Pengunjung

Sabtu, 21 Maret 2015

CERITANYA

CERITANYA
OLEH NORMAN ERIKSON PASARIBU
Suatu subuh ia tiba-tiba merasa ia hanyalah seorang Homo Fictus*, dan kehidupan yang ia jalani adalah ceritanya.
Sepanjang siang gadis itu mencoba tetap mengerjakan tugasnya seperti biasa, ia tetap menjerang air panas, tetap membobotkan bubuk kopi dengan timbangan, memasukkan biji-biji kopi ke dalam mesin penggiling, mengucapkan terima kasih kepada pelanggan yang meninggalkan kedai, meskipun di dalam dirinya ada adonan tepung dan soda kue terlalu banyak: adonan itu mengembang dan mengembang dan mengembang, membuat dadanya sesak.
Menjelang sore-sekitar pukul dua-ketika kedai kopi tempat ia bekerja tak terlalu ramai, ia masuk ke kamar mandi pegawai dan menatap bayangan dirinya sendiri di cermin. Ini adalah daging betulan, pikirnya; protein, air, bilayer-bilayer eter dan yg memberi rasa lemah">lipid
sungguhan; tetapi ini sebetulnya hanyalah kata-kata, meskipun pada awal mula sedikit banyak adalah memang protein dan lipid, yaitu ketika mereka semua masih berbentuk jutaan neuron di kepala seseorang.
Ia mengambil kartu nama pegawai yang tersemat di dadanya, dan mencopot peniti yang melekat di sana. Ia menusukkan ujung jarum peniti ke ujung jarinya. Sesuatu yang berwarna hitam keluar perlahan. Ia mencium aroma cairan itu, dan mencicipinya. Itu sesuatu yang tak pernah ia kenal. Ia tahu tentang darah. Ia paham mengenai darah. (1) Warnanya tak merah, (2) aromanya memang sedikit anyir tapi bukan anyir-darah. Ia pun mencoba mengingat kali terakhir ia jatuh dan kakinya berdarah… dan ia tak bisa. Ia mencoba mengingat orangtuanya, tetapi yang muncul di kepalanya hanyalah seorang perempuan berambut keriting-gembung seperti brokoli. Tak ada ayah, ataupun seorang laki-laki yang dapat disangka ayah. Apa ia tak memiliki ayah dan hanya punya seorang ibu, seperti Yes… Hah? Apa yang baru ia pikirkan? Yes…? Ia tak ingat.
Ia mencoba menelusuri masa kecilnya, tapi hanya gambar-gambar tak tampak saling berkaitan yang timbul. Sebuah pacuan kuda. Sebuah parade di mana seorang laki-laki muda berdandan sebagai balerina dan ia menertawakan laki-laki muda itu. Lalu sebuah danau itu; ia ada di atas perahu angsa bersama dengan seorang bocah laki-laki. Tunggu… Apakah itu dirinya? Gadis kecil itu kurus betul, tak mirip ia. Tetapi sesuatu di dalam dirinya mengatakan bahwa gadis itu memang dirinya. Ia pun merasa pening. Ia keluar dari kamar mandi. “Boleh aku rehat selama lima menit?” katanya kepada Anton, teman kerjanya di kedai. Ia mencoba mengingat segala tentang Anton. Yang muncul hanyalah: (1) mereka telah bekerja bersama selama dua tahun, (2) dan kini begitu akrab seolah lahir dari rahim yang sama, (3) dan ia seorang gay. Ia mencoba mengingat tanggal lahir Anton… Tak ada yang muncul. Bagaimana bisa? Pikirnya putus asa.
“Kenapa? Pusing memikirkan ibu kosmu?” canda Anton.
Ia menggeleng, meskipun benar Ibu kosnya orang paling memuakkan di seluruh semesta alam.
Ia mengambil pena dan kertas, dan duduk di sudut kedai. Ia mencoba untuk melakukan freewriting. Minggu lalu ia datang ke sebuah kelas menulis, dan si pengajar bilang metode ini baik untuk mincing ingatan-ingatan lampau ke permukaan.
Ia pun berpikir, “Apa yang membuat ibu kosnya memuakkan?” dan kemudian menuliskan jawabannya.
Tetapi yang muncul di kepalanya hanyalah rupa seorang laki-laki. Ia menatap kertas, membaca kalimat pertama tulisannya: “Ia biasanya membawa beberapa buku dan menghabiskan waktu dengan membaca.” Ia mengernyit, merasa membaca buku bukanlah karakter yang memuakkan-ia menyukai buku.
Ia pun mengganti instruksinya. Ia memikirkan “kue bikinan ibu” dan akan menuliskan apapun respons otaknya terhadap rangsangan kata itu.
Tetapi yang terbit di kepalanya adalah laki-laki itu lagi! Ia teringat bagaimana pada suatu malam hujan deras dan lelaki itu datang ke kedai; dia memesan cokelat panas dan keks keju, dan lelaki itu bilang, “Tolong cheesecake-nya dipanaskan ya, Manis.” (“Dia memanggilku ‘Manis’!” pikirnya.) Sementara mengenai “kue bikinan ibu”, yang timbul hanyalah kata “gurih” dan “marzipan”. Tak ada gambaran apapun mengenai kue itu sendiri atau ruang makan keluarganya. Ia bahkan tak tahu apa itu “marzipan”!
Ia menghela napas putus asa. Siapa pun yang menulis ceritaku ini, pikirnya, pastilah amatiran, dan kurang awas dengan detail.
Ia memutuskan untuk membaca, dan mengambil majalah wanita yang tergeletak di meja. Belum ada dua detik, ia langsung membelalak. Hanya ada putih polos di semua halaman. Apa maksudnya ini semua, pikirnya, ketimpangan dan ketidaksempurnaan ini? Apa guna mencipta apabila kau tak mampu mencukupi apa yang ciptaanmu butuhkan? Ia berharap penulisnya paling tidak masih ingat bahwa semua orang memerlukan cinta, semua orang, termasuk dirinya. Ia berharap seseorang telah dituliskan untuknya. Ia berharap ceritanya bukanlah kisah sedih yang diniatkan untuk menjaring pembaca-pembaca putus asa. Ia berharap ceritanya ditulis tanpa melibatkan alkohol.
 Ia merasa ia butuh istirahat, berpikir kegilaan ini akan berakhir apabila ia tidur cukup. Ia berharap-meski ia telah tahu ini mustahil-akan terbangun sebagai manusia biasa keesokan harinya. Ia pun izin pulang cepat. Ia melambai kepada Anton, dan berjalan meninggalkan kedai.
Di dalam bus, ia teringat malam nanti ada kuliah Kalkulus II dan Pengantar Kosmologi (ia mengambil kuliah ekstansi Fisika di kampus tak ternama dekat kosnya) tetapi merasa tak bersemangat. Ia mengirimkan pesan titip absen kepada teman sekampusnya.
Ia mencoba membayangkan rupa penulis yang menuliskan ceritanya itu. Apa dia laki-laki? Atau perempuan? Sepertinya laki-laki? Atau perempuan? Sepertinya laki-laki, pikirnya, kalau dia perempuan, aku mustahil bernasib semalang ini. Kalau dia perempuan aku tentu memiliki kesempatan kuliah layak, berpenghasilan sama dengan Anton, dan tidak terus-menerus memikirkan laki-laki-seolah hanya itu isu yang penting bagiku. Tetapi, apakah ia tampan dan orang-orang menyebutnya ‘penulis tampan’? Apakah aku menyukai warna hijau karena ia menyukai warna hijau? Apakah ia ramping, atau malah gemuk, seperti aku?
Apakah aku gemuk karena ia gemuk, atau ia gemuk karena aku gemuk?
Jangan-jangan ceritaku itu adalah sebuah karya autobiografis atau semi-autobiografis, pikir gadis itu, sehingga bisa jadi di atas sana, di balik awan, di balik bintang-bintang, di balik tepi-tepi dari semesta yang terus mengembang perlahan, ada seorang lelaki gemuk yang juga sering bangun subuh-subuh, lalu memeriksa telepon genggamnya dan hanya menemukan iklan operator, lalu bangkit karena hendak menyeduh kopi, tapi akhirnya urung karena ingat dia ingin menguruskan badan, kemudian juga teringat dengan seseorang yang membuatnya ingin menguruskan badan, dan lalu juga teringat dia tak bisa menemui seseorang itu meskipun sangat rindu, dan akhirnya sebagai pengalih perhatian dia menyalakan laptop, mencoba menulis sesuatu.
Barangkali lelaki itu sudah lama ingin menulis sebuah cerita metafiksi, dan pagi buta itu memulainya dengan: “Suatu subuh…”-lalu mungkin laki-laki itu tak sanggup menyelesaikan kalimat itu tak sanggup menyelesaikan kalimat itu, dan kemudian dengan putus asa dia memikirkan bahwa jauh di atas dunianya, di balik selimut atmosfer, di balik ribuan, jutaan komet dan asteroid,di balik tepi-tepi dari semesta yang terus mengembang perlahan, ada seorang perempuan gemuk menuliskan kisahnya, dan perempuan itu sama sepertinya: juga bangun subuh-subuh, juga memeriksa telepon genggamnya dan hanya akan menemukan iklan operator, juga…. Gadis itu memberhentikan bus di depan gereja dan berjalan menuju kosnya.
Gadis itu berpikir, semua ini, kehidupanku ini, adalah kesia-siaan, dan ada hanya karena seseorang yang kurang kerjaan.
Jika lelaki gemuk itu tak pernah mencoba lagi menulis cerita itu, pikir si gadis, aku tentu tak akan pernah ada dan tak harus mengalami ini semua. Gadis itu akan terus berada di dalam kepala lelaki itu, tak sadar mengenai keberadaan dirinya, seperti bayi di dalam rahim.
Ia kini penasaran mengapa ia tertulis sebagai seorang gadis gemuk dan bukannya lelaki gemuk, tetapi ia langsung sadar bahwa itu tak ada pengaruhnya-bila pun ada, tak signifikan. Apa bedanya gadis gemuk yang tak dicintai siapapun dari lelaki gemuk yang tak dicintai siapapun dari lelaki gemuk yang tak dicintai siapapun? Ia memasukkan anak kunci ke lubang pintu depan, dan kemudian masuk ke dalam kosnya.
Ia ingin pada ceritanya itu ia tak disebut sebagai “aku” karena “aku” begitu terbatas, tetapi sebagai “ia” atau-meskipun ini tak ideal-“si gadis gemuk”, dan ada seorang narrator tahu-segala yang mengatakan, “dan lelaki itu mencintai gadis gemuk itu diam-diam, dia mencintai gadis gemuk itu sejak kali pertama keks keju hangat bikinan gadis itu lumer di mulutnya, sejak ia menghirup teh hitam yang gadis itu seduh untuknya. Ketika kehangatan menyebar dilambungnya lelaki itu berpikir, Aku akan mencintai gadis ini sampai aku mati.”
Gadis itu menatap ke tangga di sebelah kiri kamarnya. Ibu kosnya selalu melarang ia naik ke sana. “Hubungan kita cuma ibu dan anak kos. Tidak lebih!” Ia ragu sebentar, tetapi kemudian mulai menaiki tangga itu, menikmati tiap-tiap tapaknya, dan tiba di lantai dua. Ia terpana. Ia menemukan dunia serba putih. Ia mencoba maju, namun menabrak suatu dinding tak terlihat. Dinding? Ia tertawa lama sekali. Ini bukan dinding, pikirnya, ini adalah Tak Ada, bagian semestaku yang belum/tidak lelaki gemuk itu tuliskan.
Gadis itu membayangkan ceritanya kelak diterbitkan di sebuah koran; dan di ujung kanan halaman, tepat di atas tempat dan tangan penulis cerita, ada sebuah untuk yang diikuti satu nama, atau bisa juga dua, Gadis itu tentu tak tahu nama-nama macam apa yang tertera. Barang kali Maria, Mario? Leona atau Leo? Dias (?) atau Dias (?) Entahlah. Tetapi ia tahu pasti ia ingin menjadi seperti teman-temannya di masa kecil yang berteriak Ayo! Ayo! Ayo! kepadanya  ketika lomba makan sayap ayam, membuatnya merasa sendirian. Ia hendak menyemangati si lelaki gemuk untuk menyelesaikan cerita itu, ceritanya, dengan harapan lelaki itu tahu dia itu tak pernah sendirian, dan agar pada akhirnya segala hal menjadi jernih, dan gadis itu tahu cerita macam apa yang didiaminya dan alasan ia dituliskan.
Untuk Leo dan Dias, yang akan berulang tahun

 KOMPAS, MINGGU, 8 FEBRUARI 2015


PENGUBURAN KEMBALI SITARESMI OLEH TRIYANTO TRIWIKROMO

PENGUBURAN KEMBALI SITARESMI
OLEH TRIYANTO TRIWIKROMO
SELAMA 50 tahun aku dipaksa menjadi bisu. Selama 50 tahun warga kampung mungkin sudah menganggap aku sebagai batu berlumut. Namun karena aku bersama puluhan anak muda tiba-tiba berniat membongkar gundukan menyerupai kuburan dan ingin memakamkan kembali siapa pun yang dibunuh dan dikubur di gundukan batu menyerupai makam di Bukit Mangkang, aku harus menceritakan kisah pembantaian konyol kepada 24 perempuan tangguh itu kepadamu.
Aku tak akan mengisahkan cerita lama kepada para penganggit kisah sepertimu. Aku tak akan bercerita tentang Lembulunyu dan 23 pasukan berani mati yang begitu ganas menyiksa para serdadu yang tersesat di hutan. Aku tak akan berkisah tentang perempuan-perempuan yang bisa berubah menjadi lembu-lembu terbang meskipun hujan terus-menerus menghajar rerimbunan pohon jati.
“Tetapi orang-orang sudah terlanjur percaya pada cerita lama. Orang-orang terlanjur percaya di Bukit Mangkang terkubur Lembulunyu bersama perempuan-perempuan tangguh yang setiap Kamis malam bisa dimintai nomor togel. Orang juga percaya Lembulunyu-yang bisa menghilang dan menyusup ke tubuh lembu paling tambun saat dikejar-kejar musuh-tak ditembak oleh serdadu, tetapi minum racun bersama 23 perempuan lain setelah sebelumnya mereka membunuh lebih dari 100 serdadu dengan menanduk lambung atau menginjak-injak kepala hingga pecah,” katamu.
“Kau percaya pada kisah konyol yang dihembuskan oleh para serdadu culas yang sedang mabuk itu?”
“Apakah salah percaya pada hal-hal yang menakjubkan? Bukanlah kisah-kisah para nabi di kitab-kitab suci juga menkjubkan?”
Masalahnya kita tak hidup pada zaman para nabi. Masalahnya kita tak hidup di kitab-kitab suci, di alam yang serba-ajaib. Karena itu, sebaiknya percayailah kisahku. Kisah tentang pembantaian dalang bernama Sitaresmi dan 23 perempuan lain yang kelak kau ketahui sebagai sinden dan penabuh gamelan itu.
“TAK semua orang akan percaya pada kisahmu. Kecuali jika….”
Kecuali jika aku menjadi saksi pembantaian itu bukan? Kurasa akulah satu-satunya saksi yang masih hidup. Waktu peristiwa itu terjadi aku berusia 17 tahun dan pandanganku-meski terhalang hujan yang turun terus-menerus-masih sangat waras. Aku masih remaja penasaran dan ingin tahu segala yang terjadi. Meskipun menyaksikan dengan gemetar, aku masih bisa membedakan siapa yang ditembak, siapa yang menembak. Aku masih bisa mergoki jip dan truk yang mengusung perempuan-perempuan malang yang hendak dibantai di tengah hutan, masih bisa menghitung  berapa tentara yang pethenthengan sebelum mereka menghajar kepala-kepala ringkih dengan gagang bayonet.
Kepala-kepala mereka, sebagaimana kepala kita, sungguh sangat ringkih. Tak ada yang tidak pecah saat dihajar popor tentara. Tak ada yang utuh dan tak berceceran-kecuali kepala Sitaresmi-saat dihantam beberapa peluru serdadu.
“Sitaresmi tidak bisa dibunuh saat itu?”
Dalang perempuan asal Kendal yang mahir mengoprolkan wayang dengan sabetan-sabetan sangat cepat itu sepertinya dilindungi oleh semacam semacam karet tak tembus peluru. Semua peluru mental dari tubuh.
“Apakah karet pelindungnya berlapis-lapis?”
Ya, karet pelindungnya berlapis-lapis. Kuharap kau tidak meledek kisah yang terdengar konyol ini. Aku tahu siapa pun akan sulit mempercayai kisah dalang perempuan tak tembus peluru. Aku tak peduli kau percaya atau tidak. Aku sekedar ingin mengatakan, hanya karena Sitaresmi dan 23 perempuan penabuh gamelan dan sinden selalu memainkan lakon Dewa Sampun Pejah, mereka dikejar-kejar serdadu. Mereka dianggap antek Gerwani. Mereka dianggap telah menghina Gusti Allah.
Kau tahu apa isi lakon Dewa Sampun Pejah? Ini hanyalah kisah biasa tentang Drupadi yang yang dilucuti pakaiannya di Istana Kuru oleh Dursasana. Kisah tak istimewa tentang penelanjangan Drupadi oleh Dursasana yang digagalkan Kresna. Saat itu Kresna menutupi tubuh Drupadi dengan bentangan jarit tak putus-putus sehingga tak seorang pun bisa menatap tubuh tangguh istri Yudistira itu.
“Ya memang bukan cerita yang luar biasa,” katamu, “Jadi, apa yang membuat Sitaresmi dikejar-kejar para serdadu?”
Tak ada yang luar biasa andaikata Drupadi dalam lakon itu tidak bilang, “Dewa telah mati. Ya, Dewa telah mati karena Dia-sebagaimana Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa-tak berkutik saat Dursasana dan Duryudana melecehkan aku. Di mana Dewa saat manusia-manusia utama di dunia tak sanggup menolongku?”
“Lalu, apa hubungan lakon itu dengan pembantaian di Bukit Mangkang?”
Tentu saja tidak ada. Akan tetapi pada Desember 1965 setiap alasan bisa digunakan untuk membunuh siapa pun yang dianggap musuh. Kau bisa membunuh orang-orang yang kau benci hanya dengan menuduh mereka bagai tukang santet. Kau bisa membunuh perempuan paling cantik dengan hanya menuduh dia sebagai penyebar agama sesat.
“Kau hendak memaksaku percaya bahwa Sitaresmi tidak bersalah?”
Tentu saja dia tidak bersalah.
“Kau juga ingin memaksaku percaya pada kisah kekebalan Sitarresmi?”
Aku tak membutuhkan persetujuan orang lain untuk mengisahkan apa pun yang terjadi pada Sitaresmi. Kau boleh tertawa keras-keras saat mendengarkan kisah bunyi klontang-klonthang yang berdentang teramat keras ketika para serdadu menghantam kepala Sitaresmi dengan popor senapan. Kau juga boleh tertawa saat kukatakan Sitaresmi tak lebih dan tak kurang adalah penjelmaan Dewi Sri-istri Batara Indra-yang tak akan bisa dibunuh oleh manusia sesakti apa pun.
“Baiklah, aku akan berusaha percaya,” katamu memancing, “tetapi apa yang sesungguhnya terjadi saat itu sehingga 24 perempuan harus dibantai dan dikuburkan secara paksa?”
Segalanya bisa begitu gampang terjadi gara-gara tak satu pun peluru serdadu bisa menembus tubuh Sitaresmi. Ini membuat Komandan Regu Tembak berang. Tak hanya marah-marah, dia kemudian meminta para penembak mengikat tubuh Sitaresmi di pohon jati.
“Kalau tak mati ditembak, tusuk saja lambungnya dengan bayonet!” teriak Komandan Regu Tembak memberi perintah.
Para penembak pun menusukkan bayonet ke tubuh Sitaresmi, tetapi hanya terdengar semacam benturan besi dengan besi.
“Tusuk matanya!”
Para penembak menusukkan bayonet ke mata, tetapi hanya terlihat semacam perisai cahaya yang menghalangi siapa pun menatap Sitaresmi menyaksikan tembang ”maskumambang”. Tembang berbunyi: kelek-kelek biyung sira aneng ngendi/ enggal tulungana/ awakku kecemplung warih/gulagepan wus mehpejah2 itu dinyanyikan lirih, tetapi entah mengapa bisa kudengarkan dengan sangat jelas.
Tetap tak bisa membunuh Sitaresmi, Komandan Regu Tembak rupa-rupanya tidak kehilangan akal. Dengan sigap, dia berteriak, “Jika salah satu dari kita tak bisa membunuh Sitaresmi, bukan tidak mungkin para sinden, yang mungkin tahu rahasia sang majikan, justru bisa dengan mudah menghabisi dalang sialan itu. Beri mereka belati. Suruh mereka menguliti tubuh Sitaresmi!”
Para penembak memanggil tiga sinden dan segera memberi mereka belati.
Tiga sinden tegang. Mungkin mereka gamang melukai perempuan kencana yang sangat mereka kasihi.
“Lakukan sekarang!” teriak Komandan Regu Tembak sekali lagi.
Di luar dugaan, tiga sinden itu berbalik ke arah penembak dan berupaya menusukkan belati ke dada para penembak. Tindakan konyol itu berakibat fatal. Para penembak lebih cepat melesatkan peluru ke tubuh para sinden. Daging-daging tubuh para sinden pun memburai. Darah mengucur di antara hujan yang terus mengguyur.
“Masih ada yang akan melawan perintahku?” kata Komandan Regu Tembak.
Tak ada yang berani menjawab. Tak ingin ada korban lagi, Sitaresmi memberi isyarat kepada para penembak agar mendekat. Aku tak bisa mendengarkan segala yang mereka perbincangkan. Aku hanya tahu tiba-tiba para penembak mengeluarkan seluruh peluru dari senapan dan mereka beramai-ramai mengencingi timah pembunuh itu.
“Apakah akhirnya Sitaresmi terbunuh oleh peluru yang sudah bersepuh urine para penembak itu?” tanyamu.
Apakah perlu kuceritakan?
“Tak perlu. Siapa pun akan mudah menebak apapun yang akan terjadi. Siapa pun akan akan menganggap kamu gila. Siapa pun akan menganggap ceritamu berlebihan.”
Aku tak peduli. Aku hanya ingin orang tak percaya lagi pada cerita tentang Lembulunyu dan lebih memilih mengisahkan kepada siapa pun kisah Sitaresmi.
“Dan itu tak mungkin terwujud. Kau akan berhadapan dengan orang yang tidak percaya pada kisahmu. Sebagian kisahmu memang bisa dianggap benar, sebagian yang lain sedikit keliru, sebagian lain, aku yakin, hanya terjadi di kepalamu. Kau tak bisa melawan mitos dengan mitos. Kau jangan terlalu percaya diri menganggap kau sebagai satu-satunya saksi. Bisa saja aka nada saksi lain yang akan menceritakan penembakan Sitaresmi dan 23 perempuan itu dalam versi lain.”
Aku tak peduli akan ada saksi lain atau tidak. Kalaupun ada saksi lain, mereka-yang dipaksa menggali makam dan mengubur mayat-mayat berserakan-toh sudah mati diberondong senapan.
