemarakan jalan-jalan lebar di desa.
Kesibukan paling tinggi di hari
Galungan memang terjadi di pagi hari sebelum melewati tengah hari. Persembahan
dan persembahyangan biasanya sangat ramai pada pukul sembilan pagi. Jalanan
umum jauh lebih lengang dari hari biasa, dan jika ada kendaraan biasanya juga
untuk kepentingan menuju ke pura desa atau pura dadia[12], atau ketempat-tempat yang dipandang suci.
Tapi ada pemandangan sedikit
ganjil pagi itu. Semua orang-orang tak terlalu ambil peduli karena mungkin
mereka lebih khusyuk pada kegiatan persembahyangan dan persembahan untuk hari
Galungan. Namun menjelang siang, terutama saat orang-orang sudah selesai
bersembahyang, satu dua orang mulai berkerumun, mempercakapkannya dengan rasa
heran.
Keganjilan itu ialah penjor depan rumah I Beneh. Tak
sebagaimana bentuk sosok penjor pada
umumnya, penjor depan rumah I Beneh
itu tegak lurus dan sama sekali tak ada lengkungan ke bawah di ujung penjor. Penjor itu sepenuhnya tegak lurus. Selebihnya, kaidah penjor yang lain dipenuhi.
Kerumunan itu makin membesar dan
mengelilingi ‘penjor tegak lurus’
itu. Dan berbagai komentar pun mengemuka.
“Ini penjor atau umbul-umbul menyerupai penjor?” tanya seseorang.
“Ini tidak benar. Penjor harus ada lengkungan di atasnya
karena itulah yang kita sebut penjor,”
ujar yang lain.
“Badah, Galungan bisa leteh[13] karena penjor yang tak sesuai aturan!”
“Ini pasti kerjaan Nang Beneh!”
Makin riuh komentar-komentar dan
mereka akhirnya sampai pada nama I Beneh. Penjor
itu berdiri tegak di muka rumah lelaki yang mereka kenal sebagai orang setengah
gila, sok pintar dan stres itu.
“Dasar jelema buduh[14]!”
“Stres!”
“Merasa paling benar!”
Ketika kehebohan makin sengit, dan
guna mencegah kejadian yang tak diinginkan, prajuru adat dan beberapa pengelingsir[15] desa mendatangi I Beneh
di rumahnya.
I Beneh ditegur secara
kekeluargaan, diceramahi, dinasehati, bahwa sesuatu adat yang telah berlangsung
turun-temurun adalah warisan yang harus diteruskan karena dasar kearifannya
ada. “Kami tahu Nanang adalah orang
pintar, dan kami juga tahu Nanang
sangat…sangat mengerti mengapa Nanang
membikin penjor yang tak lazim itu.
Tapi mohon juga dipahami bahwa kami sekalian adalah orang-orang desa,
orang-orang sederhana yang terlalau mudah terperanjat oleh hal-hal baru yang
tak dapat kami mengerti. Kami meminta Nanang
memahami itu,” kata salah seorang prajuru
adat.
Orang-orang mengira I Beneh akan
melakukan serangan balik dengan bantahan-bantahannya yang sengit sebagaimana
yang mereka lihat di hari-hari kemarin di berbagai situasi. Namun kali ini
mereka melihat I Beneh hanya diam dan menyerangai tipis.
“Jadi, kami dengan rasa
kekeluargaan memohon maaf kepada Nanang
jika sebentar lagi penjor Nanang akan
kami cabut,” lanjut prajuru adat yang
nampaknya menjadi juru bicara di antara prajuru
adat itu.
Namun salah seorang pengelingsir desa yang dari tadi diam
saja akhirnya juga ingin tahu apa yang menjadi alas an I Beneh membikin penjor tegak lurus itu.
Ketika ditanyakan hal itu, I Beneh tak segera menjawab. Ia diam cukup
lama dengan seringaian yang tak pernah lepas dari bibirnya.
“Mengapa, Neh? Mengapa kau bikin penjor seperti itu?” desak pengelingsir
desa itu ingin tahu.
“Menurut aku, seluruh penjor seharusnya tegak lurus,” sahut I
Beneh akhirnya. “Menurut aku juga, penjor
yang tegak lurus mencerminkan juga makna Galungan. Kita semua tahu mengapa
Galungan dirayakan, yaitu karena kita merayakan dan mensyukuri kemenangan dharma atas adharma. Dharma ialah
kelurusan hati, lurus pada hal-hal tulus, kebaikan, jalan murni hati nurani
menuju Hyang Widhi[16]. Penjor tegak
lurus menjulang ke langit karena kita semua ingin menuju kepada-Nya…Dia Yang di
Atas.”
Semua diam dan mendengarkan.
Dan I Beneh kembali menjelaskan
arti penjor menurut jalan pikirannya
sendiri dengan penuh semangat.” …bukan tak mungkin pula pendahulu kita membuat penjor dengan memanfaatkan bambu yang
utuh dengan membiarkan lengkungannya tetap ada lalu kemudian baru dibikin
artinya …”
Apa pun penjelasan dan pembelaan I
Beneh, namun di ujung pertemuan, penjor
bikinan I Beneh tetap saja dicabut.
Dan orang-orang bersorak-sorai.
I WAYAN SUARDIKA
Selain menulis novel dan cerpen, ia juga dikenal sebagai kurator dan
penulis seni rupa. Sampai kini tinggal di Denpasar, Bali.
[1] Penjor =
Hiasan bambu dengan janur, dedaunan, padi dan buah-buahan, dibuat sedemikian
rupa sehingga Nampak sangat indah. Penjor
dibuat biasanya menyertai hari raya suci Galungan. Penjor dimaknai sebagai gunung atau Naga Basuki.
[2] Nang = Pak,
dari kata nanang = bapak
[3] Tajen =
sabungan ayam
[4] Mamitra =
selingkuh
[5] Jelema = orang
[6] Beneh = betul,
benar
[7] Mebat =
menyiapkan segala jenis makanan untuk persembahan atau untuk penjamuan,
biasanya dikerjakan oleh kaum lelaki di Bali secara gotong royong.
[8] Prajuru =
pengurus
[9] Penampahan = rangkaian
dari hari raya Galungan. Penampahan dirayakan sehari sebelum Galungan, dimaknai
sebagai kegiatan penyembelihan hewan, umumnya babi, juga ayam atau bebek,
sebagai persembahan perayaan hari raya Galungan.
[10] Sanggah cucuk
= tempat sarana sesajian dan persembahan suci, dibuat dengan bahan serba bambu,
berbentuk anyaman longgar segitiga yang ditopang oleh pokok bambu kurus kecil.
[11] Benten =
sarana suci yang pada umunya dibuat dari daun janur dan berbagai bunga disertai
dupa
[12] Dadia =
sehimpunan kepala keluarga
[13] Leteh = kotor
[14] Jelema buduh
= orang gila
[15] Pengelingsir
= tokoh, orang yang dihormati, orang yang dituakan
[16] Hyang Widhi =
Tuhan Yang Esa
KOMPAS, MINGGU, 18 JANUARI 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar