Pengunjung

Sabtu, 21 Maret 2015

CERITANYA

CERITANYA
OLEH NORMAN ERIKSON PASARIBU
Suatu subuh ia tiba-tiba merasa ia hanyalah seorang Homo Fictus*, dan kehidupan yang ia jalani adalah ceritanya.
Sepanjang siang gadis itu mencoba tetap mengerjakan tugasnya seperti biasa, ia tetap menjerang air panas, tetap membobotkan bubuk kopi dengan timbangan, memasukkan biji-biji kopi ke dalam mesin penggiling, mengucapkan terima kasih kepada pelanggan yang meninggalkan kedai, meskipun di dalam dirinya ada adonan tepung dan soda kue terlalu banyak: adonan itu mengembang dan mengembang dan mengembang, membuat dadanya sesak.
Menjelang sore-sekitar pukul dua-ketika kedai kopi tempat ia bekerja tak terlalu ramai, ia masuk ke kamar mandi pegawai dan menatap bayangan dirinya sendiri di cermin. Ini adalah daging betulan, pikirnya; protein, air, bilayer-bilayer eter dan yg memberi rasa lemah">lipid
sungguhan; tetapi ini sebetulnya hanyalah kata-kata, meskipun pada awal mula sedikit banyak adalah memang protein dan lipid, yaitu ketika mereka semua masih berbentuk jutaan neuron di kepala seseorang.
Ia mengambil kartu nama pegawai yang tersemat di dadanya, dan mencopot peniti yang melekat di sana. Ia menusukkan ujung jarum peniti ke ujung jarinya. Sesuatu yang berwarna hitam keluar perlahan. Ia mencium aroma cairan itu, dan mencicipinya. Itu sesuatu yang tak pernah ia kenal. Ia tahu tentang darah. Ia paham mengenai darah. (1) Warnanya tak merah, (2) aromanya memang sedikit anyir tapi bukan anyir-darah. Ia pun mencoba mengingat kali terakhir ia jatuh dan kakinya berdarah… dan ia tak bisa. Ia mencoba mengingat orangtuanya, tetapi yang muncul di kepalanya hanyalah seorang perempuan berambut keriting-gembung seperti brokoli. Tak ada ayah, ataupun seorang laki-laki yang dapat disangka ayah. Apa ia tak memiliki ayah dan hanya punya seorang ibu, seperti Yes… Hah? Apa yang baru ia pikirkan? Yes…? Ia tak ingat.
Ia mencoba menelusuri masa kecilnya, tapi hanya gambar-gambar tak tampak saling berkaitan yang timbul. Sebuah pacuan kuda. Sebuah parade di mana seorang laki-laki muda berdandan sebagai balerina dan ia menertawakan laki-laki muda itu. Lalu sebuah danau itu; ia ada di atas perahu angsa bersama dengan seorang bocah laki-laki. Tunggu… Apakah itu dirinya? Gadis kecil itu kurus betul, tak mirip ia. Tetapi sesuatu di dalam dirinya mengatakan bahwa gadis itu memang dirinya. Ia pun merasa pening. Ia keluar dari kamar mandi. “Boleh aku rehat selama lima menit?” katanya kepada Anton, teman kerjanya di kedai. Ia mencoba mengingat segala tentang Anton. Yang muncul hanyalah: (1) mereka telah bekerja bersama selama dua tahun, (2) dan kini begitu akrab seolah lahir dari rahim yang sama, (3) dan ia seorang gay. Ia mencoba mengingat tanggal lahir Anton… Tak ada yang muncul. Bagaimana bisa? Pikirnya putus asa.
“Kenapa? Pusing memikirkan ibu kosmu?” canda Anton.
Ia menggeleng, meskipun benar Ibu kosnya orang paling memuakkan di seluruh semesta alam.
Ia mengambil pena dan kertas, dan duduk di sudut kedai. Ia mencoba untuk melakukan freewriting. Minggu lalu ia datang ke sebuah kelas menulis, dan si pengajar bilang metode ini baik untuk mincing ingatan-ingatan lampau ke permukaan.
Ia pun berpikir, “Apa yang membuat ibu kosnya memuakkan?” dan kemudian menuliskan jawabannya.
Tetapi yang muncul di kepalanya hanyalah rupa seorang laki-laki. Ia menatap kertas, membaca kalimat pertama tulisannya: “Ia biasanya membawa beberapa buku dan menghabiskan waktu dengan membaca.” Ia mengernyit, merasa membaca buku bukanlah karakter yang memuakkan-ia menyukai buku.
Ia pun mengganti instruksinya. Ia memikirkan “kue bikinan ibu” dan akan menuliskan apapun respons otaknya terhadap rangsangan kata itu.
Tetapi yang terbit di kepalanya adalah laki-laki itu lagi! Ia teringat bagaimana pada suatu malam hujan deras dan lelaki itu datang ke kedai; dia memesan cokelat panas dan keks keju, dan lelaki itu bilang, “Tolong cheesecake-nya dipanaskan ya, Manis.” (“Dia memanggilku ‘Manis’!” pikirnya.) Sementara mengenai “kue bikinan ibu”, yang timbul hanyalah kata “gurih” dan “marzipan”. Tak ada gambaran apapun mengenai kue itu sendiri atau ruang makan keluarganya. Ia bahkan tak tahu apa itu “marzipan”!
Ia menghela napas putus asa. Siapa pun yang menulis ceritaku ini, pikirnya, pastilah amatiran, dan kurang awas dengan detail.
Ia memutuskan untuk membaca, dan mengambil majalah wanita yang tergeletak di meja. Belum ada dua detik, ia langsung membelalak. Hanya ada putih polos di semua halaman. Apa maksudnya ini semua, pikirnya, ketimpangan dan ketidaksempurnaan ini? Apa guna mencipta apabila kau tak mampu mencukupi apa yang ciptaanmu butuhkan? Ia berharap penulisnya paling tidak masih ingat bahwa semua orang memerlukan cinta, semua orang, termasuk dirinya. Ia berharap seseorang telah dituliskan untuknya. Ia berharap ceritanya bukanlah kisah sedih yang diniatkan untuk menjaring pembaca-pembaca putus asa. Ia berharap ceritanya ditulis tanpa melibatkan alkohol.
 Ia merasa ia butuh istirahat, berpikir kegilaan ini akan berakhir apabila ia tidur cukup. Ia berharap-meski ia telah tahu ini mustahil-akan terbangun sebagai manusia biasa keesokan harinya. Ia pun izin pulang cepat. Ia melambai kepada Anton, dan berjalan meninggalkan kedai.
Di dalam bus, ia teringat malam nanti ada kuliah Kalkulus II dan Pengantar Kosmologi (ia mengambil kuliah ekstansi Fisika di kampus tak ternama dekat kosnya) tetapi merasa tak bersemangat. Ia mengirimkan pesan titip absen kepada teman sekampusnya.
Ia mencoba membayangkan rupa penulis yang menuliskan ceritanya itu. Apa dia laki-laki? Atau perempuan? Sepertinya laki-laki? Atau perempuan? Sepertinya laki-laki, pikirnya, kalau dia perempuan, aku mustahil bernasib semalang ini. Kalau dia perempuan aku tentu memiliki kesempatan kuliah layak, berpenghasilan sama dengan Anton, dan tidak terus-menerus memikirkan laki-laki-seolah hanya itu isu yang penting bagiku. Tetapi, apakah ia tampan dan orang-orang menyebutnya ‘penulis tampan’? Apakah aku menyukai warna hijau karena ia menyukai warna hijau? Apakah ia ramping, atau malah gemuk, seperti aku?
Apakah aku gemuk karena ia gemuk, atau ia gemuk karena aku gemuk?
Jangan-jangan ceritaku itu adalah sebuah karya autobiografis atau semi-autobiografis, pikir gadis itu, sehingga bisa jadi di atas sana, di balik awan, di balik bintang-bintang, di balik tepi-tepi dari semesta yang terus mengembang perlahan, ada seorang lelaki gemuk yang juga sering bangun subuh-subuh, lalu memeriksa telepon genggamnya dan hanya menemukan iklan operator, lalu bangkit karena hendak menyeduh kopi, tapi akhirnya urung karena ingat dia ingin menguruskan badan, kemudian juga teringat dengan seseorang yang membuatnya ingin menguruskan badan, dan lalu juga teringat dia tak bisa menemui seseorang itu meskipun sangat rindu, dan akhirnya sebagai pengalih perhatian dia menyalakan laptop, mencoba menulis sesuatu.
Barangkali lelaki itu sudah lama ingin menulis sebuah cerita metafiksi, dan pagi buta itu memulainya dengan: “Suatu subuh…”-lalu mungkin laki-laki itu tak sanggup menyelesaikan kalimat itu tak sanggup menyelesaikan kalimat itu, dan kemudian dengan putus asa dia memikirkan bahwa jauh di atas dunianya, di balik selimut atmosfer, di balik ribuan, jutaan komet dan asteroid,di balik tepi-tepi dari semesta yang terus mengembang perlahan, ada seorang perempuan gemuk menuliskan kisahnya, dan perempuan itu sama sepertinya: juga bangun subuh-subuh, juga memeriksa telepon genggamnya dan hanya akan menemukan iklan operator, juga…. Gadis itu memberhentikan bus di depan gereja dan berjalan menuju kosnya.
Gadis itu berpikir, semua ini, kehidupanku ini, adalah kesia-siaan, dan ada hanya karena seseorang yang kurang kerjaan.
Jika lelaki gemuk itu tak pernah mencoba lagi menulis cerita itu, pikir si gadis, aku tentu tak akan pernah ada dan tak harus mengalami ini semua. Gadis itu akan terus berada di dalam kepala lelaki itu, tak sadar mengenai keberadaan dirinya, seperti bayi di dalam rahim.
Ia kini penasaran mengapa ia tertulis sebagai seorang gadis gemuk dan bukannya lelaki gemuk, tetapi ia langsung sadar bahwa itu tak ada pengaruhnya-bila pun ada, tak signifikan. Apa bedanya gadis gemuk yang tak dicintai siapapun dari lelaki gemuk yang tak dicintai siapapun dari lelaki gemuk yang tak dicintai siapapun? Ia memasukkan anak kunci ke lubang pintu depan, dan kemudian masuk ke dalam kosnya.
Ia ingin pada ceritanya itu ia tak disebut sebagai “aku” karena “aku” begitu terbatas, tetapi sebagai “ia” atau-meskipun ini tak ideal-“si gadis gemuk”, dan ada seorang narrator tahu-segala yang mengatakan, “dan lelaki itu mencintai gadis gemuk itu diam-diam, dia mencintai gadis gemuk itu sejak kali pertama keks keju hangat bikinan gadis itu lumer di mulutnya, sejak ia menghirup teh hitam yang gadis itu seduh untuknya. Ketika kehangatan menyebar dilambungnya lelaki itu berpikir, Aku akan mencintai gadis ini sampai aku mati.”
Gadis itu menatap ke tangga di sebelah kiri kamarnya. Ibu kosnya selalu melarang ia naik ke sana. “Hubungan kita cuma ibu dan anak kos. Tidak lebih!” Ia ragu sebentar, tetapi kemudian mulai menaiki tangga itu, menikmati tiap-tiap tapaknya, dan tiba di lantai dua. Ia terpana. Ia menemukan dunia serba putih. Ia mencoba maju, namun menabrak suatu dinding tak terlihat. Dinding? Ia tertawa lama sekali. Ini bukan dinding, pikirnya, ini adalah Tak Ada, bagian semestaku yang belum/tidak lelaki gemuk itu tuliskan.
Gadis itu membayangkan ceritanya kelak diterbitkan di sebuah koran; dan di ujung kanan halaman, tepat di atas tempat dan tangan penulis cerita, ada sebuah untuk yang diikuti satu nama, atau bisa juga dua, Gadis itu tentu tak tahu nama-nama macam apa yang tertera. Barang kali Maria, Mario? Leona atau Leo? Dias (?) atau Dias (?) Entahlah. Tetapi ia tahu pasti ia ingin menjadi seperti teman-temannya di masa kecil yang berteriak Ayo! Ayo! Ayo! kepadanya  ketika lomba makan sayap ayam, membuatnya merasa sendirian. Ia hendak menyemangati si lelaki gemuk untuk menyelesaikan cerita itu, ceritanya, dengan harapan lelaki itu tahu dia itu tak pernah sendirian, dan agar pada akhirnya segala hal menjadi jernih, dan gadis itu tahu cerita macam apa yang didiaminya dan alasan ia dituliskan.
Untuk Leo dan Dias, yang akan berulang tahun

 KOMPAS, MINGGU, 8 FEBRUARI 2015


PENGUBURAN KEMBALI SITARESMI OLEH TRIYANTO TRIWIKROMO

PENGUBURAN KEMBALI SITARESMI
OLEH TRIYANTO TRIWIKROMO
SELAMA 50 tahun aku dipaksa menjadi bisu. Selama 50 tahun warga kampung mungkin sudah menganggap aku sebagai batu berlumut. Namun karena aku bersama puluhan anak muda tiba-tiba berniat membongkar gundukan menyerupai kuburan dan ingin memakamkan kembali siapa pun yang dibunuh dan dikubur di gundukan batu menyerupai makam di Bukit Mangkang, aku harus menceritakan kisah pembantaian konyol kepada 24 perempuan tangguh itu kepadamu.
Aku tak akan mengisahkan cerita lama kepada para penganggit kisah sepertimu. Aku tak akan bercerita tentang Lembulunyu dan 23 pasukan berani mati yang begitu ganas menyiksa para serdadu yang tersesat di hutan. Aku tak akan berkisah tentang perempuan-perempuan yang bisa berubah menjadi lembu-lembu terbang meskipun hujan terus-menerus menghajar rerimbunan pohon jati.
“Tetapi orang-orang sudah terlanjur percaya pada cerita lama. Orang-orang terlanjur percaya di Bukit Mangkang terkubur Lembulunyu bersama perempuan-perempuan tangguh yang setiap Kamis malam bisa dimintai nomor togel. Orang juga percaya Lembulunyu-yang bisa menghilang dan menyusup ke tubuh lembu paling tambun saat dikejar-kejar musuh-tak ditembak oleh serdadu, tetapi minum racun bersama 23 perempuan lain setelah sebelumnya mereka membunuh lebih dari 100 serdadu dengan menanduk lambung atau menginjak-injak kepala hingga pecah,” katamu.
“Kau percaya pada kisah konyol yang dihembuskan oleh para serdadu culas yang sedang mabuk itu?”
“Apakah salah percaya pada hal-hal yang menakjubkan? Bukanlah kisah-kisah para nabi di kitab-kitab suci juga menkjubkan?”
Masalahnya kita tak hidup pada zaman para nabi. Masalahnya kita tak hidup di kitab-kitab suci, di alam yang serba-ajaib. Karena itu, sebaiknya percayailah kisahku. Kisah tentang pembantaian dalang bernama Sitaresmi dan 23 perempuan lain yang kelak kau ketahui sebagai sinden dan penabuh gamelan itu.
“TAK semua orang akan percaya pada kisahmu. Kecuali jika….”
Kecuali jika aku menjadi saksi pembantaian itu bukan? Kurasa akulah satu-satunya saksi yang masih hidup. Waktu peristiwa itu terjadi aku berusia 17 tahun dan pandanganku-meski terhalang hujan yang turun terus-menerus-masih sangat waras. Aku masih remaja penasaran dan ingin tahu segala yang terjadi. Meskipun menyaksikan dengan gemetar, aku masih bisa membedakan siapa yang ditembak, siapa yang menembak. Aku masih bisa mergoki jip dan truk yang mengusung perempuan-perempuan malang yang hendak dibantai di tengah hutan, masih bisa menghitung  berapa tentara yang pethenthengan sebelum mereka menghajar kepala-kepala ringkih dengan gagang bayonet.
Kepala-kepala mereka, sebagaimana kepala kita, sungguh sangat ringkih. Tak ada yang tidak pecah saat dihajar popor tentara. Tak ada yang utuh dan tak berceceran-kecuali kepala Sitaresmi-saat dihantam beberapa peluru serdadu.
“Sitaresmi tidak bisa dibunuh saat itu?”
Dalang perempuan asal Kendal yang mahir mengoprolkan wayang dengan sabetan-sabetan sangat cepat itu sepertinya dilindungi oleh semacam semacam karet tak tembus peluru. Semua peluru mental dari tubuh.
“Apakah karet pelindungnya berlapis-lapis?”
Ya, karet pelindungnya berlapis-lapis. Kuharap kau tidak meledek kisah yang terdengar konyol ini. Aku tahu siapa pun akan sulit mempercayai kisah dalang perempuan tak tembus peluru. Aku tak peduli kau percaya atau tidak. Aku sekedar ingin mengatakan, hanya karena Sitaresmi dan 23 perempuan penabuh gamelan dan sinden selalu memainkan lakon Dewa Sampun Pejah, mereka dikejar-kejar serdadu. Mereka dianggap antek Gerwani. Mereka dianggap telah menghina Gusti Allah.
Kau tahu apa isi lakon Dewa Sampun Pejah? Ini hanyalah kisah biasa tentang Drupadi yang yang dilucuti pakaiannya di Istana Kuru oleh Dursasana. Kisah tak istimewa tentang penelanjangan Drupadi oleh Dursasana yang digagalkan Kresna. Saat itu Kresna menutupi tubuh Drupadi dengan bentangan jarit tak putus-putus sehingga tak seorang pun bisa menatap tubuh tangguh istri Yudistira itu.
“Ya memang bukan cerita yang luar biasa,” katamu, “Jadi, apa yang membuat Sitaresmi dikejar-kejar para serdadu?”
Tak ada yang luar biasa andaikata Drupadi dalam lakon itu tidak bilang, “Dewa telah mati. Ya, Dewa telah mati karena Dia-sebagaimana Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa-tak berkutik saat Dursasana dan Duryudana melecehkan aku. Di mana Dewa saat manusia-manusia utama di dunia tak sanggup menolongku?”
“Lalu, apa hubungan lakon itu dengan pembantaian di Bukit Mangkang?”
Tentu saja tidak ada. Akan tetapi pada Desember 1965 setiap alasan bisa digunakan untuk membunuh siapa pun yang dianggap musuh. Kau bisa membunuh orang-orang yang kau benci hanya dengan menuduh mereka bagai tukang santet. Kau bisa membunuh perempuan paling cantik dengan hanya menuduh dia sebagai penyebar agama sesat.
“Kau hendak memaksaku percaya bahwa Sitaresmi tidak bersalah?”
Tentu saja dia tidak bersalah.
“Kau juga ingin memaksaku percaya pada kisah kekebalan Sitarresmi?”
Aku tak membutuhkan persetujuan orang lain untuk mengisahkan apa pun yang terjadi pada Sitaresmi. Kau boleh tertawa keras-keras saat mendengarkan kisah bunyi klontang-klonthang yang berdentang teramat keras ketika para serdadu menghantam kepala Sitaresmi dengan popor senapan. Kau juga boleh tertawa saat kukatakan Sitaresmi tak lebih dan tak kurang adalah penjelmaan Dewi Sri-istri Batara Indra-yang tak akan bisa dibunuh oleh manusia sesakti apa pun.
“Baiklah, aku akan berusaha percaya,” katamu memancing, “tetapi apa yang sesungguhnya terjadi saat itu sehingga 24 perempuan harus dibantai dan dikuburkan secara paksa?”
Segalanya bisa begitu gampang terjadi gara-gara tak satu pun peluru serdadu bisa menembus tubuh Sitaresmi. Ini membuat Komandan Regu Tembak berang. Tak hanya marah-marah, dia kemudian meminta para penembak mengikat tubuh Sitaresmi di pohon jati.
“Kalau tak mati ditembak, tusuk saja lambungnya dengan bayonet!” teriak Komandan Regu Tembak memberi perintah.
Para penembak pun menusukkan bayonet ke tubuh Sitaresmi, tetapi hanya terdengar semacam benturan besi dengan besi.
“Tusuk matanya!”
Para penembak menusukkan bayonet ke mata, tetapi hanya terlihat semacam perisai cahaya yang menghalangi siapa pun menatap Sitaresmi menyaksikan tembang ”maskumambang”. Tembang berbunyi: kelek-kelek biyung sira aneng ngendi/ enggal tulungana/ awakku kecemplung warih/gulagepan wus mehpejah2 itu dinyanyikan lirih, tetapi entah mengapa bisa kudengarkan dengan sangat jelas.
Tetap tak bisa membunuh Sitaresmi, Komandan Regu Tembak rupa-rupanya tidak kehilangan akal. Dengan sigap, dia berteriak, “Jika salah satu dari kita tak bisa membunuh Sitaresmi, bukan tidak mungkin para sinden, yang mungkin tahu rahasia sang majikan, justru bisa dengan mudah menghabisi dalang sialan itu. Beri mereka belati. Suruh mereka menguliti tubuh Sitaresmi!”
Para penembak memanggil tiga sinden dan segera memberi mereka belati.
Tiga sinden tegang. Mungkin mereka gamang melukai perempuan kencana yang sangat mereka kasihi.
“Lakukan sekarang!” teriak Komandan Regu Tembak sekali lagi.
Di luar dugaan, tiga sinden itu berbalik ke arah penembak dan berupaya menusukkan belati ke dada para penembak. Tindakan konyol itu berakibat fatal. Para penembak lebih cepat melesatkan peluru ke tubuh para sinden. Daging-daging tubuh para sinden pun memburai. Darah mengucur di antara hujan yang terus mengguyur.
“Masih ada yang akan melawan perintahku?” kata Komandan Regu Tembak.
Tak ada yang berani menjawab. Tak ingin ada korban lagi, Sitaresmi memberi isyarat kepada para penembak agar mendekat. Aku tak bisa mendengarkan segala yang mereka perbincangkan. Aku hanya tahu tiba-tiba para penembak mengeluarkan seluruh peluru dari senapan dan mereka beramai-ramai mengencingi timah pembunuh itu.
“Apakah akhirnya Sitaresmi terbunuh oleh peluru yang sudah bersepuh urine para penembak itu?” tanyamu.
Apakah perlu kuceritakan?
“Tak perlu. Siapa pun akan mudah menebak apapun yang akan terjadi. Siapa pun akan akan menganggap kamu gila. Siapa pun akan menganggap ceritamu berlebihan.”
Aku tak peduli. Aku hanya ingin orang tak percaya lagi pada cerita tentang Lembulunyu dan lebih memilih mengisahkan kepada siapa pun kisah Sitaresmi.
“Dan itu tak mungkin terwujud. Kau akan berhadapan dengan orang yang tidak percaya pada kisahmu. Sebagian kisahmu memang bisa dianggap benar, sebagian yang lain sedikit keliru, sebagian lain, aku yakin, hanya terjadi di kepalamu. Kau tak bisa melawan mitos dengan mitos. Kau jangan terlalu percaya diri menganggap kau sebagai satu-satunya saksi. Bisa saja aka nada saksi lain yang akan menceritakan penembakan Sitaresmi dan 23 perempuan itu dalam versi lain.”
Aku tak peduli akan ada saksi lain atau tidak. Kalaupun ada saksi lain, mereka-yang dipaksa menggali makam dan mengubur mayat-mayat berserakan-toh sudah mati diberondong senapan.
Jadi, mengertilah, aku hanya ingin mengatakan kepadamu, tak ada gunanya lagi kisah ini ditutup-tutupi. Karena itulah, aku setuju ketika kau bersama Komunitas Rekonsiliasi Kanan Merah dan Kiri Putih akan membongkar makam dan menguburkan tulang-tulang mereka kembali dengan doa yang sebenar-benar doa. Dulu kami tak pernah bisa mendoakan mereka. Aku tahu membongkar makam berarti membongkar hal-hal lain. Membongkar kuburan ini sama saja membuat kuburan untuk orang-orang yang masih hidup. Bisa saja mereka yang terlibat dalam pembunuhan itu akan ganti dikejar-kejar serdadu, segera diadili dan bukan tidak mungkin juga ditembak mati.
Tidak! Tidak! Aku tak ingin para penembak itu dibantai layak anjing buruan. Setelah semua kisah kuceritakan kepadamu aku tak akan mau menjadi saksi bagi siapa pun. Aku akan membisu lagi. Aku hanya ingin menjadi saksi hidup bagi pembongkaran, penguburan kembali tulang-belulang, pengirim doa bagi para arwah, dan senyum manis Sitaresmi.
Senyum manis? Ya, sebab aku yakin setelah 50 tahun dikubur di bawah rerimbunan pohon jati, ketika semua tulang-belulang 23 perempuan lain membusuk dan merapuh, senyum dan tubuh Sitaresmi tak akan berubah. Tubuhnya tak membusuk. Tak ada lubang bekas peluru di tubuhnya yang berbau harum itu. Tak ada kulit yang disayat. Tak ada ulat yang menggerogoti. Tak ada…
Karena itu, segera salin seluruh kisahku. Aku akan membisu lagi. Aku tak akan berbicara lagi. Aku takut, seperti dulu, mereka memaksaku minum racun lagi…

KOMPAS, MINGGU, 1 FEBRUARI 2015
  


Sabtu, 07 Maret 2015

TENUNG
OLEH FANDRIK AHMAD
Kabar kematiannya menyebar sangat cepat, seperti angin yang berbuah badai dan merontokkan dedaunan. Barangkali kabar kematian tak secepat itu jika yang meninggal bukan si tukang tenung.
“Siapa yang meninggal?”
“Murtaep.”
“Murtaep tukang tenung itu?”
“Ya, betul.”
Di mana kabar itu singgah, dari muka segala arah, pembicaraan kerap bermuara pada perkara kesaktiannya. Tenung dan Murtaep bak gembok dan kunci. Tenung, ya, Murtaep, Murtaep, ya, tenung.
Malam masuk waktu Isya ketika tubuh Murtaep tak lagi hangat. Sebagian kerabat berdatangan sebelum mata lelaki dekil itu benar-benar terpejam. Murtaep meninggal secara wajar dan normal, tidak mendadak, apalagi misterius. Kematiannya tak seperti yang selalu ia koarkan pada penduduk.
Ramalan yang meleset itu, kematian Murtaep, semakin menjadi buah bibir.
Jauh hari Murtaep sudah mengabarkan perihal tanda kematiannya sendiri. Ia akan mati ketika pohon beringin di depan rumahnya tersambar petir. Tulangnya akan hangus bersama akar serabut beringin. Bagaimanapun Murtaep juga manusia. Bisa meramal, bukan penentu nasib.
Lebih tiga bulan lelaki itu tak bisa melakukan apa-apa kecuali tergolek kaku. Ia sudah tak lihai memainkan persendian. Makan dan minum harus disuap. Buang hajat sudah diranjang. Buang air tak pernah membilang.
Murtaep tidak sakit, hanya terlalu tua untuk hidup. Usianya seratus tahun lebih. Melihat usia yang terlalu senja untuk ukuran manusia sekarang, sebagian orang percaya betapa ia tak bisa mati kecuali ada petir menyambar beringin itu.
“Yang jelas usianya lebih seratus tahun. Seratus berapa, tidak ada yang tahu,” cerita Dulla pada Taris, cucunya.
Istri Murtaep seorang dukun beranak. Sapinah namanya.
“Perempuan itu yang memandikan anak kakek yang paling tua. Pamanmu, Aji,” kata Dulla.
“Dulu orang melahirkan tak secanggih sekarang. Bukan perkara gampang. Sakit harus benar-benar dilawan, bertaruh nyawa. Sekarang enak pakai operasi. Tinggal suntik, tak sadar, selesai,” sambung ibunya yang tiba-tiba sudah berdiri dengan sekantong beras.
Taris memiliki sambung keturunan dengan Murtaep dari keluarga garis laki-laki. Dulla adalah adik sepupu Murtaep.
Ayah Taris belum pulang. Ia memiliki jadwal piket di palang pintu kereta dan baru tiba di rumah jam Sembilan. Dulla mengajak Taris melayat duluan. Ibunya sudah berada di teras dengan sekantong beras untuk disedekahkan kepada keluarga duka.
Para pelayat berdatangan ke rumah duka membawa gula, rempah-rempah, mie instan atau beras. Mereka datang untuk menghibur dan mengurangi beban keluarga dan menjadi saksi atas kebaikan-kebaikan yang pernah dilakukan almarhum.
“Siapa yang bakal gantikan Murtaep, ya?”
“Kamu saja, bagaimana?”
“Hus, ngawur!”
“Lha, ’kan Cuma mutar kendi, lalu bertanya, siapa kamu, apa yang kamu minta. Mudah bukan?”
“Iya, ada benarnya juga tuh,” sindir yang lain.
“Kendinya bisa menjawab pertanyaan itu?”
“Tentu tidak. Kendi itu Cuma berputar-putar.”
“Lalu, bagaimana bisa ketahuan bila mahluk gaib itu minta nasi kuning, serabi, tajin…?”
“Ya, kamu harus buat sendiri jawabannya dan tawarkan pada kendi itu.”
“Maksudnya?”
“Kalau jawabmu benar, kendi itu akan berhenti berputar.”
“Oalaaah, kalau saya yang pegang kendi itu, saya tak akan menawarkan nasi kuning, sumpil, lemper, serabi, atau tajin.”
“Lalu apa?”
“Bisa yang lain yang lebih keren dan enak. Bisa panggang ayam, sate, soto babat atau makanan yang enak-enak lainnya… hahahahaha.” Orang-orang melempar pandangan di bawah terang bohlam yang menggantung, redup oleh asap cerutu.
Jenazah Murtaep jadi dikubur besok pagi, hasil musyawarah keluarga duka dengan tokoh masyarakat. Gerimis yang kembali turun menjadi pertimbangan. Taris dan Dulla pulang. Di rumah tidak ada orang. Sementara ibunya masih membantu urusan di dapur. Dalam perjalanan pulang, berlindung daun pisang, cerita renyah mengalir dengan narasi tak begitu rapi.
“Tak banyak yang memiliki kemampuan seperti dia,” mulainya.
Sudah lama Murtaep jadi tukang tenung; sejak menikah dengan Sapinah dan memiliki sebuah kendi. Tenung ala Murtaep berbeda dengan tenung yang biasa atau yang lebih dititikberatkan pada ilmu hitam untuk mencelakai orang. Tidak. Tenung Murtaep menjadi juru selamat di kampong itu. Banyak penduduk yang berobat kepadanya.
Murtaep hanya seorang pendatang biasa. Kelebihan membaca perkara gaib diketahui ketika seorang anak tetangga mendadak kejang-kejang. Tubuhnya menghitam. Matanya membelalak. Tangannya mencakar-cakar. Murtaep yang kala itu baru tiba dari sawah melihat keganjilan itu. Ia mendekati orangtua anak yang mukanya kacau panik, lalu mendekat pada anak yang-kata orang-ayan. Anak itu menyerangnya. Murtaep gesit menghindar. Pada kondisi yang sangat sigap dan cepat, tangannya menepok jidad anak itu dan roboh seketika.
 Perkara gaib yang terjadi sangat cepat itu membelalakan pasang mata. Anak itu tak lagi mengamuk. Murtaep berusaha menetralisir suasana. Berkoar betapa yang dilakukannya tadi sebuah usaha mengusir makhluk halus yang tertangkap di tubuh anak itu. Tak lupa ia membubuhi aksinya dengan usaha campur tangan Tuhan.
“Apa yang terjadi setelah itu, Kek?”
“Kau tak sabaran, Nak,” tukasnya tersenyum. ”Sejak saat itu Murtaep menjadi kepercayaan orang kampung. Banyak yang berdatangan kepadanya. Bertanya soal penyakit yang tak sembuh-sembuh sampai bertanya soal jodoh.”
Hal lain yang membuat Murtaep menjadi terpandang adalah kendi yang dipakai untuk tenung. Tempat air bercerat yang terbuat dari tanah air itu bukanlah sembarang kendi. Orang menyebutnya kendi tasoddul, milik perempuan hamil yang meninggal sebelum melahirkan. Konon, ruang dalam kendi itu berpenghunikan arwah bocah yang mati sebelum lahir.
“Arwah bocah yang mati sebelum lahir dipercaya dapat membaca perkara gaib. Arwah bocah itu diibaratkan sehelai kapas putih tanpa noda.”
“Kapas putih?”
“Ya, bayi yang baru lahir ibarat kapas putih, Nak. Bersih tanpa noda dosa.”
Selain sebagai wadah minuman, kendi juga dipakai sebagai pelengkap kuburan. Benda itu diletakkan di bagian kepala nisan. Isinya air yang juga dipakai peziarah untuk menyiram aneka kembang yang ditabur di atas jarak kedua nisan.
Murtaep memiliki penyakit semacam orang yang susah tidur. Malam-malam kerjanya melek seperti burung hantu. Kalau tidak punya jadwal ronda, kerjanya main domino. Kalaupun sudah merasa lapar, ia dan teman sepermainannya tinggal membuat api unggun, menyeduh air, membuat kopi, atau memanggang singkong.
Suatu malam, di pos ronda, sangat kebetulan sekali, hanya Murtaep semalaman duduk sangkil. Tak ada teman ternyata kantuk bisa juga datang kepelupuk matanya. Atau barangkali saja lelaki itu kecapaian karena seharian mencangkul tegal.
 Ia tidur sebentar dan bermimpi samar-samar: perempuan, bayi, tangis, nisan, kemboja, dan kendi. Ia tak tahu harus ditafsirkan macam apa mimpinya. Satu hal yang ada di pikirannya, bila ada perempuan hamil meninggal dengan anak masih dalam kandungan, akan ada banyak orang yang menginginkannya. Semua orang tahu betapa kematian semacam itu, anak dalam kandungan bisa dibuat jimat kekebalan atau ritual menjadi kaya. Cerita ini memang sudah melegenda, tidak hanya Murtaep yang tahu.
Mimpi itu tak menunggu lama untuk menjadi nyata. Sebelum matahari menyembul, penduduk dihebohkan kematian Sumiati. Perempuan yang ditinggal suaminya menjadi TKI itu meninggal dengan perut membuncit tujuh bulan. Murtaep dan kawan seronda lainnya sadar, urusan berjaga-jaga bertambah berat, apalagi kalau bukan kematian tasoddul itu. Banyak yang akan menginginkan kuburan Sumiati, sebelum kuburan itu genap 41 hari.
Hal yang tak diinginkan terjadi sebelum kuburan Sumiati 41 hari. Ada yang membongkar kuburan itu. Jenazahnya hilang! Peronda kecolongan. Sepasang tatapan saling menaruh curiga. Siapa yang tak ingin kaya?
“Bagaimana Murtaep memiliki kendi itu, Kek?” Tanya Taris.
“Entahlah, katanya kendi itu datang sendiri kepadanya.”
Tujuh hari pemakaman Murtaep tuntas, sanak saudara sudah pulang dari rumah duka, termasuk Taris dan keluarganya. Rumah kembali sepi. Pada posisi seperti ini, sangat baik bagi kenangan datang bertandang.
Setiap keluarga pasti setidaknya mempunyai satu buah benda keramat yang menjadi pusaka dan diwariskan turun-temurun. Pikiran seperti itu merangsang Silus merasa paling berhak mewarisi kendi itu. Ia lelaki tunggal dari tiga bersaudara. Bukankah dalam proposisi tertentu lelaki lebih diunggulkan daripada perempuan?
Ayam baru berkokok sekali. Silus melihat melihat kendi itu menggantung di langit-langit kamar tempat terapi Murtaep. Leher kendi terlilit kawat. Ia mengambil kendi itu dan memutarnya sebagaimana yang dilakukan oleh ayahnya. Poros atas dan poros bahwa kendi diseimbangkan dengan kedua jari telunjuk. Sementara telunjuk yang lain memutar kendi itu.
Dicobanya, tidak bisa.
Dicoba lagi, tidak bisa.
Dicoba lagi, tetap.
Sisa kesabaran berdengus. Silus membanting kendi yang tak mau berputar. Prang! Kendi hancur berkeping berserak di lantai. Silus keluar dari kamar yang gelap. Tangannya menutup daun pintu cukup keras.
Sulastri yang lelap di kamar, seketika terbelalak mendengar suara itu. Ia hendak mengadu, namun Silus sudah tak ada di sampingnya. Ia yakin suara yang didengar tadi bukanlah kembang tidur, tapi entahlah, dari mana suara itu datang.
Langkahnya bergegas ke dapur. Pikirannya awas pada seekor kucing milik tetangga yang sangat blenger. Sekali mencium aroma daging, pasti selalu mengintip. Sulastri was-was kucing belang itu memakan sisa ikan sapi hari ketujuh wafat Murtaep. Sulastri tak menemukan apa-apa. Ia mengecek ruangan yang lain, taka da tanda-tanda barang pecah. Di kamar yang digunakan mertuanya, ia juga tak melihat tanda kegaduhan ataupun barang yang berserak. Hanya saja wajahnya tampak heran melihat kendi berada di lantai.
Sulastri mengembalikan kendi itu ke tempat semula, menggantungnya di langit-langit kamar. Bila suaminya ketemu, ia ingin bertanya beberapa hal: tentang suara itu dan siapa yang meletakkan kendi di lantai.

