PENGUBURAN KEMBALI
SITARESMI
OLEH TRIYANTO
TRIWIKROMO
SELAMA 50 tahun aku
dipaksa menjadi bisu. Selama 50 tahun warga kampung mungkin sudah menganggap
aku sebagai batu berlumut. Namun karena aku bersama puluhan anak muda tiba-tiba
berniat membongkar gundukan menyerupai kuburan dan ingin memakamkan kembali
siapa pun yang dibunuh dan dikubur di gundukan batu menyerupai makam di Bukit
Mangkang, aku harus menceritakan kisah pembantaian konyol kepada 24 perempuan
tangguh itu kepadamu.
Aku tak akan mengisahkan cerita lama kepada para penganggit
kisah sepertimu. Aku tak akan bercerita tentang Lembulunyu dan 23 pasukan
berani mati yang begitu ganas menyiksa para serdadu yang tersesat di hutan. Aku
tak akan berkisah tentang perempuan-perempuan yang bisa berubah menjadi
lembu-lembu terbang meskipun hujan terus-menerus menghajar rerimbunan pohon
jati.
“Tetapi orang-orang sudah terlanjur percaya pada cerita lama.
Orang-orang terlanjur percaya di Bukit Mangkang terkubur Lembulunyu bersama
perempuan-perempuan tangguh yang setiap Kamis malam bisa dimintai nomor togel.
Orang juga percaya Lembulunyu-yang bisa menghilang dan menyusup ke tubuh lembu
paling tambun saat dikejar-kejar musuh-tak ditembak oleh serdadu, tetapi minum
racun bersama 23 perempuan lain setelah sebelumnya mereka membunuh lebih dari
100 serdadu dengan menanduk lambung atau menginjak-injak kepala hingga pecah,”
katamu.
“Kau percaya pada kisah konyol yang dihembuskan oleh para
serdadu culas yang sedang mabuk itu?”
“Apakah salah percaya pada hal-hal yang menakjubkan? Bukanlah
kisah-kisah para nabi di kitab-kitab suci juga menkjubkan?”
Masalahnya kita tak hidup pada zaman
para nabi. Masalahnya kita tak hidup di kitab-kitab suci, di alam yang
serba-ajaib. Karena itu, sebaiknya percayailah kisahku. Kisah tentang
pembantaian dalang bernama Sitaresmi dan 23 perempuan lain yang kelak kau
ketahui sebagai sinden dan penabuh gamelan itu.
“TAK semua orang akan percaya pada kisahmu. Kecuali jika….”
Kecuali jika aku menjadi saksi pembantaian itu bukan? Kurasa
akulah satu-satunya saksi yang masih hidup. Waktu peristiwa itu terjadi aku
berusia 17 tahun dan pandanganku-meski terhalang hujan yang turun
terus-menerus-masih sangat waras. Aku masih remaja penasaran dan ingin tahu
segala yang terjadi. Meskipun menyaksikan dengan gemetar, aku masih bisa
membedakan siapa yang ditembak, siapa yang menembak. Aku masih bisa mergoki jip
dan truk yang mengusung perempuan-perempuan malang yang hendak dibantai di
tengah hutan, masih bisa menghitung
berapa tentara yang pethenthengan
sebelum mereka menghajar
kepala-kepala ringkih dengan gagang bayonet.
Kepala-kepala mereka, sebagaimana kepala kita, sungguh sangat
ringkih. Tak ada yang tidak pecah saat dihajar popor tentara. Tak ada yang utuh
dan tak berceceran-kecuali kepala Sitaresmi-saat dihantam beberapa peluru
serdadu.
“Sitaresmi tidak bisa dibunuh saat itu?”
Dalang perempuan asal Kendal yang mahir mengoprolkan wayang
dengan sabetan-sabetan sangat cepat itu sepertinya dilindungi oleh semacam semacam karet tak tembus peluru. Semua
peluru mental dari tubuh.
“Apakah karet pelindungnya berlapis-lapis?”
Ya, karet pelindungnya berlapis-lapis. Kuharap kau tidak
meledek kisah yang terdengar konyol ini. Aku tahu siapa pun akan sulit
mempercayai kisah dalang perempuan tak tembus peluru. Aku tak peduli kau
percaya atau tidak. Aku sekedar ingin mengatakan, hanya karena Sitaresmi dan 23
perempuan penabuh gamelan dan sinden selalu memainkan lakon Dewa Sampun Pejah,
mereka dikejar-kejar serdadu. Mereka dianggap antek Gerwani. Mereka dianggap
telah menghina Gusti Allah.
Kau tahu apa isi lakon Dewa Sampun Pejah? Ini hanyalah kisah
biasa tentang Drupadi yang yang dilucuti pakaiannya di Istana Kuru oleh
Dursasana. Kisah tak istimewa tentang penelanjangan Drupadi oleh Dursasana yang
digagalkan Kresna. Saat itu Kresna menutupi tubuh Drupadi dengan bentangan
jarit tak putus-putus sehingga tak seorang pun bisa menatap tubuh tangguh istri
Yudistira itu.
“Ya memang bukan cerita yang luar biasa,” katamu, “Jadi, apa
yang membuat Sitaresmi dikejar-kejar para serdadu?”
Tak ada yang luar biasa andaikata Drupadi dalam lakon itu
tidak bilang, “Dewa telah mati. Ya, Dewa telah mati karena Dia-sebagaimana
Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa-tak berkutik saat Dursasana dan
Duryudana melecehkan aku. Di mana Dewa saat manusia-manusia utama di dunia tak
sanggup menolongku?”
“Lalu, apa hubungan lakon itu dengan pembantaian di Bukit
Mangkang?”
Tentu saja tidak ada. Akan tetapi pada Desember 1965 setiap
alasan bisa digunakan untuk membunuh siapa pun yang dianggap musuh. Kau bisa
membunuh orang-orang yang kau benci hanya dengan menuduh mereka bagai tukang
santet. Kau bisa membunuh perempuan paling cantik dengan hanya menuduh dia
sebagai penyebar agama sesat.
“Kau hendak memaksaku percaya bahwa Sitaresmi tidak
bersalah?”
Tentu saja dia tidak bersalah.
“Kau juga ingin memaksaku percaya pada kisah kekebalan
Sitarresmi?”
Aku tak membutuhkan persetujuan orang lain untuk mengisahkan
apa pun yang terjadi pada Sitaresmi. Kau boleh tertawa keras-keras saat
mendengarkan kisah bunyi klontang-klonthang yang berdentang teramat keras
ketika para serdadu menghantam kepala Sitaresmi dengan popor senapan. Kau juga
boleh tertawa saat kukatakan Sitaresmi tak lebih dan tak kurang adalah
penjelmaan Dewi Sri-istri Batara Indra-yang tak akan bisa dibunuh oleh manusia
sesakti apa pun.
“Baiklah, aku akan berusaha percaya,” katamu memancing,
“tetapi apa yang sesungguhnya terjadi saat itu sehingga 24 perempuan harus
dibantai dan dikuburkan secara paksa?”
Segalanya bisa begitu gampang terjadi gara-gara tak satu pun
peluru serdadu bisa menembus tubuh Sitaresmi. Ini membuat Komandan Regu Tembak
berang. Tak hanya marah-marah, dia kemudian meminta para penembak mengikat
tubuh Sitaresmi di pohon jati.
“Kalau tak mati ditembak, tusuk saja lambungnya dengan
bayonet!” teriak Komandan Regu Tembak memberi perintah.
Para penembak pun menusukkan bayonet ke tubuh Sitaresmi,
tetapi hanya terdengar semacam benturan besi dengan besi.
“Tusuk matanya!”
Para penembak menusukkan bayonet ke mata, tetapi hanya
terlihat semacam perisai cahaya yang menghalangi siapa pun menatap Sitaresmi
menyaksikan tembang ”maskumambang”. Tembang berbunyi: kelek-kelek biyung sira aneng ngendi/ enggal tulungana/ awakku
kecemplung warih/gulagepan wus mehpejah2 itu dinyanyikan lirih, tetapi
entah mengapa bisa kudengarkan dengan sangat jelas.
Tetap tak bisa membunuh Sitaresmi, Komandan Regu Tembak
rupa-rupanya tidak kehilangan akal. Dengan sigap, dia berteriak, “Jika salah
satu dari kita tak bisa membunuh Sitaresmi, bukan tidak mungkin para sinden,
yang mungkin tahu rahasia sang majikan, justru bisa dengan mudah menghabisi
dalang sialan itu. Beri mereka belati. Suruh mereka menguliti tubuh Sitaresmi!”
Para penembak memanggil tiga sinden dan segera memberi mereka
belati.
Tiga sinden tegang. Mungkin mereka gamang melukai perempuan
kencana yang sangat mereka kasihi.
“Lakukan sekarang!” teriak Komandan Regu Tembak sekali lagi.
Di luar dugaan, tiga sinden itu berbalik ke arah penembak dan
berupaya menusukkan belati ke dada para penembak. Tindakan konyol itu berakibat
fatal. Para penembak lebih cepat melesatkan peluru ke tubuh para sinden.
Daging-daging tubuh para sinden pun memburai. Darah mengucur di antara hujan
yang terus mengguyur.
“Masih ada yang akan melawan perintahku?” kata Komandan Regu
Tembak.
Tak ada yang berani menjawab. Tak ingin ada korban lagi,
Sitaresmi memberi isyarat kepada para penembak agar mendekat. Aku tak bisa
mendengarkan segala yang mereka perbincangkan. Aku hanya tahu tiba-tiba para
penembak mengeluarkan seluruh peluru dari senapan dan mereka beramai-ramai
mengencingi timah pembunuh itu.
“Apakah akhirnya Sitaresmi terbunuh oleh peluru yang sudah
bersepuh urine para penembak itu?” tanyamu.
Apakah perlu kuceritakan?
“Tak perlu. Siapa pun akan mudah menebak apapun yang akan
terjadi. Siapa pun akan akan menganggap kamu gila. Siapa pun akan menganggap
ceritamu berlebihan.”
Aku tak peduli. Aku hanya ingin orang tak percaya lagi pada
cerita tentang Lembulunyu dan lebih memilih mengisahkan kepada siapa pun kisah
Sitaresmi.
“Dan itu tak mungkin terwujud. Kau akan berhadapan dengan
orang yang tidak percaya pada kisahmu. Sebagian kisahmu memang bisa dianggap
benar, sebagian yang lain sedikit keliru, sebagian lain, aku yakin, hanya
terjadi di kepalamu. Kau tak bisa melawan mitos dengan mitos. Kau jangan
terlalu percaya diri menganggap kau sebagai satu-satunya saksi. Bisa saja aka
nada saksi lain yang akan menceritakan penembakan Sitaresmi dan 23 perempuan
itu dalam versi lain.”
Aku tak peduli akan ada saksi lain atau tidak. Kalaupun ada
saksi lain, mereka-yang dipaksa menggali makam dan mengubur mayat-mayat
berserakan-toh sudah mati diberondong senapan.
Jadi, mengertilah, aku hanya ingin mengatakan kepadamu, tak
ada gunanya lagi kisah ini ditutup-tutupi. Karena itulah, aku setuju ketika kau
bersama Komunitas Rekonsiliasi Kanan Merah dan Kiri Putih akan membongkar makam
dan menguburkan tulang-tulang mereka kembali dengan doa yang sebenar-benar doa.
Dulu kami tak pernah bisa mendoakan mereka. Aku tahu membongkar makam berarti
membongkar hal-hal lain. Membongkar kuburan ini sama saja membuat kuburan untuk
orang-orang yang masih hidup. Bisa saja mereka yang terlibat dalam pembunuhan
itu akan ganti dikejar-kejar serdadu, segera diadili dan bukan tidak mungkin
juga ditembak mati.
Tidak! Tidak! Aku tak ingin para penembak itu dibantai layak
anjing buruan. Setelah semua kisah kuceritakan kepadamu aku tak akan mau
menjadi saksi bagi siapa pun. Aku akan membisu lagi. Aku hanya ingin menjadi
saksi hidup bagi pembongkaran, penguburan kembali tulang-belulang, pengirim doa
bagi para arwah, dan senyum manis Sitaresmi.
Senyum manis? Ya, sebab aku yakin setelah 50 tahun dikubur di
bawah rerimbunan pohon jati, ketika semua tulang-belulang 23 perempuan lain
membusuk dan merapuh, senyum dan tubuh Sitaresmi tak akan berubah. Tubuhnya tak
membusuk. Tak ada lubang bekas peluru di tubuhnya yang berbau harum itu. Tak
ada kulit yang disayat. Tak ada ulat yang menggerogoti. Tak ada…
Karena itu, segera salin seluruh kisahku. Aku akan membisu
lagi. Aku tak akan berbicara lagi. Aku takut, seperti dulu, mereka memaksaku
minum racun lagi…
KOMPAS,
MINGGU, 1 FEBRUARI 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar