Laman

Selasa, 24 Februari 2015

TENGGAT WAKTU
OLEH DJENAR MAESA AYU
Seantero mal dibelai alunan lagu Natal nan syahdu. Di sana-sini menjuntai kertas hias dan lampu-lampu. Beberapa sudut plaza pun disulap menjadi taman salju. Lengkap dengan patung rusa yang tengah menarik kereta kayu. Pohon natal raksasa menjulang tinggi seolah sedang berdiri mengerami kotak-kotak kado berpita dan kartu-kartu.
Ho..ho..ho…. Selamat Natal dan Tahun Baru!” teriak seseorang dari balik baju Santa. Para orangtua dengan sigap mengeluarkan kamera atau ponsel pintar dari dalam tas mereka. Anak-anak dipaksa mendekat dan bergaya. Ada yang secara otomatis menempelkan kedua telunjuk ke pipinya. Ada yang mengedipkan satu matanya. Lantas hasil jepretan kamera itu dijamin langsung bisa disaksikan di sosial media. Dengan segala judul yang mencerminkan kebahagiaan keluarga mereka. Tak ketinggalan menyebutkan lokasi di mana mereka mengambil gambar itu, yang tak lebih untuk menunjukkan jika mereka adalah keluarga berada.
Di kafe yang tepat berada di seberang taman salju itu, Nay duduk menghadap ke laptopnya. Ditenggaknya dingin bir dari dalam kaleng yang keringatan lalu menghisap dalam-dalam rokok putihnya sambil sesekali memerhatikan sosok Santa di seberang kafenya. Sudah tiga kaleng bir habis selama satu jam berada di kafe itu. Sudah berkali-kali pula pelayan kafe menukar asbak yang dipenuhi bangkai puntung rokok dengan asbak yang baru. Tapi layar laptopnya tetap kosong. Dan dari layar kosong laptopnya itu terpantul wajahnya yang sedang bengong.
Sebenarnya Nyata tidak pernah suka pergi ke mal. Selalu merasa jengah ia ditengah orang-orang yang dibungkus pakaian mahal. Selalu merasa asing ia di tengah orang-orang yang menutupi wajahnya dengan tata rias tebal. Sementara dirinya hanya memakai kaos oblong dengan sandal.
Tapi memang tidak ada yang lebih sialan ketimbang tenggat waktu. Artikel tentang pengunjung mal masa kini harus diselesaikan seminggu sebelum tahun baru. Ia sudah meminta kepada editornya untuk menulis artikel lain. Cuma editornya bersikeras jika Nay lah orang yang paling tepat untuk menuliskannya, tidak ada yang lain!
“Kamu kan gak suka pergi ke mal, karena itulah justru kamu yang paling cocok bikin artikel ini. Kamu pasti jauh lebih sensitif melihat apa yang ada di depan matamu ketimbang orang yang biasa ke mal.”
Nayla mengalihkan pandangannya dari layar laptop dan menyapu seluruh penjuru kafe. Kafe itu dipenuhi orang-orang dengan penampilan perlente. Dan meja pun berubah menjadi etalase. Berjejer ponsel pintar keluaran terbaru. Tak ketinggalan tas maupun dompet merk ternama yang harganya bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah meski entah benar-benar asli atau palsu. Setiap kali pelayan datang membawa pesanan makanan, pasti makanan itu difoto lebih dulu. Lantas mereka sibuk dengan ponselnya masing-masing. Mereka bersama namun bagai orang asing.
Cukup bagi Nayla untuk merangkum semua yang terjadi di mal hanya dengan duduk di satu kafe, sebenarnya, cukup bagi Nayla untuk menyelesaikan artikelnya tak lebih dari dua jam tanpa perlu terlebih dahulu minum berkaleng-kaleng bir hingga terbengong-bengong di depan layar laptopnya. Tapi pikirannya sedang tidak ada di sana. Pikirannya tertancap pada sosok Santa yang sedang berfoto dengan anak-anak di seberang kafenya.
“Ho…ho…ho…. Selamat Natal dan Tahun Baru!”
Nayla segera terbangun dari tidurnya. Matanya memicing akibat silau sinar lampu yang dinyalakan tiba-tiba. Di depannya sudah berdiri Santa. Berperut buncit, berjanggut putih, dengan baju dan topi merah menyala. Tangan Santa memegang sebuah kotak kado berpita merah menyala juga. Dengan tak sabar Nayla segera menerima dan membukanya.
“Ho…ho…ho…. Selamat Natal dan Tahun Baru, Nayla!” teriak Santa sebelum pergi. Nayla sudah tak menggubrisnya lagi. Ia sudah benar-benar penasaran dengan apa yang ada di dalam kotak kado berpita merah menyala di tangannya. Tapi alangkah kecewanya Nayla saat kotak kado itu terbuka. Di dalamnya hanya ada sebuah ponsel baru. Tidak ada apa yang ia mau.
Nayla menangis di atas tempat tidurnya. Tak lama kemudian terdengar suara pintu pelan-pelan di buka. Ayahnya muncul dengan masih mengenakan piyama. Di matanya terpancar kekecewaan yang sama besarnya dengan kekecewaan yang Nayla rasa. Mereka duduk berdampingan tanpa mengatakan sepatah kata pun. Semalaman seperti itu hingga tertidur dalam posisi duduk yang sama dengan sebelumnya.
Nayla menutup laptopnya. Sudah tidak kuasa lagi ia membendung sesak yang seakan ingin meledak di dalam dadanya. Ia pun mencoba memanggil pelayan yang sedang sibuk melayani permintaan pengunjung yang ingin difoto bersama. Bukan cuma satu kali. Namun berkali-kali. Jika hasilnya tidak memuaskan, mereka minta diulang lagi. Itu pun tidak dengan satu kamera. Tapi setiap kamera yang orang-orang bawa. Alhasil Nayla harus menunggu lebih lama.
Akhirnya Nayla menarik menu. Dicermatinya harga yang tertera untuk membayar tiga kaleng bir yang dipesannya selama di kafe itu. Seratus lima puluh ribu kurang sedikit dengan total yang harus ia bayar di luar pajak dan service. Dikeluarkannya dua lembar seratus ribuan dengan hati miris. Ditinggalkannya uang itu di atas meja sebab para pelayan masih sibuk melayani permintaan foto bersama tak ubahnya turis.
Nayla menyeret kakinya berjalan seantero mal yang dibelai alunan lagu natal nan syahdu. Di sana-sini menjuntai kertas hias dan lampu-lampu. Beberapa sudut Plaza pun disulap menjadi taman salju. Lengkap dengan patung rusa yang tengah menarik kereta kayu. Pohon natal raksasa menjulang tinggi seolah sedang berdiri mengerami kotak-kotak kado berpita dan kartu-kartu.
“Ho…ho…ho…. Selamat Natal dan Tahun Baru!” teriak seseorang dari balik baju Santa yang tiba-tiba sudah berdiri di depannya. Mereka saling bertatapan sebentar saja. Mata yang ditatapnya itu, bukan mata yang bahagia. Mata yang letih meski bibirnya harus senantiasa mengeluarkan suara tawa. Mata yang kecewa. Mata ayahnya. Mata yang membuatnya merasa harus merasa harus keluar dari mal segera.
“Kalau kamu berkelakuan baik, kamu minta apa pun ke Santa, Nay. Pasti permintaanmu dikabulkan.”
“Bagaimana cara memintanya?”
“Tulis surat saja dan masukkan ke dalam kotak pos.”
“Alamatnya?”
“Tidak perlu alamat. Santa pasti menerimanya. Tapi kamu taruh dulu sehari di bawah bantalmu ya.”
Kalimat percakapan dengan ayahnya itu seolah diantar angin yang menerpa wajahnya saat keluar dari pintu lobi. Mobil-mobil mewah dengan sopir pribadi terlihat bagai antrian semut yang panjang sekali. Dari setiap pintu mobil yang terbuka, muncul tubuh yang keluar berjalan berlenggak-lenggok bagai peragaan busana. Dengan rambut hasil salon yang tak akan berubah bentuk meski angin mengguncangnya. Petugas keamanan yang bertugas memeriksa isi tas mereka tak digubrisnya. Mereka merasa cukup memperlihatkan tas mahalnya tanpa sudi terlebih dahulu dibuka.
Nayla terus melangkah menuju antrian taksi. Ia ingin secepatnya pergi meninggalkan Mal yang bising oleh suara sunyi. Kalau bisa, ia pun ingin memutar waktu kembali. Tak lupa memasukkan surat ke dalam kotak pos agar Santa menerimanya. Tak membiarkan surat itu lebih dari sehari di bawah bantal sehingga terbaca ayahnya.
“Selamat Natal, Ayah.”
Nayla mengecap kedua pelupuk mata ayahnya yang terpejam. Dicabutnya janggut putih yang masih menempel di dagu ayahnya yang berbentuk runcing tajam. Dicopotnya topi warna merah menyala yang masih menempel di kepala ayahnya yang tak lagi berambut hitam. Dimatikannya lampu lalu memeluk tubuh ayahnya di dalam kelam.
Kenangan menjalar hangat di dalam tubuh mereka. Memijar sejuta warna dan hiasan di seluruh sudut rumah yang sederhana. Terekam abadi dalam pigura hati meski tak dijepret kamera.
“Saya mau Ibu.” Demikian surat untuk Santa yang Nayla tulis dulu.
Saya mengetik kalimat terakhir artikel tentang Nayla yang sudah hamper di penghujung tenggat waktu.

KOMPAS, MINGGU, 21 DESEMBER 2014   


Tidak ada komentar:

Posting Komentar