Di Jalan Jabal
Al-Kaabah
OLEH M. SHOIM ANWAR
Dari arah Jarwal Al-Tayssir
kendaraan itu meluncur mendahului para pejalan kaki yang semakin ramai,
melewati Jabal Al-Kaabah Street hingga tembus ke Umm Al-Qura Road. Jalanan
menanjak dan beberapa saat kemudian menurun kembali. Suasana mulai terasa
berbeda karena lampu-lampu yang menyala. Angkutan itu lantas berbalik arah,
menuju jalur di sebelah kirinya untuk menurunkan penumpang di pemberhentian.
Bunyi menderu di terowongan bawah tanah Ibrahim Al-Khalil Road. Kendaraan yang
datang dan pergi, generator, travo, blower, dan lampu-lampu listrik tegangan
tinggi terasa menggetarkan seluruh ruang.
Setelah turun dari angkutan umum,
dengan langkah tergesa, Tuan Amali menaiki eskalator. Istrinya, Nyonya Tilah,
setengah berlari mengikuti langkah sang suami. Orang-orang pun terburu mengejar
waktu. Eskalator itu naik dan menyembul di pelataran sehingga orang-orang
tampak seperti muncul dari dalam tanah. Tahu-tahu mereka telah sampai di
halaman Masjidil Haram di samping Hotel Dar Al-Tawhid. Tuan Amali dan Nyonya
Tilah berjalan di halaman sebelah kiri. Lewat pintu samping mereka lantas naik
ke lantai ketiga, melewati pintu nomor 66 bertuliskan Al-Shebyka Escalator. Di
lantai teratas tanpa atap itu sudah hamper dipenuhi orang, tapi suasana khusuk
sangat terasa. Tuan Amali tertegun sejenak sambil pandangannya menerawang.
“Aku teringat anak-anak cacat yang
meminta-minta di jalan sana,” katanya sambil menuding ke arah jalan.
“Ya, sudah agak lama kita tidak
memberi mereka,” Nyonya Tilah menimpali.
“Besok kita sempatkan jalan kaki
agar bisa memberi.”
“Semoga Allah selalu memberi
rezeki buat mereka semua.”
“Siapa tahu mereka adalah malaikat
yang diutus Allah untuk menguji rasa belas kasihan kita,” kata Tuan Amali.
Hari-hari terakhir ini Tuan Amali
dan Nyonya Tilah naik kendaraan untuk menghemat tenaga. Sebelum itu mereka
selalu berjalan kaki saat pulang dan pergi ke Masjidil Haram. Dia selalu
melihat deretan anak-anak berkulit hitam duduk di tanah sambil
menggerak-gerakkan kedua lengannya yang putus pertanda meminta sedekah. Dengan
baju lusuh warna gelap mereka menongolkan lengan buntungnya agar dilihat semua
orang yang lewat. Mereka hampir selalu muncul selepas Jalan Jabal Al-Kaabah
hingga mendekati area masjid. Dengan ekspresi memelas mereka mengharap belas
kasihan kepada orang-orang yang lewat. Tuan Amali berpikir anak-anak yang
malang itu adalah korban peperangan, atau terkena ledakan bom hingga kedua
lengan mereka putus. Kemungkinan lain mereka menderita kelainan genetis akibat
pernikahan antar penderita sehingga cacat fisik muncul secara dominan dari
bawaan orang tua. Usia mereka, baik yang laki maupun perempuan, sekitar sepuluh
tahun ke bawah. Mereka selalu duduk berdekatan sekitar lima anak.
Seperti orang-orang lain Tuan
Amali dan Nyonya Tilah juga sering memberikan sedekah kepada anak-anak buntung
yang malang itu. Uang sedekah diletakkan dipangkuan mereka. Tentu mereka
memperoleh jumlah yang besar karena banyak orang mengasihani dari hari ke hari.
Tuan Amali dan istrinya bersedekah dengan penuh keikhlasan mengingat kedatangan
ke kota itu juga untuk menjalankan perintah agama. Sedekah yang ikhlas
seikhlas-ikhlasnya, ibarat tangan kanan memberi dan tangan kiri tak
mengetahuinya.
“Jangan lupa titipan doa dari Pak
Mardho,” kata Nyonya Tilah.
“Oh ya,” Tuan Amali mengangguk,
ingat pesan Pak Mardho yang minta didoakan di lantai teratas masjid ini sambil
menghadap Kabah. Semoga Pak Mardho diberi kesembuhan atas segala penyakitnya.
Anak perempuannya, si Ayu, semoga segera lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan
dan jodoh yang mapan. Sudah beberapa kali pesan Pak Mardho yang ditulisnya di
atas kertas itu dibaca oleh Tuan Amali. Sebagai perangkat desa yang menjadi
bawahan Tuan Amali, Pak Mardho juga minta didoakan agar tidak terlalu lama
menduda. Dua hari sebelum berangkat Tuan Amali sempat bercanda dengan Pak
Mardho, bapaknya atau anaknya yang diharap mendapatkan jodoh terlebih dulu? Bukankah
si Ayu selama ini ke mana-mana selalu berdua dengan lelaki sepupunya sendiri?
Waktu diundang berbuka puasa bersama tempo hari si Ayu juga tidak dating karena
ada syukuran di rumah sepupunya itu?
“Lahir, rezeki, jodoh, dan mati di
tangan Allah,” jawab Pak Mardho.
“Rezeki di tangan Allah…,” Tuan
Amali menimpali sambil tertawa.
“Doakan juga agar pemikiran
penduduk kita berubah.”
Kata-kata “rezeki di tangan Allah”
itulah yang hampir selalu menjadi bahan ingatan Tuan Amali. Sebagai kepala desa
yang bukan penduduk asli di sini, segala usaha Tuan Amali dan perangkatnya
selalu gagal untuk mengubah jalan hidup penduduknya. Sebagian besar penduduk
Tuan Amali adalah pengemis secara turun-temurun. Alasan mereka selalu sama,”
rezeki di tangan Allah”, maka ketika tangan mereka menadah dan orang lain
mengulurkan tangannya untuk memberi adalah perwujudan “rezeki di tangan Allah”.
Pagi-pagi mereka menyebar ke berbagai tujuan. Ada yang berpakain jelek dan
kumal agar menimbulkan belas kasihan, ada pula yang berpakaian sewajarnya.
Mereka yang mengemis secara
berkelompok akan membagi penghasilan mereka. Hasil mengemis hari Senin untuk si
A, hari Selasa untuk si B, hari Rabu untuk si C, dan seterusnya. Kadang mereka
juga bersepakat membagi secara merata penghasilan dalam seminggu. Mereka bisa
hidup, buat rumah, beli sawah, beli ternak, beli kendaraan, dan semacamnya dari
hasil mengemis. Mereka ada yang mengemis dengan menyewa kendaraan dan pengeras
suara untuk berkeliling dari kota ke kota, masuk ke pasar-pasar dan
tempat-tempat ramai dengan menyodorkan kaleng, serta ada pula yang mencegat di
jalan-jalan. Juga ada di antara mereka yang mengemis memakai surat atau
proposal yang terlaminating hingga kumal. Di mata para kepala desa yang lain,
karena desanya dikenal sebagai ”desa pengemis”, Tuan Amali sering dijuluki
sebagai “lurahnya pengemis”.
Tuan Amali dan istrinya telah
menunaikan salat sunah beberapa kali. Sambil menghadap ke arah Kabah Tuan Amali
memanjatkan doa untuk diri dan keluarganya, untuk Pak Mardho, dan yang terakhir
untuk penduduknya di kampung halaman sana.
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau
tidak akan mengubah nasib suatu kaum itu sendiri tidak mau mengubah nasibnya.
Untuk itu ya Allah, hamba memohon kepada-Mu agar membuka hati dan sifat
peminta-minta. Berikan mereka jalan hidup dan penghidupan yang lebih
terhormat….”
Di saat Tuan Amali khusuk berdoa,
helikopter itu datang kembali, berputar-putar dengan dengan suara menderu.
Setiap kali melintas di atas kepala, orang yang duduk bersila melihatnya dengan
pandangan menyerah, seperti menyaksikan kedatangan malaikat yang hendak
menentukan nasib mereka selanjutnya. Dari lantai yang paling atas Masjidil
Haram ini langit memamang selalu tampak kerontang. Heli warna kuning itu tak
ubahnya penguasa tunggal yang mengawasi seluruh gerak-gerik ribuan orang di
bawahnya. Ketika heli itu menjauh orang-orang pun kembali menunduk dengan
khusyuk, melafalkan ayat-ayat dan doa-doa harapan. Sementara deru heli masih
tersisa di telinga. Sebentar lagi dia akan lenyap sebelum datang kembali
beberapa saat kemudian.
Matahari
condong ke akar langit. Bayangan Sembilan menara bulan sabit sudah tampak
merebah panjang. Tuan Amali dan Nyonya Tilah melihat di balik tiga buah kubah
warna cokelat juga telah meneduh. Para jamaah memanfaatkannya dari sengatan
matahari. Bukit-bukit dan bangunan-bangunan jangkung di sekeliling semakin
jelas dalam pandangan. Sebentar lagi lampu-lampu di ujung tiang akan segera
menyala, lalu disusul kumandang adzan yang menyeru dari pengeras suara di
tiap-tiap menara dan tiang. Ketika salat suara imam menggema ke langit bersama
embusan angina yang hening. Tuan Amali dan istrinya merasa sangat kecil di
hadapan kebesaran Sang Pencipta.
Jalan Jabal Al-Kaabah adalah
wilayah yang sangat ramai karena merupakan akses mendekati masjid. Hari ini
Tuan Amali tanpa didampingi Nyonya Tilah karena istrinya mengeluh kecapekan. Di
depan Al Hadeel Hotel, di saat situasi sangat ramai, Tuan Amali melihat
seseorang memotret salah satu anak buntung yang meminta-minta. Tiba-tiba
seorang perempuan bercadar hitam menghalangi pemotretan itu. Maksudnya sangat
jelas, si anak dilarang dipotret. Ada yang bilang perempuan bercadar itulah
yang memperkerjakan anak-anak tersebut untuk meminta-minta. Keganjilan lain
segera terkuak. Seorang perempuan lain nekat mendekati salah satu anak dan
meraba-raba lengan atasnya hingga ke dekat leher. Dengan cepat pakaian anak itu
ditarik kesamping. Maka terkuaklah kebohongan mereka. Ternyata lengan anak-anak
itu tidak buntung, melainkan ditekuk sebatas pergelangan lantas dimasukkan ke
dalam baju. Pantas mereka hanya menongolkan ujungnya saja karena takut ketahuan
lekuk lengannya yang disembunyikan.
Mengetahui kejadian itu tiba-tiba
Tuan Amali merasa perlu bertindak lebih jauh. Dia merasa selama ini anak-anak
itu sudah menipu orang banyak. Ini adalah tanah suci. Penipuan tidak boleh
dibiarkan di depan mata. Dengan agak kasar Tuan Amali hendak membuka pakaian
salah satu anak yang pura-pura bunting itu. Si anak menolak. Mungkin karena
jengkel, tubuh anak itu didorong-dorong dan ditebah dengan sajadah. Perempuan
bercadar yang memperalat si anak tampak segera mendekat. Tapi seorang lelaki
lain berkopiah cokelat dengan nada bersemangat mencoba membela si anak.
“Apa urusanmu dengan dia?” katanya
dengan nada tinggi, mimiknya tampak serius.
“Mereka telah mengotori tanah
suci!” jawab Tuan Amali tak kalah sengit.
“Mereka tidak memaksa. Tidak ada
yang dirugikan. Kalau kamu tidak mau memberi ya sudah!”
“Niat saya hanya satu, menyingkap
kebohongan terhadap orang banyak!” tambahnya. Keduanya sambil tetap berjalan
dalam kerumunan. Beberapa orang melihat ke arah mereka secara bergantian.
“Meminta-minta adalah urusan
pribadi!”
“Tapi meminta-minta dengan cara
menipu tidak bisa dibenarkan.”
“Mereka anak-anak yang miskin!”
lelaki berkopiah coklat itu menuding-nuding ke belakang.
“Anak-anak itu mungkin tidak
miskin. Mereka diperalat oleh perempuan tadi!”
“Mengapa kamu tidak berani bilang
begitu sama dia?”
“Omongan sudah tidak mempan buat
dia, tapi harus dengan tangan kita.”
“Kamu tidak punya hak!”
“Ini juga salah satu cara yang
saya tempuh. Memang pahit, tapi harus saya lakukan untuk menyatakan kebenaran!”
tegas Tuan Amali.
“Kamu harus bisa mengendalikan
kesabaran di sini.”
“Kesabaran bukan berarti diam
ketika melihat kejahatan!”
Tuan Amali dan lelaki berkopiah
coklay it uterus beradu mulut sambil berjalan. Mereka kadang-kadang saling
melihat. Jarak mereka merenggang karena didesak orang-orang yang berjalan.
Sesekali nada suaranya terdengar ditinggikan. Lama-lama keduanya mungkin sudah
tidak saling melihat wajah masing-masing. Tapi adu mulut mereka masih terdengar
hingga menjauh sebelum pada akhirnya benar-benar menghilang dibalut keramaian.
Sementara itu anak-anak yang
pura-pura buntung itu tetap duduk di tempat. Sesekali mereka melihat ke
sekeliling untuk mengetahui apakah ada polisi pamong praja atau tidak. Memang
polisi kadang-kadang mengobrak mereka, tapi mereka segera bereaksi kembali
ketika polisi telah menjauh. Kucing-kucingan terus berlangsung karena polisi
rupanya hanya gertak sambal, tidak pernah menangkap dan menangani dengan
serius.
Tuan Amali berhenti di depan
pertokoan yang mempertemukan Jalan Jabal Al-Kaabah dengan Jalan Al-Mahakim.
Sinar matahari menyengat. Sajadah yang dibawanya dipakai untuk menutup kepala.
Dikenakannya kaca mata hitam lebar agak tidak silau. Terasa ada keringat
mengalir dari keningnya. Tuan Amali merenungi tindakannya tadi hingga bertengkar
mulut dengan lelaki berkopiah cokelat. Tuan Amali menimbang-nimbang, dia tetap
yakin bahwa niatnya mulia. Kota suci harus dipertahankan kesuciannya. Beberapa
saat dia tercenung di antara orang-orang yang lalu lalang di depannya.
Toko-toko di sepanjang jalan ini juga selalu ramai.
Tiba-tiba Tuan Amali terkejut.
Seorang lelaki tua bersongkok hitam menadahkan tangan di depannya untuk meminta
sedekah. Tuan Amali ingin menyebut nama, tapi mulutnya masih tertahan oleh rasa
bimbang. Dirogohnya saku kanan untuk mengambil beberapa real dan diberikan
kepada sang peminta. Lelaki tua itu segera pergi dan melakukan hal yang sama
kepada orang lain. Tuan Amali memandanginya hingga jarak makin merenggang. Dia
mulai yakin dengan lelaki meminta-minta itu.
“Pak Dotil…!” seru Tuan Amali.
Dari jarak yang agak jauh lelaki
yang diserunya tadi menoleh. Dia mencari-cari siapa yang memanggil namanya.
Tuan Amali tidak memberi reaksi apa-apa. Lelaki tua tadi berjalan kembali.
Sekarang Tuan Amali yakin lelaki tua yang disapanya tadi benar-benar Pak Dotil,
penduduknya sendiri yang tahun ini juga menunaikan ibadah haji. Seperti
kebanyakan warga di desanya, Pak Dotil sendiri juga bekerja sebagai pengemis
yang selalu mangkal di pintu Pasar Rebo. Tahun ini dia naik haji ikut rombongan
kota lain agar bisa serombongan dengan saudaranya. Diselah-selah ibadah yang
dilakukannya di kota ini ternyata Pak Dotil memanfaatkannya juga untuk
mengemis. Barangkali, bagi Pak Dotil, mengemis juga bagian dari ibadah karena
“rezeki di tangan Allah”.
Cuaca makin panas. Debu-debu
tersaruk kaki para pejalan hingga kurang nyaman di pernafasan. Tuan Amali
berjalan mempercepat langkahnya meninggalkan Jalan Jabal Al-Kaabah. Rasanya dia
ingin segera berbicara dengan Nyonya Tilah. Kata-kata yang sudah terlalu lama
diingat oleh Tuan Amali muncul kembali. Para peminta-minta itu selama hidupnya
akan didera dengan kemiskinan. Meski harta mereka sudah cukup, mereka akan
merasa tetap miskin sehingga menjadi peminta-minta sepanjang hidupnya. Tuan
Amali yakin seyakin-yakinnya, tangan di atas lebih mulia dari tangan di bawah.
Jawa Pos, Minggu 13 Juli 2014