Jadi, mengertilah, aku hanya ingin mengatakan kepadamu, tak ada gunanya lagi kisah ini ditutup-tutupi. Karena itulah, aku setuju ketika kau bersama Komunitas Rekonsiliasi Kanan Merah dan Kiri Putih akan membongkar makam dan menguburkan tulang-tulang mereka kembali dengan doa yang sebenar-benar doa. Dulu kami tak pernah bisa mendoakan mereka. Aku tahu membongkar makam berarti membongkar hal-hal lain. Membongkar kuburan ini sama saja membuat kuburan untuk orang-orang yang masih hidup. Bisa saja mereka yang terlibat dalam pembunuhan itu akan ganti dikejar-kejar serdadu, segera diadili dan bukan tidak mungkin juga ditembak mati.
Tidak! Tidak! Aku tak ingin para penembak itu dibantai layak anjing buruan. Setelah semua kisah kuceritakan kepadamu aku tak akan mau menjadi saksi bagi siapa pun. Aku akan membisu lagi. Aku hanya ingin menjadi saksi hidup bagi pembongkaran, penguburan kembali tulang-belulang, pengirim doa bagi para arwah, dan senyum manis Sitaresmi.
Senyum manis? Ya, sebab aku yakin setelah 50 tahun dikubur di bawah rerimbunan pohon jati, ketika semua tulang-belulang 23 perempuan lain membusuk dan merapuh, senyum dan tubuh Sitaresmi tak akan berubah. Tubuhnya tak membusuk. Tak ada lubang bekas peluru di tubuhnya yang berbau harum itu. Tak ada kulit yang disayat. Tak ada ulat yang menggerogoti. Tak ada…
Karena itu, segera salin seluruh kisahku. Aku akan membisu lagi. Aku tak akan berbicara lagi. Aku takut, seperti dulu, mereka memaksaku minum racun lagi…

KOMPAS, MINGGU, 1 FEBRUARI 2015
  


Sabtu, 07 Maret 2015

TENUNG
OLEH FANDRIK AHMAD
Kabar kematiannya menyebar sangat cepat, seperti angin yang berbuah badai dan merontokkan dedaunan. Barangkali kabar kematian tak secepat itu jika yang meninggal bukan si tukang tenung.
“Siapa yang meninggal?”
“Murtaep.”
“Murtaep tukang tenung itu?”
“Ya, betul.”
Di mana kabar itu singgah, dari muka segala arah, pembicaraan kerap bermuara pada perkara kesaktiannya. Tenung dan Murtaep bak gembok dan kunci. Tenung, ya, Murtaep, Murtaep, ya, tenung.
Malam masuk waktu Isya ketika tubuh Murtaep tak lagi hangat. Sebagian kerabat berdatangan sebelum mata lelaki dekil itu benar-benar terpejam. Murtaep meninggal secara wajar dan normal, tidak mendadak, apalagi misterius. Kematiannya tak seperti yang selalu ia koarkan pada penduduk.
Ramalan yang meleset itu, kematian Murtaep, semakin menjadi buah bibir.
Jauh hari Murtaep sudah mengabarkan perihal tanda kematiannya sendiri. Ia akan mati ketika pohon beringin di depan rumahnya tersambar petir. Tulangnya akan hangus bersama akar serabut beringin. Bagaimanapun Murtaep juga manusia. Bisa meramal, bukan penentu nasib.
Lebih tiga bulan lelaki itu tak bisa melakukan apa-apa kecuali tergolek kaku. Ia sudah tak lihai memainkan persendian. Makan dan minum harus disuap. Buang hajat sudah diranjang. Buang air tak pernah membilang.
Murtaep tidak sakit, hanya terlalu tua untuk hidup. Usianya seratus tahun lebih. Melihat usia yang terlalu senja untuk ukuran manusia sekarang, sebagian orang percaya betapa ia tak bisa mati kecuali ada petir menyambar beringin itu.
“Yang jelas usianya lebih seratus tahun. Seratus berapa, tidak ada yang tahu,” cerita Dulla pada Taris, cucunya.
Istri Murtaep seorang dukun beranak. Sapinah namanya.
“Perempuan itu yang memandikan anak kakek yang paling tua. Pamanmu, Aji,” kata Dulla.
“Dulu orang melahirkan tak secanggih sekarang. Bukan perkara gampang. Sakit harus benar-benar dilawan, bertaruh nyawa. Sekarang enak pakai operasi. Tinggal suntik, tak sadar, selesai,” sambung ibunya yang tiba-tiba sudah berdiri dengan sekantong beras.
Taris memiliki sambung keturunan dengan Murtaep dari keluarga garis laki-laki. Dulla adalah adik sepupu Murtaep.
Ayah Taris belum pulang. Ia memiliki jadwal piket di palang pintu kereta dan baru tiba di rumah jam Sembilan. Dulla mengajak Taris melayat duluan. Ibunya sudah berada di teras dengan sekantong beras untuk disedekahkan kepada keluarga duka.
Para pelayat berdatangan ke rumah duka membawa gula, rempah-rempah, mie instan atau beras. Mereka datang untuk menghibur dan mengurangi beban keluarga dan menjadi saksi atas kebaikan-kebaikan yang pernah dilakukan almarhum.
“Siapa yang bakal gantikan Murtaep, ya?”
“Kamu saja, bagaimana?”
“Hus, ngawur!”
“Lha, ’kan Cuma mutar kendi, lalu bertanya, siapa kamu, apa yang kamu minta. Mudah bukan?”
“Iya, ada benarnya juga tuh,” sindir yang lain.
“Kendinya bisa menjawab pertanyaan itu?”
“Tentu tidak. Kendi itu Cuma berputar-putar.”
“Lalu, bagaimana bisa ketahuan bila mahluk gaib itu minta nasi kuning, serabi, tajin…?”
“Ya, kamu harus buat sendiri jawabannya dan tawarkan pada kendi itu.”
“Maksudnya?”
“Kalau jawabmu benar, kendi itu akan berhenti berputar.”
“Oalaaah, kalau saya yang pegang kendi itu, saya tak akan menawarkan nasi kuning, sumpil, lemper, serabi, atau tajin.”
“Lalu apa?”
“Bisa yang lain yang lebih keren dan enak. Bisa panggang ayam, sate, soto babat atau makanan yang enak-enak lainnya… hahahahaha.” Orang-orang melempar pandangan di bawah terang bohlam yang menggantung, redup oleh asap cerutu.
Jenazah Murtaep jadi dikubur besok pagi, hasil musyawarah keluarga duka dengan tokoh masyarakat. Gerimis yang kembali turun menjadi pertimbangan. Taris dan Dulla pulang. Di rumah tidak ada orang. Sementara ibunya masih membantu urusan di dapur. Dalam perjalanan pulang, berlindung daun pisang, cerita renyah mengalir dengan narasi tak begitu rapi.
“Tak banyak yang memiliki kemampuan seperti dia,” mulainya.
Sudah lama Murtaep jadi tukang tenung; sejak menikah dengan Sapinah dan memiliki sebuah kendi. Tenung ala Murtaep berbeda dengan tenung yang biasa atau yang lebih dititikberatkan pada ilmu hitam untuk mencelakai orang. Tidak. Tenung Murtaep menjadi juru selamat di kampong itu. Banyak penduduk yang berobat kepadanya.
Murtaep hanya seorang pendatang biasa. Kelebihan membaca perkara gaib diketahui ketika seorang anak tetangga mendadak kejang-kejang. Tubuhnya menghitam. Matanya membelalak. Tangannya mencakar-cakar. Murtaep yang kala itu baru tiba dari sawah melihat keganjilan itu. Ia mendekati orangtua anak yang mukanya kacau panik, lalu mendekat pada anak yang-kata orang-ayan. Anak itu menyerangnya. Murtaep gesit menghindar. Pada kondisi yang sangat sigap dan cepat, tangannya menepok jidad anak itu dan roboh seketika.
 Perkara gaib yang terjadi sangat cepat itu membelalakan pasang mata. Anak itu tak lagi mengamuk. Murtaep berusaha menetralisir suasana. Berkoar betapa yang dilakukannya tadi sebuah usaha mengusir makhluk halus yang tertangkap di tubuh anak itu. Tak lupa ia membubuhi aksinya dengan usaha campur tangan Tuhan.
“Apa yang terjadi setelah itu, Kek?”
“Kau tak sabaran, Nak,” tukasnya tersenyum. ”Sejak saat itu Murtaep menjadi kepercayaan orang kampung. Banyak yang berdatangan kepadanya. Bertanya soal penyakit yang tak sembuh-sembuh sampai bertanya soal jodoh.”
Hal lain yang membuat Murtaep menjadi terpandang adalah kendi yang dipakai untuk tenung. Tempat air bercerat yang terbuat dari tanah air itu bukanlah sembarang kendi. Orang menyebutnya kendi tasoddul, milik perempuan hamil yang meninggal sebelum melahirkan. Konon, ruang dalam kendi itu berpenghunikan arwah bocah yang mati sebelum lahir.
“Arwah bocah yang mati sebelum lahir dipercaya dapat membaca perkara gaib. Arwah bocah itu diibaratkan sehelai kapas putih tanpa noda.”
“Kapas putih?”
“Ya, bayi yang baru lahir ibarat kapas putih, Nak. Bersih tanpa noda dosa.”
Selain sebagai wadah minuman, kendi juga dipakai sebagai pelengkap kuburan. Benda itu diletakkan di bagian kepala nisan. Isinya air yang juga dipakai peziarah untuk menyiram aneka kembang yang ditabur di atas jarak kedua nisan.
Murtaep memiliki penyakit semacam orang yang susah tidur. Malam-malam kerjanya melek seperti burung hantu. Kalau tidak punya jadwal ronda, kerjanya main domino. Kalaupun sudah merasa lapar, ia dan teman sepermainannya tinggal membuat api unggun, menyeduh air, membuat kopi, atau memanggang singkong.
Suatu malam, di pos ronda, sangat kebetulan sekali, hanya Murtaep semalaman duduk sangkil. Tak ada teman ternyata kantuk bisa juga datang kepelupuk matanya. Atau barangkali saja lelaki itu kecapaian karena seharian mencangkul tegal.
 Ia tidur sebentar dan bermimpi samar-samar: perempuan, bayi, tangis, nisan, kemboja, dan kendi. Ia tak tahu harus ditafsirkan macam apa mimpinya. Satu hal yang ada di pikirannya, bila ada perempuan hamil meninggal dengan anak masih dalam kandungan, akan ada banyak orang yang menginginkannya. Semua orang tahu betapa kematian semacam itu, anak dalam kandungan bisa dibuat jimat kekebalan atau ritual menjadi kaya. Cerita ini memang sudah melegenda, tidak hanya Murtaep yang tahu.
Mimpi itu tak menunggu lama untuk menjadi nyata. Sebelum matahari menyembul, penduduk dihebohkan kematian Sumiati. Perempuan yang ditinggal suaminya menjadi TKI itu meninggal dengan perut membuncit tujuh bulan. Murtaep dan kawan seronda lainnya sadar, urusan berjaga-jaga bertambah berat, apalagi kalau bukan kematian tasoddul itu. Banyak yang akan menginginkan kuburan Sumiati, sebelum kuburan itu genap 41 hari.
Hal yang tak diinginkan terjadi sebelum kuburan Sumiati 41 hari. Ada yang membongkar kuburan itu. Jenazahnya hilang! Peronda kecolongan. Sepasang tatapan saling menaruh curiga. Siapa yang tak ingin kaya?
“Bagaimana Murtaep memiliki kendi itu, Kek?” Tanya Taris.
“Entahlah, katanya kendi itu datang sendiri kepadanya.”
Tujuh hari pemakaman Murtaep tuntas, sanak saudara sudah pulang dari rumah duka, termasuk Taris dan keluarganya. Rumah kembali sepi. Pada posisi seperti ini, sangat baik bagi kenangan datang bertandang.
Setiap keluarga pasti setidaknya mempunyai satu buah benda keramat yang menjadi pusaka dan diwariskan turun-temurun. Pikiran seperti itu merangsang Silus merasa paling berhak mewarisi kendi itu. Ia lelaki tunggal dari tiga bersaudara. Bukankah dalam proposisi tertentu lelaki lebih diunggulkan daripada perempuan?
Ayam baru berkokok sekali. Silus melihat melihat kendi itu menggantung di langit-langit kamar tempat terapi Murtaep. Leher kendi terlilit kawat. Ia mengambil kendi itu dan memutarnya sebagaimana yang dilakukan oleh ayahnya. Poros atas dan poros bahwa kendi diseimbangkan dengan kedua jari telunjuk. Sementara telunjuk yang lain memutar kendi itu.
Dicobanya, tidak bisa.
Dicoba lagi, tidak bisa.
Dicoba lagi, tetap.
Sisa kesabaran berdengus. Silus membanting kendi yang tak mau berputar. Prang! Kendi hancur berkeping berserak di lantai. Silus keluar dari kamar yang gelap. Tangannya menutup daun pintu cukup keras.
Sulastri yang lelap di kamar, seketika terbelalak mendengar suara itu. Ia hendak mengadu, namun Silus sudah tak ada di sampingnya. Ia yakin suara yang didengar tadi bukanlah kembang tidur, tapi entahlah, dari mana suara itu datang.
Langkahnya bergegas ke dapur. Pikirannya awas pada seekor kucing milik tetangga yang sangat blenger. Sekali mencium aroma daging, pasti selalu mengintip. Sulastri was-was kucing belang itu memakan sisa ikan sapi hari ketujuh wafat Murtaep. Sulastri tak menemukan apa-apa. Ia mengecek ruangan yang lain, taka da tanda-tanda barang pecah. Di kamar yang digunakan mertuanya, ia juga tak melihat tanda kegaduhan ataupun barang yang berserak. Hanya saja wajahnya tampak heran melihat kendi berada di lantai.
Sulastri mengembalikan kendi itu ke tempat semula, menggantungnya di langit-langit kamar. Bila suaminya ketemu, ia ingin bertanya beberapa hal: tentang suara itu dan siapa yang meletakkan kendi di lantai.

KOMPAS, MINGGU, 25 JANUARI 2015