KOMPAS, MINGGU, 25 JANUARI 2015

Selasa, 24 Februari 2015

TENGGAT WAKTU
OLEH DJENAR MAESA AYU
Seantero mal dibelai alunan lagu Natal nan syahdu. Di sana-sini menjuntai kertas hias dan lampu-lampu. Beberapa sudut plaza pun disulap menjadi taman salju. Lengkap dengan patung rusa yang tengah menarik kereta kayu. Pohon natal raksasa menjulang tinggi seolah sedang berdiri mengerami kotak-kotak kado berpita dan kartu-kartu.
Ho..ho..ho…. Selamat Natal dan Tahun Baru!” teriak seseorang dari balik baju Santa. Para orangtua dengan sigap mengeluarkan kamera atau ponsel pintar dari dalam tas mereka. Anak-anak dipaksa mendekat dan bergaya. Ada yang secara otomatis menempelkan kedua telunjuk ke pipinya. Ada yang mengedipkan satu matanya. Lantas hasil jepretan kamera itu dijamin langsung bisa disaksikan di sosial media. Dengan segala judul yang mencerminkan kebahagiaan keluarga mereka. Tak ketinggalan menyebutkan lokasi di mana mereka mengambil gambar itu, yang tak lebih untuk menunjukkan jika mereka adalah keluarga berada.
Di kafe yang tepat berada di seberang taman salju itu, Nay duduk menghadap ke laptopnya. Ditenggaknya dingin bir dari dalam kaleng yang keringatan lalu menghisap dalam-dalam rokok putihnya sambil sesekali memerhatikan sosok Santa di seberang kafenya. Sudah tiga kaleng bir habis selama satu jam berada di kafe itu. Sudah berkali-kali pula pelayan kafe menukar asbak yang dipenuhi bangkai puntung rokok dengan asbak yang baru. Tapi layar laptopnya tetap kosong. Dan dari layar kosong laptopnya itu terpantul wajahnya yang sedang bengong.
Sebenarnya Nyata tidak pernah suka pergi ke mal. Selalu merasa jengah ia ditengah orang-orang yang dibungkus pakaian mahal. Selalu merasa asing ia di tengah orang-orang yang menutupi wajahnya dengan tata rias tebal. Sementara dirinya hanya memakai kaos oblong dengan sandal.
Tapi memang tidak ada yang lebih sialan ketimbang tenggat waktu. Artikel tentang pengunjung mal masa kini harus diselesaikan seminggu sebelum tahun baru. Ia sudah meminta kepada editornya untuk menulis artikel lain. Cuma editornya bersikeras jika Nay lah orang yang paling tepat untuk menuliskannya, tidak ada yang lain!
“Kamu kan gak suka pergi ke mal, karena itulah justru kamu yang paling cocok bikin artikel ini. Kamu pasti jauh lebih sensitif melihat apa yang ada di depan matamu ketimbang orang yang biasa ke mal.”
Nayla mengalihkan pandangannya dari layar laptop dan menyapu seluruh penjuru kafe. Kafe itu dipenuhi orang-orang dengan penampilan perlente. Dan meja pun berubah menjadi etalase. Berjejer ponsel pintar keluaran terbaru. Tak ketinggalan tas maupun dompet merk ternama yang harganya bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah meski entah benar-benar asli atau palsu. Setiap kali pelayan datang membawa pesanan makanan, pasti makanan itu difoto lebih dulu. Lantas mereka sibuk dengan ponselnya masing-masing. Mereka bersama namun bagai orang asing.
Cukup bagi Nayla untuk merangkum semua yang terjadi di mal hanya dengan duduk di satu kafe, sebenarnya, cukup bagi Nayla untuk menyelesaikan artikelnya tak lebih dari dua jam tanpa perlu terlebih dahulu minum berkaleng-kaleng bir hingga terbengong-bengong di depan layar laptopnya. Tapi pikirannya sedang tidak ada di sana. Pikirannya tertancap pada sosok Santa yang sedang berfoto dengan anak-anak di seberang kafenya.
“Ho…ho…ho…. Selamat Natal dan Tahun Baru!”
Nayla segera terbangun dari tidurnya. Matanya memicing akibat silau sinar lampu yang dinyalakan tiba-tiba. Di depannya sudah berdiri Santa. Berperut buncit, berjanggut putih, dengan baju dan topi merah menyala. Tangan Santa memegang sebuah kotak kado berpita merah menyala juga. Dengan tak sabar Nayla segera menerima dan membukanya.
“Ho…ho…ho…. Selamat Natal dan Tahun Baru, Nayla!” teriak Santa sebelum pergi. Nayla sudah tak menggubrisnya lagi. Ia sudah benar-benar penasaran dengan apa yang ada di dalam kotak kado berpita merah menyala di tangannya. Tapi alangkah kecewanya Nayla saat kotak kado itu terbuka. Di dalamnya hanya ada sebuah ponsel baru. Tidak ada apa yang ia mau.
Nayla menangis di atas tempat tidurnya. Tak lama kemudian terdengar suara pintu pelan-pelan di buka. Ayahnya muncul dengan masih mengenakan piyama. Di matanya terpancar kekecewaan yang sama besarnya dengan kekecewaan yang Nayla rasa. Mereka duduk berdampingan tanpa mengatakan sepatah kata pun. Semalaman seperti itu hingga tertidur dalam posisi duduk yang sama dengan sebelumnya.
Nayla menutup laptopnya. Sudah tidak kuasa lagi ia membendung sesak yang seakan ingin meledak di dalam dadanya. Ia pun mencoba memanggil pelayan yang sedang sibuk melayani permintaan pengunjung yang ingin difoto bersama. Bukan cuma satu kali. Namun berkali-kali. Jika hasilnya tidak memuaskan, mereka minta diulang lagi. Itu pun tidak dengan satu kamera. Tapi setiap kamera yang orang-orang bawa. Alhasil Nayla harus menunggu lebih lama.
Akhirnya Nayla menarik menu. Dicermatinya harga yang tertera untuk membayar tiga kaleng bir yang dipesannya selama di kafe itu. Seratus lima puluh ribu kurang sedikit dengan total yang harus ia bayar di luar pajak dan service. Dikeluarkannya dua lembar seratus ribuan dengan hati miris. Ditinggalkannya uang itu di atas meja sebab para pelayan masih sibuk melayani permintaan foto bersama tak ubahnya turis.
Nayla menyeret kakinya berjalan seantero mal yang dibelai alunan lagu natal nan syahdu. Di sana-sini menjuntai kertas hias dan lampu-lampu. Beberapa sudut Plaza pun disulap menjadi taman salju. Lengkap dengan patung rusa yang tengah menarik kereta kayu. Pohon natal raksasa menjulang tinggi seolah sedang berdiri mengerami kotak-kotak kado berpita dan kartu-kartu.
“Ho…ho…ho…. Selamat Natal dan Tahun Baru!” teriak seseorang dari balik baju Santa yang tiba-tiba sudah berdiri di depannya. Mereka saling bertatapan sebentar saja. Mata yang ditatapnya itu, bukan mata yang bahagia. Mata yang letih meski bibirnya harus senantiasa mengeluarkan suara tawa. Mata yang kecewa. Mata ayahnya. Mata yang membuatnya merasa harus merasa harus keluar dari mal segera.
“Kalau kamu berkelakuan baik, kamu minta apa pun ke Santa, Nay. Pasti permintaanmu dikabulkan.”
“Bagaimana cara memintanya?”
“Tulis surat saja dan masukkan ke dalam kotak pos.”
“Alamatnya?”
“Tidak perlu alamat. Santa pasti menerimanya. Tapi kamu taruh dulu sehari di bawah bantalmu ya.”
Kalimat percakapan dengan ayahnya itu seolah diantar angin yang menerpa wajahnya saat keluar dari pintu lobi. Mobil-mobil mewah dengan sopir pribadi terlihat bagai antrian semut yang panjang sekali. Dari setiap pintu mobil yang terbuka, muncul tubuh yang keluar berjalan berlenggak-lenggok bagai peragaan busana. Dengan rambut hasil salon yang tak akan berubah bentuk meski angin mengguncangnya. Petugas keamanan yang bertugas memeriksa isi tas mereka tak digubrisnya. Mereka merasa cukup memperlihatkan tas mahalnya tanpa sudi terlebih dahulu dibuka.
Nayla terus melangkah menuju antrian taksi. Ia ingin secepatnya pergi meninggalkan Mal yang bising oleh suara sunyi. Kalau bisa, ia pun ingin memutar waktu kembali. Tak lupa memasukkan surat ke dalam kotak pos agar Santa menerimanya. Tak membiarkan surat itu lebih dari sehari di bawah bantal sehingga terbaca ayahnya.
“Selamat Natal, Ayah.”
Nayla mengecap kedua pelupuk mata ayahnya yang terpejam. Dicabutnya janggut putih yang masih menempel di dagu ayahnya yang berbentuk runcing tajam. Dicopotnya topi warna merah menyala yang masih menempel di kepala ayahnya yang tak lagi berambut hitam. Dimatikannya lampu lalu memeluk tubuh ayahnya di dalam kelam.
Kenangan menjalar hangat di dalam tubuh mereka. Memijar sejuta warna dan hiasan di seluruh sudut rumah yang sederhana. Terekam abadi dalam pigura hati meski tak dijepret kamera.
“Saya mau Ibu.” Demikian surat untuk Santa yang Nayla tulis dulu.
Saya mengetik kalimat terakhir artikel tentang Nayla yang sudah hamper di penghujung tenggat waktu.

KOMPAS, MINGGU, 21 DESEMBER 2014   


Rabu, 18 Februari 2015

PENJOR
OLEH I WAYAN SUARDIKA
Kerumunan kecil di bale banjar itu perlahan menyusut ketika melihat I Beneh dari kejauhan. Hanya tinggal dua orang yang masih bertahan di situ ketika I Beneh benar-benar sampai di bale banjar. Seorang dari mereka menyapa lelaki itu. Tapi I Beneh tak ambil peduli.
Perhatian lelaki itu lebih mengarah pada sebatang penjor[1] yang berdiri menjulang dengan ujung melengkung ke bawah. “Ada yang salah pada penjor itu,” katanya, lebih kepada dirinya sendiri.
“Apanya yang salah, Nang[2]?”
I Beneh menoleh kepada orang yang bertanya itu, memandangnya sinis dan tajam. “Percuma aku jelaskan! Potong kupingku kalau kau mengerti penjelasanku. Tahumu Cuma tajen[3] dan mamitra[4]!”
Seseorang yang dihardik itu Cuma tersenyum masam. Ketika I Beneh melangkah menjauhi mereka menuju sebatang penjor yang berdiri depan rumah seorang warga desa dekat bale banjar itu, barulah dua orang itu berani menggerutu.
Jelema[5] stres!”
“Baru namanya I Beneh, belum tentu beneh[6]!”
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa banyak yang tak menyukai I Beneh. Pembawaan lelaki paruh baya itu sering melukai orang-orang. Semua orang di desa itu dianggapnya dungu. Semua hal dianggapnya berlangsung salah. Aneh bahwa sejauh itu orang tak berani membantah I Beneh. Mereka hanya berani membantah dan menggerutu di belakang punggung lelaki itu.
Mungkin karena mereka menganggap I Beneh pernah bersekolah tinggi di kota, dan meskipun tidak tamat, namun orang terlanjur menganggap ia pintar, merasa sebagai orang kota yang kembali ke desa dan juga omongannya tinggi, banyak istilah-istilah yang tak dimengerti oleh orang desa dan dia juga mengaku mengenal banyak orang-orang penting yang sering kelihatan di acara-acara berita di TV.
Di sisi lain, mereka juga terpaksa mengakui kalau I Beneh banyak tahu tentang persoalan adat, agama dan masalah desa. Jika berlangsung mebat[7] di bale banjar atau di rumah warga yang mempunyai hajatan adat, maka I Beneh akan mengambil bagian pekerjaan yang paling sulit, misalnya memotong babi dan dari mana harus memulai mengirisnya kemudian membagi-bagi dagingnya berdasarkan keperluan upacara. Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa mengambil pekerjaan ini, termasuk yang paling diperhitungkan ialah I Beneh!
Prajuru[8] adat juga malas melangsungkan rapat jika dilihatnya I Beneh hadir dalam rapat itu. Jika tidak mengkritik, maka dia akan berbicara panjang lebar tentang bagaimana seharusnya pembangunan desa berjalan, pendidikan anak dikedepankan, memandirikan desa dengan memajukan koperasi, membangun kesadaran politik agar masyarakat desa tak mudah diperdaya dan memiliki daya tawar politik dan seterusnya.
Belum pernah ada yang berani membantah I Beneh.
Tetapi bagi orang-orang di desa itu, I Beneh adalah orang setengah gila, sok pintar dan stres. Setengah dari percakapan mereka di warung kopi, di sawah, sungai menjelang mandi atau ngobrol santai di bale banjar, adalah tentang I Beneh. “Ngomongnya galak di kampong sendiri, tapi waktu rapat di kantor camat, dia malah bungkam!” gerutu seorang prajuru adat dalam suatu obrolan di warung kopi samping bale banjar.
Memasuki hari penampahan[9] Galungan, orang-orang sibuk membuat penjor. Kebanyakan penjor mulai digarap saat penampahan sehari sebelum memasuki Galungan. Tapi tak masalah juga jika penjor dibikin dua tiga hari sebelumnya. Penjor dibuat dari batang bambu panjang yang ujungnya makin meruncing ke bawah. Sepanjang pokok bambu dihiasi dengan gulungan-gulungan janur melajur ke atas hingga sampai ke ujung bamboo yang melengkung. Di pokok bambu setinggi 2-3 meter dari tanah, berimbun segala daun, beberapa ikat padi dan kelapa yang ditata sedemikian rupa mengembang indah dan menyenangkan dilihat.
Sebatang penjor dilengkapi dengan sanggah cucuk[10] yang berfungsi sebagai tempat sesajian dan persembahan suci. Pada bagian dasar anyaman segitiga diselimuti kain kuning. Pada bagian dasar anyaman segitiga diselimuti kain kuning. Pagi di hari Galungan besok, sanggah cucuk itu akan dipenuhi baten[11], dupa dan persembahan lainnya. Hari penampahan adalah rangkain paling terakhir dari serangkaian panjang sebelum sehari berikutnya memasuki hari suci yang dinanti-nanti: Galungan!
Pagi masih berkabut di desa itu. Tapi kesibukan dan suasana hari suci Galungan sudah sangat terasa. Gaung gamelan dari pengeras suara berkumandang ke plosok desa, beberapa perempuan dan anak-anak sudah mengenakan pakaian adat, aroma banten dan dupa menyemarakan jalan-jalan lebar di desa.
Kesibukan paling tinggi di hari Galungan memang terjadi di pagi hari sebelum melewati tengah hari. Persembahan dan persembahyangan biasanya sangat ramai pada pukul sembilan pagi. Jalanan umum jauh lebih lengang dari hari biasa, dan jika ada kendaraan biasanya juga untuk kepentingan menuju ke pura desa atau pura dadia[12], atau ketempat-tempat yang dipandang suci.
Tapi ada pemandangan sedikit ganjil pagi itu. Semua orang-orang tak terlalu ambil peduli karena mungkin mereka lebih khusyuk pada kegiatan persembahyangan dan persembahan untuk hari Galungan. Namun menjelang siang, terutama saat orang-orang sudah selesai bersembahyang, satu dua orang mulai berkerumun, mempercakapkannya dengan rasa heran.
Keganjilan itu ialah penjor depan rumah I Beneh. Tak sebagaimana bentuk sosok penjor pada umumnya, penjor depan rumah I Beneh itu tegak lurus dan sama sekali tak ada lengkungan ke bawah di ujung penjor. Penjor itu sepenuhnya tegak lurus. Selebihnya, kaidah penjor yang lain dipenuhi.
Kerumunan itu makin membesar dan mengelilingi ‘penjor tegak lurus’ itu. Dan berbagai komentar pun mengemuka.
“Ini penjor atau umbul-umbul menyerupai penjor?” tanya seseorang.
“Ini tidak benar. Penjor harus ada lengkungan di atasnya karena itulah yang kita sebut penjor,” ujar yang lain.
“Badah, Galungan bisa leteh[13] karena penjor yang tak sesuai aturan!”
“Ini pasti kerjaan Nang Beneh!”
Makin riuh komentar-komentar dan mereka akhirnya sampai pada nama I Beneh. Penjor itu berdiri tegak di muka rumah lelaki yang mereka kenal sebagai orang setengah gila, sok pintar dan stres itu.
“Dasar jelema buduh[14]!”
“Stres!”
“Merasa paling benar!”
Ketika kehebohan makin sengit, dan guna mencegah kejadian yang tak diinginkan, prajuru adat dan beberapa pengelingsir[15] desa mendatangi I Beneh di rumahnya.
I Beneh ditegur secara kekeluargaan, diceramahi, dinasehati, bahwa sesuatu adat yang telah berlangsung turun-temurun adalah warisan yang harus diteruskan karena dasar kearifannya ada. “Kami tahu Nanang adalah orang pintar, dan kami juga tahu Nanang sangat…sangat mengerti mengapa Nanang membikin penjor yang tak lazim itu. Tapi mohon juga dipahami bahwa kami sekalian adalah orang-orang desa, orang-orang sederhana yang terlalau mudah terperanjat oleh hal-hal baru yang tak dapat kami mengerti. Kami meminta Nanang memahami itu,” kata salah seorang prajuru adat.
Orang-orang mengira I Beneh akan melakukan serangan balik dengan bantahan-bantahannya yang sengit sebagaimana yang mereka lihat di hari-hari kemarin di berbagai situasi. Namun kali ini mereka melihat I Beneh hanya diam dan menyerangai tipis.
“Jadi, kami dengan rasa kekeluargaan memohon maaf kepada Nanang jika sebentar lagi penjor Nanang akan kami cabut,” lanjut prajuru adat yang nampaknya menjadi juru bicara di antara prajuru adat itu.
Namun salah seorang pengelingsir desa yang dari tadi diam saja akhirnya juga ingin tahu apa yang menjadi alas an I Beneh membikin penjor tegak lurus itu.
  Ketika ditanyakan hal itu, I Beneh tak segera menjawab. Ia diam cukup lama dengan seringaian yang tak pernah lepas dari bibirnya.
“Mengapa, Neh? Mengapa kau bikin penjor seperti itu?” desak pengelingsir desa itu ingin tahu.
“Menurut aku, seluruh penjor seharusnya tegak lurus,” sahut I Beneh akhirnya. “Menurut aku juga, penjor yang tegak lurus mencerminkan juga makna Galungan. Kita semua tahu mengapa Galungan dirayakan, yaitu karena kita merayakan dan mensyukuri kemenangan dharma atas adharma. Dharma ialah kelurusan hati, lurus pada hal-hal tulus, kebaikan, jalan murni hati nurani menuju Hyang Widhi[16]. Penjor tegak lurus menjulang ke langit karena kita semua ingin menuju kepada-Nya…Dia Yang di Atas.”
Semua diam dan mendengarkan.
Dan I Beneh kembali menjelaskan arti penjor menurut jalan pikirannya sendiri dengan penuh semangat.” …bukan tak mungkin pula pendahulu kita membuat penjor dengan memanfaatkan bambu yang utuh dengan membiarkan lengkungannya tetap ada lalu kemudian baru dibikin artinya …”
Apa pun penjelasan dan pembelaan I Beneh, namun di ujung pertemuan, penjor bikinan I Beneh tetap saja dicabut.
 Dan orang-orang bersorak-sorai.
I WAYAN SUARDIKA
Selain menulis novel dan cerpen, ia juga dikenal sebagai kurator dan penulis seni rupa. Sampai kini tinggal di Denpasar, Bali.
[1] Penjor = Hiasan bambu dengan janur, dedaunan, padi dan buah-buahan, dibuat sedemikian rupa sehingga Nampak sangat indah. Penjor dibuat biasanya menyertai hari raya suci Galungan. Penjor dimaknai sebagai gunung atau Naga Basuki.
[2] Nang = Pak, dari kata nanang = bapak
[3] Tajen = sabungan ayam
[4] Mamitra = selingkuh
[5] Jelema = orang
[6] Beneh = betul, benar
[7] Mebat = menyiapkan segala jenis makanan untuk persembahan atau untuk penjamuan, biasanya dikerjakan oleh kaum lelaki di Bali secara gotong royong.
[8] Prajuru = pengurus
[9] Penampahan = rangkaian dari hari raya Galungan. Penampahan dirayakan sehari sebelum Galungan, dimaknai sebagai kegiatan penyembelihan hewan, umumnya babi, juga ayam atau bebek, sebagai persembahan perayaan hari raya Galungan.
[10] Sanggah cucuk = tempat sarana sesajian dan persembahan suci, dibuat dengan bahan serba bambu, berbentuk anyaman longgar segitiga yang ditopang oleh pokok bambu kurus kecil.
[11] Benten = sarana suci yang pada umunya dibuat dari daun janur dan berbagai bunga disertai dupa
[12] Dadia = sehimpunan kepala keluarga
[13] Leteh = kotor
[14] Jelema buduh = orang gila
[15] Pengelingsir = tokoh, orang yang dihormati, orang yang dituakan
[16] Hyang Widhi = Tuhan Yang Esa


KOMPAS, MINGGU, 18 JANUARI 2015

Minggu, 08 Februari 2015

KOPI DAN CINTA YANG TAK PERNAH MATI

OLEH AGUS NOOR


Kebebasan selalu layak dirayakan. Maka selepas keluar penjara, yang diinginkan ialah kopi. Hanya di kedai kopi ini ia bisa menikmati kopi terbaik yang disajikan dengan cara paling baik.
Ada orang-orang yang bersikeras mempertahankan kenangan, dan kedai kopi ini seolah diperuntukan bagi orang-orang seperti itu. Nyaris tak ada yang berubah. Meja kursi kayu hanya terlihat makin gelap dan tua. Yang dulu tak ada hanya poster bergambar siluet wajah lelaki berkumis tebal, yang terpasang di dekat jendela. Ada tulisan bawah poster itu, seperti larik puisi. Pada kopi ada revolusi, juga cinta yang tak pernah mati. Ia tersenyum. Sejarah memang aneh: dulu lelaki itu pembangkang, kini dianggap pejuang.
Beberapa orang di kedai kopi langsung menatap tajam saat ia masuk. Ia mengenali beberapa dari mereka, para pembangkang yang sejak dulu memang selalu berkumpul di kedai kopi ini. Ia tetap tenang. Apa pun bisa terjadi. Mungkin seseorang akan menyerangnya. Sepuluh tahun dalam penjara membuat kewaspadaannya makin terasah. Ia meraba pistol di balik jaket. Sekedar berjaga. Kita harus berhati-hati menghadapi kebencian, batinnya, saat menatap anak muda penyaji kopi yang terus memandanginya. Mata itu mengingatkan pada mata laki-laki yang dulu dibunuhnya. Umur anak muda itu baru 11 tahun saat bapaknya mati. Kini terlihat seperti banteng muda yang siap meluapkan dendamnya. Pemuda itu mengangguk pelan saat ia memesan.
Panas udara siang membuat aroma kopi terasa semakin kental. Tak akan pernah dilupakannya harum kopi yang menentramkan ini, seolah aroma itu dicuri dari surga. Ketika ditugaskan ke kota ini, komandan memberi tahu, agar tak melewatkan kedai kopi ini dari ‘daftar yang harus dikunjungi’: Kedai kopi yang menyediakan kopi terbaik. Kedai kopi yang bukan saja istimewa, tetapi juga berbahaya.
Bertahun lalu, ia dikirim ke kota ini  untuk menghabisi seorang pembangkang yang dianggap berbahaya bagi Negara. Saat itu demonstrasi nyaris meledak setiap hari. Kota ini menjadi kota yang selalu rusuh oleh gagasan gila perihal kemerdekaan. Para pesuruh itu, begitu tentara menyebut, tak hanya bergerak di hutan-hutan, tapi juga menyusup ke kota, menyerang pos keamanan atau menyergap pasukan patrol kemanan. Tentara melakukan pembersihan. Puluhan orang ditangkap, diculik dan tak pernah kembali. Ada peristiwa yang tak akan dilupakan oleh penduduk kota ini, ketika suatu hari tentara mengeksekusi delapan anak muda di perempatan pusat kota. Mereka diseret, dibariskan satu per satu, kemudian ditembak tepat di kepala. Kekejian seperti itu terkadang diperlukan untuk menciptakan ketakutan. Tapi siapa yang bisa membunuh gagasan? Kepala bisa ditembak sampai pecah, tetapi gagasan akan terus hidup dalam kepala banyak orang. Peristiwa itu mendapat protes keras, dan makin memicu perlawanan. Amnesty Internasional menekan pemerintah pusat. Saat operasi militer dianggap tak lagi efektif, ia pun dikirim.
Sebagai agen intelijen terlatih ia pun dengan cepat mengetahui, bagi orang-orang di kota ini kedai kopi bukan sekedar tempat untuk menikmati kopi. Hampir di setiap jalan di kota ini selalu ada kedai kopi. Rasanya tak ada penduduk kota ini yang tak menyukai kopi. Di kedai kopi waktu seperti berhenti. Orang bisa sepanjang hari duduk di kedai kopi untuk berkumpul, berbual atau menyendiri, mempercakapkan hal-hal rahasia, kasak-kusuk perlawanan, juga tempat paling tepat untuk menyelesaikan masalah. Pertengkaran bisa diselesaikan dengan secangkir kopi. Semua informasi di kota ini akan dengan mudah didapatkan di kedai kopi.
Dari informasi yang dimiliki ia mengenali lelaki yang mesti dihabisi. Yang dianggap musuh negara paling berbahaya ternyata bukan seorang berpawakan kekar, yang hidup berpindah-pindah dalam hutan memimpin gerilyawan, dank arena itu tentara tak pernah berhasil menangkapnya. Orang yang dicarinya itu hanya bertubuh kecil, nyaris kurus, berkulit gelap, rambut agak ikal. Ia terlihat keras, tetapi selalu berbicara dengan intonasi santun. Jadi inilah orang yang selalu menghasut anak-anak muda untuk melakukan perlawanan dan menuntut kemerdekaan. Dia hanya penyaji kopi.
    ANAK muda penyaji kopi itu telah berdiri di dekatnya, menyodorkan secangkir kopi yang sedikit bergetar ketika diletakkan di meja. Ia tahu anak muda itu gugup, tetapi berusaha mengendalikan emosinya.
“Ini kopi terbaik yang kusajikan untukmu yang di dalamnya tersimpan rahasia, yang hanya bisa kau ketahui setelah kau meminumnya.” Anak muda itu menatapnya. “Tapi aku tak yakin, apakah kamu berani meminumnya habis.”
Di luar, jalanan ramai lalu lalang kendaraan. Klakson angkot, knalpot sepeda motor meraung kencang. Lagu dangdut terdengar dari kedai kopi seberang jalan. Tapi ia merasakan suasana begitu sunyi di kedai ini. Semua orang dalam kedai terdiam dan memandang ke arahnya, seolah berharap terjadi perkelahian seru.
“Duduklah,” akhirnya ia berkata. “Seperti yang selalu dikatakan orang-orang di kota ini, mari kita selesaikan semuanya dengan secangkir kopi.”
“Seperti ketika kamu menghabisi ayah aku!”
Terdengar kursi bangku digeser, dan anak muda itu duduk. Lagu dangdut masih terdengar dari kedai seberang: Tuduhlah aku, sepuas hatiiimuuuu, atau bila kau perlu bunuhlah akuuuu…
“Kau pasti membenciku,” Ia menghisap rokok dalam-dalam.
“Untuk apa membenci seorang pengecut. Pengecut lebih pantas dikasihani.”
“Kalau kukatakan aku bukan pembunuh ayahmu, pasti kau tak percaya. Tapi baiklah, bila aku memang kau anggap pembunuh ayahmu, kau pasti tahu kenapa ayahmu harus dibunuh.”
“Selalu tersedia cukup banyak alasan untuk menjadi pembunuh. Hanya pengecut yang membunuh dengan cara-cara licik.”
“Jangan terlalu percaya pada apa yang diberitakan Koran-koran. Asal kau tahu, aku mengagumi ayahmu. Kematian ayahmu bukan tanggung jawabku. Itu tanggung jawab Negara.”
“Yang pertama-tama dilakukan para pengecut memang selalu mencari pembenaran. Itu sebabnya para pengecut selalu selamat.”
Ia kembali menyalakan sebatang rokok. Padahal rokok di asbak masih panjang. Ia ingin meminum kopi di cangkir itu pelan, tapi seperti ada yang menahannya, insting yang mengharuskannya bersikap hati-hati dalam situasi seperti ini. Jari-jarinya berkedut, hal yang selalu terjadi bila ia merasa cemas, hingga rokok di jarinya nyaris lepas. “Aku telah menghabiskan sepuluh tahun dalam penjara untuk sesuatu yang dituduhkan padaku yang sebenarnya tak pernah kulakukan.”
“Pengecut tak akan pernah berani mengakui kejahatan yang dilakukan!”
“Aku sendiri hanya orang yang dikorbankan untuk menutupi kesalahan orang lain. Salah alamat bila kau mendendam padaku.”
“Ini bukan soal dendam. Ini soal keadilan,” tatapan anak muda itu makin tajam. “Kamu memang sudah dihukum. Dan aku yakin, sepanjang hidupmu, kamu akan terus dihukum oleh kepengecutan dan ketakutanmu. Tapi itu bukan alasan bagiku untuk berhenti menuntut keadilan.”
“Apa yang kamu tuntut dari keadilan? Keadilan tak pernah membuat yang mati hidup kembali.”
“Yang mati memang tak akan pernah hidup kembali…”
“Kecuali Tuhan,” ia menimpali ucapan anak muda itu, mencoba berkelakar mencairkan suasana tegang.
“Keadilan bukan perkara orang per orang. Ini bukan persoalan antara aku dan kamu. Juga bukan persoalan kamu dan ayahku. Jika kamu menganggap ini hanya persolan pribadi, semestinya kamu menantang ayahku untuk berduel, sampai salah satu diantara kalian mati. Itu jauh lebih jantan dan terhormat. Tapi aku tahu, pengecut semacammu tak akan pernah berani bersikap jantan seperti itu. Menyedihkan memang, pengecut selalu selamat oleh kepengecutannya.”
“Aku bukan pengecut!” Suaranya terdengar mengambang di udara.
“Kalau begitu, minum kopi itu, dan kita tunggu apa yang terjadi.”
Ketika ia hanya terdiam gamang memandangi secangkir kopi, anak muda itu tertawa masam. “Apa kamu pikir dengan berani datang ke kedai ayahku ini kamu sudah membuktikan keberanianmu? Tidak! Aku yakin kamu datang kemari bukan untuk meminta maaf. Kamu datang kemari justru karena ingin membuktikan bahwa kamu tidak bersalah telah membunuh ayahku. Kamu merasa, dengan dipenjara sepuluh tahun, sudah cukup untuk menganggap selesai persoalan. Bagiku, tak ada kata lupa untuk kejahatan. Pembunuh selalu bersikeras melupakan korbannya. Bahkan, aku yakin, kamu sudah lupa seperti apa ayahku.”
Ia diam-diam melirik pada poster di tembok kayu itu; wajah lelaki berkumis tebal itu tak akan pernah mungkin dilupakannya. Wajah itu selalu muncul dalam mimpi buruknya. Ia tak akan pernah lupa pada saat-saat ia mulai mendekati lelaki itu. Masuklah ke dalam hati musuhmu melalui apa yang disukainya. Ketika ia selalu mengajaknya bicara tentang kopi, lelaki itu dengan cepat menyukainya. Saat menikmati kopi di sore bergerimis, dari lelaki itu ia tahu rahasia menyajikan kopi. Sentuhan tangan penyaji kopilah yang membedakan rasa kopi. Biji kopi terbaik tetap saja tak akan enak bila tangan penyaji kopi itu tak mengenali jiwa kopi. Ia pun mengerti kenapa di kedai ini taka da mesin penggiling kopi. Lelaki itu mengolah sendiri biji-biji kopi dengan tangannya. Sentuhlah biji-biji kopi itu dengan seluruh perasaanmu, kamu akan merasakan sesuatu yang lembut. Dan kamu akan tahu mana biji kopi terbaik yang pantas disajikan untuk pelanggan.
Sebenarnya ia tak hendak percaya. Namun pada kenyataannya kopi di kedai kopi ini memang terasa paling nikmat di lidahnya. Ia sudah sering menikmati kopi di banyak kedai kopi, tetapi tak ada yang bisa membuatnya merasa begitu nikmat senikmat setiap kali ia menikmati kopi di kedai ini. Seakan dalam secangkir kopi itu ada kebahagiaan yang dikekalkan. Bahkan ketika dalam penjara, diam-diam ia membelikan kopi dari kedai ini. Dengan sogokan tentu saja.
“Tak pernah ada sebelumnya yang membiarkan kopi di kedai ini menjadi dingin tanpa menyentuhnya,” suara anak muda itu membuyarkan ingatannya. “Itu sudah cukup membuktikan bahwa kamu bukan saja pengecut karena tidak berani meminum kopi yang aku sajikan, tapi juga menyakinkanku kalau kamu memang pengecut yang dihantui ketakutanmu sendiri.”
Anak muda itu bangkit meninggalkannya sendirian.
Langit gelap dan kosong ketika ia keluar dari kedai itu. Tapi perasaan kosong dalam hatinya menghamparkan kehampaan melebihi luas langit yang dipandanginya. Rasanya ia merasa lebih terhormat bila anak muda itu menghajarnya hingga babak belur ketimbang membuatnya merasa terhina seperti ini.
Tak akan pernah berani lagi ia kembali ke kedai kopi itu. Kopi yang disajikan anak muda itu benar-benar telah membuatnya diluapi perasaan takut; mengingatkannya pada peristiwa saat ia menuangkan arsenik ke dalam cangkir kopi lelaki berkumis itu. Ia melihat seorang gadis berjalan bergegas menyeberang jalan. Gadis itu memakai kaos bergambar sablon wajah lelaki berkumis itu. Kematian seorang pengecut seperti dirinya tak akan pernah mendapat kehormatan seperti kematian lelaki yang dibunuhnya.
Saat melintas di depan toko kelontong berkaca lebar ia berhenti, memandangi bayangan muram tubuhnya; kulit coklat gelapnya tersamar warna jaket yang telah pudar, mata cekung dan alis matanya yang semurung sayap burung sedikit tertutup rambut yang mulai gondrong. Bayangan di kaca itu seperti hantu masa lalu yang tak ingin dilihatnya.
Kemudian ia berjalan menuju kelokan, dan untuk terakhir kali memandang kedai kopi itu dari kejauhan, sebelum akhirnya menghilang ke dalam cahaya kota yang remang. Bila pada akhirnya ia benar-benar menghilang dari dunia ini, adakah seseorang yang masih mengingat dan mengenangnya?


Kompas, Minggu, 11 Januari 2015