CERITANYA
OLEH NORMAN ERIKSON PASARIBU
Suatu subuh ia tiba-tiba merasa ia hanyalah seorang Homo Fictus*, dan
kehidupan yang ia jalani adalah ceritanya.
Sepanjang siang gadis itu mencoba
tetap mengerjakan tugasnya seperti biasa, ia tetap menjerang air panas, tetap
membobotkan bubuk kopi dengan timbangan, memasukkan biji-biji kopi ke dalam
mesin penggiling, mengucapkan terima kasih kepada pelanggan yang meninggalkan
kedai, meskipun di dalam dirinya ada adonan tepung dan soda kue terlalu banyak:
adonan itu mengembang dan mengembang dan mengembang, membuat dadanya sesak.
Menjelang sore-sekitar pukul
dua-ketika kedai kopi tempat ia bekerja tak terlalu ramai, ia masuk ke kamar
mandi pegawai dan menatap bayangan dirinya sendiri di cermin. Ini adalah daging
betulan, pikirnya; protein, air, bilayer-bilayer eter dan yg memberi rasa lemah">lipid
sungguhan; tetapi ini
sebetulnya hanyalah kata-kata, meskipun pada awal mula sedikit banyak adalah
memang protein dan lipid, yaitu ketika mereka semua masih berbentuk jutaan
neuron di kepala seseorang.
Ia mengambil kartu nama pegawai
yang tersemat di dadanya, dan mencopot peniti yang melekat di sana. Ia
menusukkan ujung jarum peniti ke ujung jarinya. Sesuatu yang berwarna hitam
keluar perlahan. Ia mencium aroma cairan itu, dan mencicipinya. Itu sesuatu yang
tak pernah ia kenal. Ia tahu tentang darah. Ia paham mengenai darah. (1)
Warnanya tak merah, (2) aromanya memang sedikit anyir tapi bukan anyir-darah.
Ia pun mencoba mengingat kali terakhir ia jatuh dan kakinya berdarah… dan ia
tak bisa. Ia mencoba mengingat orangtuanya, tetapi yang muncul di kepalanya
hanyalah seorang perempuan berambut keriting-gembung seperti brokoli. Tak ada
ayah, ataupun seorang laki-laki yang dapat disangka ayah. Apa ia tak memiliki
ayah dan hanya punya seorang ibu, seperti Yes… Hah? Apa yang baru ia pikirkan?
Yes…? Ia tak ingat.
Ia mencoba menelusuri masa
kecilnya, tapi hanya gambar-gambar tak tampak saling berkaitan yang timbul.
Sebuah pacuan kuda. Sebuah parade di mana seorang laki-laki muda berdandan
sebagai balerina dan ia menertawakan laki-laki muda itu. Lalu sebuah danau itu;
ia ada di atas perahu angsa bersama dengan seorang bocah laki-laki. Tunggu…
Apakah itu dirinya? Gadis kecil itu kurus betul, tak mirip ia. Tetapi sesuatu
di dalam dirinya mengatakan bahwa gadis itu memang dirinya. Ia pun merasa
pening. Ia keluar dari kamar mandi. “Boleh aku rehat selama lima menit?”
katanya kepada Anton, teman kerjanya di kedai. Ia mencoba mengingat segala
tentang Anton. Yang muncul hanyalah: (1) mereka telah bekerja bersama selama
dua tahun, (2) dan kini begitu akrab seolah lahir dari rahim yang sama, (3) dan
ia seorang gay. Ia mencoba mengingat
tanggal lahir Anton… Tak ada yang muncul. Bagaimana bisa? Pikirnya putus asa.
“Kenapa? Pusing memikirkan ibu
kosmu?” canda Anton.
Ia menggeleng, meskipun benar Ibu
kosnya orang paling memuakkan di seluruh semesta alam.
Ia mengambil pena dan kertas, dan
duduk di sudut kedai. Ia mencoba untuk melakukan freewriting. Minggu lalu ia datang ke sebuah kelas menulis, dan si
pengajar bilang metode ini baik untuk mincing ingatan-ingatan lampau ke
permukaan.
Ia pun berpikir, “Apa yang membuat
ibu kosnya memuakkan?” dan kemudian menuliskan jawabannya.
Tetapi yang muncul di kepalanya
hanyalah rupa seorang laki-laki. Ia menatap kertas, membaca kalimat pertama
tulisannya: “Ia biasanya membawa beberapa buku dan menghabiskan waktu dengan
membaca.” Ia mengernyit, merasa membaca buku bukanlah karakter yang
memuakkan-ia menyukai buku.
Ia pun mengganti instruksinya. Ia
memikirkan “kue bikinan ibu” dan akan menuliskan apapun respons otaknya
terhadap rangsangan kata itu.
Tetapi yang terbit di kepalanya
adalah laki-laki itu lagi! Ia teringat bagaimana pada suatu malam hujan deras
dan lelaki itu datang ke kedai; dia memesan cokelat panas dan keks keju, dan
lelaki itu bilang, “Tolong cheesecake-nya dipanaskan ya, Manis.” (“Dia
memanggilku ‘Manis’!” pikirnya.) Sementara mengenai “kue bikinan ibu”, yang
timbul hanyalah kata “gurih” dan “marzipan”. Tak ada gambaran apapun mengenai
kue itu sendiri atau ruang makan keluarganya. Ia bahkan tak tahu apa itu
“marzipan”!
Ia menghela napas putus asa. Siapa
pun yang menulis ceritaku ini, pikirnya, pastilah amatiran, dan kurang awas
dengan detail.
Ia memutuskan untuk membaca, dan
mengambil majalah wanita yang tergeletak di meja. Belum ada dua detik, ia
langsung membelalak. Hanya ada putih polos di semua halaman. Apa maksudnya ini
semua, pikirnya, ketimpangan dan ketidaksempurnaan ini? Apa guna mencipta
apabila kau tak mampu mencukupi apa yang ciptaanmu butuhkan? Ia berharap
penulisnya paling tidak masih ingat bahwa semua orang memerlukan cinta, semua
orang, termasuk dirinya. Ia berharap seseorang telah dituliskan untuknya. Ia
berharap ceritanya bukanlah kisah sedih yang diniatkan untuk menjaring
pembaca-pembaca putus asa. Ia berharap ceritanya ditulis tanpa melibatkan
alkohol.
Ia merasa ia butuh istirahat, berpikir
kegilaan ini akan berakhir apabila ia tidur cukup. Ia berharap-meski ia telah
tahu ini mustahil-akan terbangun sebagai manusia biasa keesokan harinya. Ia pun
izin pulang cepat. Ia melambai kepada Anton, dan berjalan meninggalkan kedai.
Di dalam bus, ia teringat malam
nanti ada kuliah Kalkulus II dan Pengantar Kosmologi (ia mengambil kuliah
ekstansi Fisika di kampus tak ternama dekat kosnya) tetapi merasa tak
bersemangat. Ia mengirimkan pesan titip absen kepada teman sekampusnya.
Ia mencoba membayangkan rupa
penulis yang menuliskan ceritanya itu. Apa dia laki-laki? Atau perempuan?
Sepertinya laki-laki? Atau perempuan? Sepertinya laki-laki, pikirnya, kalau dia
perempuan, aku mustahil bernasib semalang ini. Kalau dia perempuan aku tentu
memiliki kesempatan kuliah layak, berpenghasilan sama dengan Anton, dan tidak
terus-menerus memikirkan laki-laki-seolah hanya itu isu yang penting bagiku.
Tetapi, apakah ia tampan dan orang-orang menyebutnya ‘penulis tampan’? Apakah
aku menyukai warna hijau karena ia menyukai warna hijau? Apakah ia ramping,
atau malah gemuk, seperti aku?
Apakah aku gemuk karena ia gemuk,
atau ia gemuk karena aku gemuk?
Jangan-jangan ceritaku itu adalah
sebuah karya autobiografis atau semi-autobiografis, pikir gadis itu, sehingga
bisa jadi di atas sana, di balik awan, di balik bintang-bintang, di balik
tepi-tepi dari semesta yang terus mengembang perlahan, ada seorang lelaki gemuk
yang juga sering bangun subuh-subuh, lalu memeriksa telepon genggamnya dan
hanya menemukan iklan operator, lalu bangkit karena hendak menyeduh kopi, tapi
akhirnya urung karena ingat dia ingin menguruskan badan, kemudian juga teringat
dengan seseorang yang membuatnya ingin menguruskan badan, dan lalu juga
teringat dia tak bisa menemui seseorang itu meskipun sangat rindu, dan akhirnya
sebagai pengalih perhatian dia menyalakan laptop, mencoba menulis sesuatu.
Barangkali lelaki itu sudah lama
ingin menulis sebuah cerita metafiksi, dan pagi buta itu memulainya dengan:
“Suatu subuh…”-lalu mungkin laki-laki itu tak sanggup menyelesaikan kalimat itu
tak sanggup menyelesaikan kalimat itu, dan kemudian dengan putus asa dia
memikirkan bahwa jauh di atas dunianya, di balik selimut atmosfer, di balik
ribuan, jutaan komet dan asteroid,di balik tepi-tepi dari semesta yang terus
mengembang perlahan, ada seorang perempuan gemuk menuliskan kisahnya, dan
perempuan itu sama sepertinya: juga bangun subuh-subuh, juga memeriksa telepon
genggamnya dan hanya akan menemukan iklan operator, juga…. Gadis itu
memberhentikan bus di depan gereja dan berjalan menuju kosnya.
Gadis itu berpikir, semua ini,
kehidupanku ini, adalah kesia-siaan, dan ada hanya karena seseorang yang kurang
kerjaan.
Jika lelaki gemuk itu tak pernah
mencoba lagi menulis cerita itu, pikir si gadis, aku tentu tak akan pernah ada
dan tak harus mengalami ini semua. Gadis itu akan terus berada di dalam kepala
lelaki itu, tak sadar mengenai keberadaan dirinya, seperti bayi di dalam rahim.
Ia kini penasaran mengapa ia tertulis
sebagai seorang gadis gemuk dan bukannya lelaki gemuk, tetapi ia langsung sadar
bahwa itu tak ada pengaruhnya-bila pun ada, tak signifikan. Apa bedanya gadis
gemuk yang tak dicintai siapapun dari lelaki gemuk yang tak dicintai siapapun
dari lelaki gemuk yang tak dicintai siapapun? Ia memasukkan anak kunci ke
lubang pintu depan, dan kemudian masuk ke dalam kosnya.
Ia ingin pada ceritanya itu ia tak
disebut sebagai “aku” karena “aku” begitu terbatas, tetapi sebagai “ia”
atau-meskipun ini tak ideal-“si gadis gemuk”, dan ada seorang narrator
tahu-segala yang mengatakan, “dan lelaki itu mencintai gadis gemuk itu
diam-diam, dia mencintai gadis gemuk itu sejak kali pertama keks keju hangat
bikinan gadis itu lumer di mulutnya, sejak ia menghirup teh hitam yang gadis
itu seduh untuknya. Ketika kehangatan menyebar dilambungnya lelaki itu
berpikir, Aku akan mencintai gadis ini sampai aku mati.”
Gadis itu menatap ke tangga di
sebelah kiri kamarnya. Ibu kosnya selalu melarang ia naik ke sana. “Hubungan
kita cuma ibu dan anak kos. Tidak lebih!” Ia ragu sebentar, tetapi kemudian
mulai menaiki tangga itu, menikmati tiap-tiap tapaknya, dan tiba di lantai dua.
Ia terpana. Ia menemukan dunia serba putih. Ia mencoba maju, namun menabrak
suatu dinding tak terlihat. Dinding? Ia tertawa lama sekali. Ini bukan dinding,
pikirnya, ini adalah Tak Ada, bagian semestaku yang belum/tidak lelaki gemuk
itu tuliskan.
Gadis itu membayangkan ceritanya
kelak diterbitkan di sebuah koran; dan di ujung kanan halaman, tepat di atas tempat
dan tangan penulis cerita, ada sebuah untuk yang diikuti satu nama, atau bisa
juga dua, Gadis itu tentu tak tahu nama-nama macam apa yang tertera. Barang
kali Maria, Mario? Leona atau Leo? Dias (?) atau Dias (?) Entahlah. Tetapi ia
tahu pasti ia ingin menjadi seperti teman-temannya di masa kecil yang berteriak
Ayo! Ayo! Ayo! kepadanya ketika lomba makan sayap ayam, membuatnya
merasa sendirian. Ia hendak menyemangati si lelaki gemuk untuk menyelesaikan
cerita itu, ceritanya, dengan harapan lelaki itu tahu dia itu tak pernah
sendirian, dan agar pada akhirnya segala hal menjadi jernih, dan gadis itu tahu
cerita macam apa yang didiaminya dan alasan ia dituliskan.
Untuk Leo dan Dias, yang akan berulang tahun
KOMPAS, MINGGU, 8
FEBRUARI 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar