FOKUS
Oleh
PUTU WIJAYA
“Kasus
pembegalan yang diungkap tv, seperti mengembalikan kita ke zaman cerita-cerita
yang sering digelar oleh teater rakyat,”kata seorang tetangga, membuka
percakapan, di pertemuan rutin tahunan warga.
Kita dibawa kembali ke masa ketika
jalan-jalan yang sepi dan gelap, menjadi angker. Karena bromocorah gentayangan.
Tidak ada polisi yang menjaga kenyamanan hidup warga. Adanya hanya prajurit
untuk berperang demi membela Negara,” sambut tetangga yang lain.
“Jadi keselamatan Negara memang
terjaga tapi keamanan rakyat tidak!”
“Itu berarti kita sudah
melangkah mundur,” sambut tetangga lain lagi.
“Dan ironisnya, itu terjadi di
tepi Jakarta! Ibukota Negara dan jendela ke mancanegara! Bagaimana nanti
pandangan dunia kepada kita? Pasti minat untuk infest di Indonesia berkurang drastis! Yang sudah ada pun bias
kabur!”
“Betul! Banyak orang tidak ngeh, apa sebenarnya yang sedang
terjadi. Akan kemana kita dibawa oleh globalisasi?”
“Menurut paranormal, penasihat
spiritual saya, yang baru pulang dari Afrika, dia bilang….”
“Pak Jenggot?”
“Betul.”
“Wah paranormal berbobot itu!
Ngapain beliau ke Afrika?”
“Katanya akhir tahun lalu,
yang namanya ‘kebenaran’ ada di situ. Pak Jenggot mau mencegatnya, karena tidak
ada skejulnya ke Jakarta. Jadi, Pak Jenggot mau mengkonfirmasikan praduganya
pada tahun 2015 ini.”
“Sudah?”
“Belum sempat, karena ada satu
dan lain hal yang memerlukan prioritas, apa eksekusi terpidana mati yang
dihimbau beberapa suara, agar diberikan grasi, tidak dianggap prioritas?”
“O, ya, itu juga sudah pasti
termasuk dalam agendanya!”
“Betul! Tapi kita sudah
kebanyakan prioritas. Saya heran juga, gunung meletus, banjir, pesawat jatuh,
gesek-gesekan, semua prioritas. Apalagi yang akan menyusul besok, ya? Segalanya
datang beruntun, sambung-menyambung. Baru selesai pemilu yang menyenangkan, ada
lagi, ada lagi yang lain. Yang untung tv dapat berita panas terus. Iklan
mengucur, kita hancur!”
“O ya, maaf, rumah Pak Alit
denger-denger kena banjir?! Itu juga prioritas buat kita, sebab bias merembet
ke rumah kita!”
“Jelas! Rumah saya kan juga
sudah mulai digerayangi. Itu gara-gara sungai yang di belakang kita itu,
ditutup, jadi airnya meluap ke kita.”
“Kita harus protes itu!”
“Siapa yang berani? Ada rumah
jenderal di situ! Mau dikarungin apa?”
“Nanti dulu! Yang begal itu
sebenarnya sudah ditangkap habis belum? Ada yang ditembak mati kan?!”
“Tembak mati saja kalau
ketangkap, kata ibu dari anak yang mati ketika pembegalan itu. Muka ibu itu
tenang tapi usulnya sadis!”
“Itu lumrah-lumrah saja. Kata
orang, perempuan memang bisa lebih sadis dari lelaki!”
“Ya, itu perempuan yang Bapak
kenal. Istri saya tidak!”
Semua ketawa berderai.
“Ah sama saja! Cuma ada yang
kelihatan, ada yang tidak. Kata orang wanita kan sebuah buku yang tidak pernah
habis dibaca!”
“Betul, tidak, Pak Amat?”
Amat tersenyum, lalu tertawa,
tapi tidak menjawab. Malahan kemudian berdiri dan berjalan pulang. Meninggalkan
pertemuan.
“Semua ngaco. Tidak ada yang bener,” gerutu Amat setelah sampai di rumah.
“Ngomong seenak perut saja. Asu teman! Semua! Apa yang ada di perut, langsung
disemburkan. Ngumpul-ngumpul memang lebih banyak negatifnya! Pembicaraan
ngalor-ngidul tidak pernah fokus! Hanya tambah mengacaukan, mengapungkan
persoalan. Itulah wajah kita sekarang!”
“Kita?” potong Bu Amat keluar
dari kamar sambil menyodorkan lis sumbangan warga untuk perbaikan saluran air
agar rumah Pak Alit bebas banjir.
Amat melirik li situ sinis.
“Dia yang kebanjiran, karena
bandel tidak mau meninggikan lantai rumahnya, kenapa kita yang ditodong
menyumbang?”
“Itu kata Pak Alit, kan!”
“Bukan! Itu keputusan rapat
warga yang tidak mau Bapak hadiri!”
“Karena tahu hasilnya begini!”
“Salah! Kalau Bapak datang,
hasilnya akan lain! Akan lain! Akan lain!!!”
Amat tercengang.
“Akan lain?”
“Ya! Karena, jangan salah!
Mereka sebetulnya sangat segan, hormat, menghargai Bapak, yang terhitung paling
senior di hunian kita ini! Mereka yakin apa yang Bapak katakana pasti adil,
waras dan betul. Tadi, apa yang Bapak katakana, tadi?”
“Apa ya, di pertemuan tadi,
semua orang ngomong, ngomong, ngomong terus, ngalor-ngidul, ngalor-ngidul,
tidak ada focus, sampai pertemuan selesai. Tidak ada focus, sampai pertemuan
selesai. Tidak ada keputusan mau apa komunitas kita ke depan ini. Habis waktu
untuk menggunjingkan politik!!”
“Lho itu kan berarti semua
orang mau memberikan masukan pada Bapak. Semua warga percaya Bapak akan
memilihkan mereka focus. Ada kan yang bertanya tadi bagaimana pendapat Bapak?
Ada, tidak?”
“Ya, ada.”
“Nah itu, mereka pasti minta
fokus! Mereka menunggu fokus dari Bapak! Itu tandanya Bapak punya wibawa
pemimpin. Makanya awas, jangan suka membegal diri-sendiri. Jiwa kepemimpinanmu
itu kelebihan, karunia Tuhan Yang Maha Kuasa di atas situ! Harus dijunjung
tinggi! Paham?”
Amat bengong.
Di kesempatan berikutnya, Amat
hadir lagi dengan kiat baru.
Seperti sebelumnya, percakapan
terlempar ke sana kemari. Dari soal turunnya harga bahan bakar, sampai fenomena
ISIS.
Amat siap untuk memberikan
fokus. Menjawab kalau ada pertanyaan. Agar pertemuan itu bermakna. Tidak hanya
sekedar menguruk sumur yang tanpa dasar.
Lima
jam Amat terpental-pental oleh berbagai usul, opini, curhat, kabar-kabur dan
segala macam berita panas kutipan dari tv dan media massa lainnya.
Tengah malam Amat kembali ke
rumah. Mukanya seperti penjudi yang terkuras habis. Wajah kuyup oleh kecewa.
“Bagaimana hasilnya, Pak,”
Tanya Bu Amat sambal memijat punggung suaminya. Amat menjawab kesal.
“Sama saja. Cuma buang-buang
waktu. Ramai seperti pasar. Semua rebutan bicara. Tapi bukan mencari solusi
buat hunian kita. walhasil buntutnya nol!”
“Bapak sempat ngomong?”
“Ngomong apa? Tidak ada
fokus!”
“Kenapa tidak difokuskan?!”
“Habis tidak ada yang nanya!”
Bu Amat kecewa.
“Lho bagaimana sih Bapak!
Kalau melongo saja ngapain ikut rapat? Jangan tunggu sampai ada yang nanya!
Asal sudah ketemu celah, langsung saja diembat! Harus di depan mengambil
inisiatif. Belok kanan, belok kiri, melompat, kalua perlu mundur atau balik
arah! Pemimpin tidak boleh nunggu kesempatan! Justru harus bikin kesempatan!”
Amat tak menjawab. Karena
terlalu ngantuk. Ia tergelincir tidur.
Tapi dalam pertemuan warga
berikutnya (karena belum juga ada putusan), Amat mempraktekkan usulan istrinya.
Sebelum sempat warga lain buka
mulut, Amat langsung ngoceh. Suaranya lantang dan jernih.
“Saudara-saudara, jangan lupa,
kita harus cari solusi untuk melindungi anak-anak remaja kita dari ancaman
narkoba dan pornografi lewat internet, sebelum nasi jadi bubur!”
Tak ada yang menjawab. Dengan
semangat berapi-api, Amat terus menembaki kerawanan moral masa kini,
membentangkan teorinya sendiri, bagaimana caranya bilang “tidak”. Tapi peserta
rapat tidak ada yang peduli. Mereka mulai ngobrol dengan teman-teman di
sebelahnya. Akhirnya Amat terpaksa menghentikan ceramahnya.
Hanya satu jam, pertemuan
bubar. Tahun-tahun sebelumnya, pertemuan pernah baru berakhir subuh, itu pun
juga belum tentu berhasil membuat keputusan.
Amat yang terakhir
meninggalkan ruangan. Ia merasa, itulah hari yang paling menyebalkan, sepanjang
sejarah rapat rutin warga yang sudah 5 tahun jalan itu. Singkat, menyebalkan
dan kosong-melompong.
Di rumah, Bu Amat terpaksa
lembur memijit lagi. Bukan hanya pundak, tapi seluruh tubuh Amat. Sembari
mengantuk ia menghibur.
“sudahlah, Pak, taka pa,
kebesaran seorang pemimpin, tidak hanya ditentukan oleh sukses dan
keberhasilannya. Tetapi juga oleh segala kekalahan, kegagalan dan
kekecewaannya! Karena itu, piker yang matang-matang. Mau jadi pemimpin atau
rakyat biasa saja?!”
“Ya sudah, jadi rakyat jelata
saja.”
Namun demikian, Amat tidak
kapok. Ketika diundang rapat lagi, ia datang dengan bersemangat.
Ia ikut rebutan buka mulut,
dengan berbagai isyu panas dari tv dan media massa lain. Rapat jadi riuh dan
galau. Tapi hangat, ceria dan berhasil menelorkan keputusan.
“Bagaimana, berhasil?” sambut
Bu Amat menyapa suaminya yang pulang dengan wajah berseri-seri.
“Sip!”
“Apa keputusannya?”
“Terus menggelinding, mengalir
seperti sungai.”
“Maksudnya?”
“Keputusannya singkat, padat dan
tepat.”
“Apa?”
“Secara aklamasi rapat
memutuskan: tidak perlu ada keputusan!”
Kompas, 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar