Biografi
Pohon Sidrah
Oleh
ROYYAN JULIAN
KALAU kau percaya bahwa
pohon sidrah hanya tumbuh di lapis langit ketujuh, kau salah besar, Musawir.
Aku melihatnya di area gundukan tanah Dusun Palanggaran. Setiap matahari jatuh
di kaki langit, serumpun pohon akan memijarkan cahaya hijau yang lembut;
meredupkan pendar ribuan kunang-kunang yang berterbangan di sekitarnya.
Setidaknya begitulah yang
dikatakan sahabatku, Lien, ketika ku katakana kepadanya tentang pohon sidrah
yang dikisahkan Kiai Ahyar. Gadis bermata sipit itu menggeleng-geleng saat
mendengar tuturku tentang perjumpaan sang Nabi dengan pohon itu tatkala mikraj
menembus langit tertinggi. Aku sedikit tersinggung Karena Lien tak bersikap
takzim kepada guru ngajiku itu.
“Bukannya aku tak
menghormati gurumu. Kalau kau mau, aku bisa menunjukkan di mana pohon itu
berada.”
Tentu aku lebih percaya
kepada Kiai Ahyar yang repotasinya sudah tak diragukan daripada kepada Lien
meskipun ia tak pernah berdusta. Tetapi, tawarannya untuk menunjukkan lokasi
itu membuat keyakinanku sedikit goyah. Bila ia terbukti benar, robohlah kisah
yang dituturkan Kiai Ahyar tentang persinggungan sang Junjungan dengan pohon
terang-benderang di langit ketujuh.
“Pohon Sidrah,
sebagaimana ciri-ciri yang kau sebut, hanya bisa dilihat ketika hari mulai
petang. Ia tampak seperti pohon biasa bila matahari masih bercokol di
cakrawala.”
Lalu pada hari itu juga,
atas rasa penasaranku yang menggebu-gebu, kami datang ke Dusun Palanggaran saat
senja condong kea rah barat. Yang perlu kubawa hanyalah obor yang akan menjadi
penerang jalan pulang.
Saat kami sampai di sana,
hari nyaris petang. Palanggaran adalah dusun yang tak berpenghuni. Dulu, ketika
aku masih kecil, ibuku pernah bercerita bahwa Ki Moko, leluhur kami, telah
mengutuk warga Dusun Palanggaran atas tabiat kikir mereka. Masyarakat pelit itu
kemudian meninggalkan dusun mereka, menjadi peminta-minta hingga tujuh turunan.
Dusun itu menjadi senyap. Pesantren kecil Ki Moko kehilangan murid-muridnya. Di
sana hanya tinggal Ki Moko dan istrinya. Sampai saat ini, tak seorang pun tahu
di mana makam Ki Moko berada. Dan taka da pula orang yang sudi memijak Dusun
Palanggaran yang telah mati. Orang-orang menyebutnya “tanah yang dikutuk”.
“Kita akan segera
sampai.”
Dari kejauhan kulihat
cahaya hijau berpedar di atas area gundukan tanah. Hatiku berdebar kencang. Ini
tak mungkin, batinku sambil meyakinkan diri bahwa apa yang bakal kulihat
hanyalah sepotong mimpi. Saat kami sampai di hadapannya, aku tahu bahwa pohon
itu benar-benar nyata.
“Apakah aku tengah berada
di surga?”
Lien tertawa memandang
wajah ketakjubanku. “Aku menemukannya dulu ketika mencari belalang bersama
sepupuku. Aku tak menangkap serangga lincah itu seekor pun, tetapi aku
mendapatkan pengganti yang lebih memukau. Sejak saat itu aku seringkali ke
sini. Memandangnya lama-lama membuat kesadaranku seperti terhisap.”
Benar saja apa yang
dikatakan Lien. Cahaya pohon itu menyeretku ke ambang antara sadar dan tak
sadar. Aku seperti memasuki dimensi lain, lapisan yang lebih spiritual daripada
segala doa yang pernah kupanjatkan.
Sebenarnya pohon yang
kini kusebut sidrah itu hanyalah serumpun bambu biasa. Rimbunan pohon itu tak
terlalu tinggi. Aku tak bisa melihat apa yang ada di pusatnya karena rumpun
bambu itu amat rapat. Ia tepat tumbuh di tengah lahan timbul yang cukup luas.
Hanya ada rumpun itu, selebihnya hamparan rumput.
Aku tak mau mukjizat ini
kunikmati sendiri. Lalu kuceritakan semuanya kepada teman-temanku. Kuantar
mereka ke tempat ini. Reaksinya seperti apa yang kurasakan. Ketika menatap
pohon ajaib itu, mereka seperti kehilangan kata-kata untuk mengungkapkannya,
lupa daratan, dan setelah itu, setelah itu wajah mereka seperti habis diguyur
air yang menyegarkan.
Bagaikan wabah yang
mematikan, berita tentang pohon itu menyebar ke sejumlah dusun. Orang-orang
mulai lupa bahwa Pelanggaran pernah mereka sebut “tanah yang dikutuk”. Pada
hari-hari dan bulan-bulan tertentu, mereka berziarah ke pohon sidrah. Setelah
menyambangi pohon itu, mereka—sebagaimana aku, Lien, dan temanku—merasa sangat
spiritual. Ketakjuban, keterpukauan, dan rasa tersihir membuat orang-orang dari
berbagai dusun mencawiskan doa-doa, memadahkan zikir dan salawat. Kini,
Pelanggaran bukan lagi dusun yang sepi yang hanya diriuhkan oleh angina dan
kerisik daun-daun yang berterbangan oleh desis ular serta bising suara
tonggeret.
“Lien, kau tahu apa yang
dikatakan Kiai Ahyar setelah kuceritakan pohon itu kepada beliau?” Gadis
berkulit keramik itu menggeleng. “Beliau bilang, pohon sidrah Cuma ada di
langit ketujuh.” Namun beliau tak pernah melarang orang-orang menziarahinya.
“Musa, meskipun itu bukan
pohon sidrah, orang-orang menjadi sakaw dan merasa lebih baik setelah berjumpa
dengan pohon itu. Bukankah itu pula yang dialami nabimu setelah bergumul dengan
pohon sidrah?”
Aku
tak dapat berkata apa-apa lagi. Barang kali dunia ini ada dua pohon sidrah atau
lebih. Atau mungkin cuma satu sebagaimana yang dipercaya Kiai Ahyar.
Dari kegelapan jalan,
Lien muncul. Melihatnya tergopoh-gopoh, aku meloncat dari atas lincak bambu
yang kududuki. Tak sampai di depan rumahku, segera kususul ia dan ingin tahu
apa yang terjadi.
“Astaga, Musa, apa kau
takt ahu apa yang terjadi?” Itulah kalimat pertama yang diucapkannya ketika
berhadapan denganku. Keringat sebiji jagung menetes dari dahinya. Rambutnya
yang legam lurus terurai agak berantakan disapu angin.
Rupanya pemerintah Hindia
wilayah kami mendengar cerita tentang pohon sidrah; tentang orang-orang
berbagai dusun yang menziarahinya. Selama ini, pemerintah Belanda melarang
orang-orang berkumpul, berserikat. Menurut pikiran paranoid mereka, orang-orang
berserikat biasanya merencanakan pemberontakan. Pemerintah kolonial tak
menerima alasan orang-orang berserikat. Bagi mereka, segala perserikatan
inlander adalah subversif.
“Malam ini mereka akan
menebang pohon sidrah!”
“Jangan panik, Lien.”
“Aku tak mau pohonku
dirusak!”
“Bagaimana dengan
peziarah?”
“Mereka tak berkutik! Tak
aka nada yang mau isi kepalanya luluh lantak dihantam peluru. Lihat itu!” Lien
menunjuk pada barisan serdadu Belanda yang diterangi suluh.
Kami mengikuti mereka
diam-diam. Tentu kami juga tak bisa berbuat apa-apa. Itu menunjukkan bahwa kami
masih lebih mencintai nyawa kami ketimbang pohon keramat itu.
Di Palanggaran,
orang-orang segera menghentikan aktivitas ziarah ketika serdadu Belanda datang.
Para ziarah menepi, berdiri, dan menyaksikan apa yang akan dilakukan serdadu
Belanda. Mereka akan tahu apa yang akan terjadi, tetapi membiarkan segalanya
terjadi.
“Kita serahkan semuanya
kepada Allah,” tukas seorang di antara mereka.
Langit tak menampakkan
bulan, taka da cericit kelelawar. Pohon itu masih memendarkan cahaya hijau yang
melenakan. Mungkin Karena sihir pohon itulah para peziarah tak dibakar amarah
ketika aktivitas mereka tengah diganggu para penjajah itu.
Dari barisan para
peziarah, tiba-tiba terdengar sebuah suara mengalunkan kasidah Burdah. Lantunan
syair Al-Busyiri itu terdengar lembut. Lalu suara-suara yang lain mengikutinya.
Lien tampak berkaca-kaca.
Jantungku yang sedari tadi berpacu perlahan-lahan menjadi tenang. Tak ada
amarah sebagaimana para peziarah. Malam telah dibuaikan oleh koor para
peziarah. Yang tersisa hanyalah rasa haru. Sebentar lagi pohon itu akan lenyap
di hadapan kami.
“Tian, bila ini
kehendak-Mu, biarlah aku rela menerima segalanya,” isak Lien dengan suara
nyaris tak terdengar. Setetes air matanya jatuh, meresap ke dalam bajunya yang
merah.
Seorang pemimpin barisan
memberi isyarat kepada para serdadu. Mereka siaga dengan bayonet dan senapan;
berjaga-jaga bila ada peziarah yang hendak berziarah yang hendak menyerang. Tapi
kuyakin itu takkan terjadi.
Seorang serdadu maju
beberapa langkah, mengacungkan sehunus parang dan menebas sebatang bambu
seukuran lengan bocah dengan gerakan cepat. Bukannya jatuh, potongan bambu itu
melesat, membumbung ke langit. Penebas itu mendongak. Mulutnya menganga takjub
melihat bambu melesat ke atas. Pada ketinggian tertentu, patahan bambu berhenti
membumbung dan secepat kilat meluncur ke bawah, menancap ke mulut si penebang.
Parangnya terlepas dari genggaman, tangannya terentang. Ia jatuh berlutut
dengan kepala mengadah. Dari mulutnya yang tertancap, darah menyembur.
Para peziarah hanya
bergumam, barisan serdadu kocar-kacir tunggang langgang. Lien tak berkata
apa-apa. Ia hanya tak percaya terhadap apa yang dilihatnya. Tetapi aku tahu, ia
merasa doanya telah dikabulkan.
Dari celah bambu yang
ditebang, bisa kuintip sisi dalam rumpun pohon. Di tengah-tengahnya ada
setimbun makam. Nisannya batu berlumutan. Di atas pusaranya, cahaya hijau
bergulung-gulung. Wangi kasturi menguar dari rumpun sidrah.
Makam Ki Moko. Entah
kenapa, hanya itu yang terlintas dalam pikiranku.
Jawa Pos, Minggu 17 Mei
2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar