Pengunjung

Rabu, 31 Desember 2014

Di Jalan Jabal Al-Kaabah
OLEH M. SHOIM ANWAR
Dari arah Jarwal Al-Tayssir kendaraan itu meluncur mendahului para pejalan kaki yang semakin ramai, melewati Jabal Al-Kaabah Street hingga tembus ke Umm Al-Qura Road. Jalanan menanjak dan beberapa saat kemudian menurun kembali. Suasana mulai terasa berbeda karena lampu-lampu yang menyala. Angkutan itu lantas berbalik arah, menuju jalur di sebelah kirinya untuk menurunkan penumpang di pemberhentian. Bunyi menderu di terowongan bawah tanah Ibrahim Al-Khalil Road. Kendaraan yang datang dan pergi, generator, travo, blower, dan lampu-lampu listrik tegangan tinggi terasa menggetarkan seluruh ruang.
Setelah turun dari angkutan umum, dengan langkah tergesa, Tuan Amali menaiki eskalator. Istrinya, Nyonya Tilah, setengah berlari mengikuti langkah sang suami. Orang-orang pun terburu mengejar waktu. Eskalator itu naik dan menyembul di pelataran sehingga orang-orang tampak seperti muncul dari dalam tanah. Tahu-tahu mereka telah sampai di halaman Masjidil Haram di samping Hotel Dar Al-Tawhid. Tuan Amali dan Nyonya Tilah berjalan di halaman sebelah kiri. Lewat pintu samping mereka lantas naik ke lantai ketiga, melewati pintu nomor 66 bertuliskan Al-Shebyka Escalator. Di lantai teratas tanpa atap itu sudah hamper dipenuhi orang, tapi suasana khusuk sangat terasa. Tuan Amali tertegun sejenak sambil pandangannya menerawang.
“Aku teringat anak-anak cacat yang meminta-minta di jalan sana,” katanya sambil menuding ke arah jalan.
“Ya, sudah agak lama kita tidak memberi mereka,” Nyonya Tilah menimpali.
“Besok kita sempatkan jalan kaki agar bisa memberi.”
“Semoga Allah selalu memberi rezeki buat mereka semua.”
“Siapa tahu mereka adalah malaikat yang diutus Allah untuk menguji rasa belas kasihan kita,” kata Tuan Amali.
Hari-hari terakhir ini Tuan Amali dan Nyonya Tilah naik kendaraan untuk menghemat tenaga. Sebelum itu mereka selalu berjalan kaki saat pulang dan pergi ke Masjidil Haram. Dia selalu melihat deretan anak-anak berkulit hitam duduk di tanah sambil menggerak-gerakkan kedua lengannya yang putus pertanda meminta sedekah. Dengan baju lusuh warna gelap mereka menongolkan lengan buntungnya agar dilihat semua orang yang lewat. Mereka hampir selalu muncul selepas Jalan Jabal Al-Kaabah hingga mendekati area masjid. Dengan ekspresi memelas mereka mengharap belas kasihan kepada orang-orang yang lewat. Tuan Amali berpikir anak-anak yang malang itu adalah korban peperangan, atau terkena ledakan bom hingga kedua lengan mereka putus. Kemungkinan lain mereka menderita kelainan genetis akibat pernikahan antar penderita sehingga cacat fisik muncul secara dominan dari bawaan orang tua. Usia mereka, baik yang laki maupun perempuan, sekitar sepuluh tahun ke bawah. Mereka selalu duduk berdekatan sekitar lima anak.
Seperti orang-orang lain Tuan Amali dan Nyonya Tilah juga sering memberikan sedekah kepada anak-anak buntung yang malang itu. Uang sedekah diletakkan dipangkuan mereka. Tentu mereka memperoleh jumlah yang besar karena banyak orang mengasihani dari hari ke hari. Tuan Amali dan istrinya bersedekah dengan penuh keikhlasan mengingat kedatangan ke kota itu juga untuk menjalankan perintah agama. Sedekah yang ikhlas seikhlas-ikhlasnya, ibarat tangan kanan memberi dan tangan kiri tak mengetahuinya.
“Jangan lupa titipan doa dari Pak Mardho,” kata Nyonya Tilah.
“Oh ya,” Tuan Amali mengangguk, ingat pesan Pak Mardho yang minta didoakan di lantai teratas masjid ini sambil menghadap Kabah. Semoga Pak Mardho diberi kesembuhan atas segala penyakitnya. Anak perempuannya, si Ayu, semoga segera lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan dan jodoh yang mapan. Sudah beberapa kali pesan Pak Mardho yang ditulisnya di atas kertas itu dibaca oleh Tuan Amali. Sebagai perangkat desa yang menjadi bawahan Tuan Amali, Pak Mardho juga minta didoakan agar tidak terlalu lama menduda. Dua hari sebelum berangkat Tuan Amali sempat bercanda dengan Pak Mardho, bapaknya atau anaknya yang diharap mendapatkan jodoh terlebih dulu? Bukankah si Ayu selama ini ke mana-mana selalu berdua dengan lelaki sepupunya sendiri? Waktu diundang berbuka puasa bersama tempo hari si Ayu juga tidak dating karena ada syukuran di rumah sepupunya itu?
“Lahir, rezeki, jodoh, dan mati di tangan Allah,” jawab Pak Mardho.
“Rezeki di tangan Allah…,” Tuan Amali menimpali sambil tertawa.
“Doakan juga agar pemikiran penduduk kita berubah.”
Kata-kata “rezeki di tangan Allah” itulah yang hampir selalu menjadi bahan ingatan Tuan Amali. Sebagai kepala desa yang bukan penduduk asli di sini, segala usaha Tuan Amali dan perangkatnya selalu gagal untuk mengubah jalan hidup penduduknya. Sebagian besar penduduk Tuan Amali adalah pengemis secara turun-temurun. Alasan mereka selalu sama,” rezeki di tangan Allah”, maka ketika tangan mereka menadah dan orang lain mengulurkan tangannya untuk memberi adalah perwujudan “rezeki di tangan Allah”. Pagi-pagi mereka menyebar ke berbagai tujuan. Ada yang berpakain jelek dan kumal agar menimbulkan belas kasihan, ada pula yang berpakaian sewajarnya.
Mereka yang mengemis secara berkelompok akan membagi penghasilan mereka. Hasil mengemis hari Senin untuk si A, hari Selasa untuk si B, hari Rabu untuk si C, dan seterusnya. Kadang mereka juga bersepakat membagi secara merata penghasilan dalam seminggu. Mereka bisa hidup, buat rumah, beli sawah, beli ternak, beli kendaraan, dan semacamnya dari hasil mengemis. Mereka ada yang mengemis dengan menyewa kendaraan dan pengeras suara untuk berkeliling dari kota ke kota, masuk ke pasar-pasar dan tempat-tempat ramai dengan menyodorkan kaleng, serta ada pula yang mencegat di jalan-jalan. Juga ada di antara mereka yang mengemis memakai surat atau proposal yang terlaminating hingga kumal. Di mata para kepala desa yang lain, karena desanya dikenal sebagai ”desa pengemis”, Tuan Amali sering dijuluki sebagai “lurahnya pengemis”.
Tuan Amali dan istrinya telah menunaikan salat sunah beberapa kali. Sambil menghadap ke arah Kabah Tuan Amali memanjatkan doa untuk diri dan keluarganya, untuk Pak Mardho, dan yang terakhir untuk penduduknya di kampung halaman sana.
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau tidak akan mengubah nasib suatu kaum itu sendiri tidak mau mengubah nasibnya. Untuk itu ya Allah, hamba memohon kepada-Mu agar membuka hati dan sifat peminta-minta. Berikan mereka jalan hidup dan penghidupan yang lebih terhormat….”
Di saat Tuan Amali khusuk berdoa, helikopter itu datang kembali, berputar-putar dengan dengan suara menderu. Setiap kali melintas di atas kepala, orang yang duduk bersila melihatnya dengan pandangan menyerah, seperti menyaksikan kedatangan malaikat yang hendak menentukan nasib mereka selanjutnya. Dari lantai yang paling atas Masjidil Haram ini langit memamang selalu tampak kerontang. Heli warna kuning itu tak ubahnya penguasa tunggal yang mengawasi seluruh gerak-gerik ribuan orang di bawahnya. Ketika heli itu menjauh orang-orang pun kembali menunduk dengan khusyuk, melafalkan ayat-ayat dan doa-doa harapan. Sementara deru heli masih tersisa di telinga. Sebentar lagi dia akan lenyap sebelum datang kembali beberapa saat kemudian.
Matahari condong ke akar langit. Bayangan Sembilan menara bulan sabit sudah tampak merebah panjang. Tuan Amali dan Nyonya Tilah melihat di balik tiga buah kubah warna cokelat juga telah meneduh. Para jamaah memanfaatkannya dari sengatan matahari. Bukit-bukit dan bangunan-bangunan jangkung di sekeliling semakin jelas dalam pandangan. Sebentar lagi lampu-lampu di ujung tiang akan segera menyala, lalu disusul kumandang adzan yang menyeru dari pengeras suara di tiap-tiap menara dan tiang. Ketika salat suara imam menggema ke langit bersama embusan angina yang hening. Tuan Amali dan istrinya merasa sangat kecil di hadapan kebesaran Sang Pencipta.
Jalan Jabal Al-Kaabah adalah wilayah yang sangat ramai karena merupakan akses mendekati masjid. Hari ini Tuan Amali tanpa didampingi Nyonya Tilah karena istrinya mengeluh kecapekan. Di depan Al Hadeel Hotel, di saat situasi sangat ramai, Tuan Amali melihat seseorang memotret salah satu anak buntung yang meminta-minta. Tiba-tiba seorang perempuan bercadar hitam menghalangi pemotretan itu. Maksudnya sangat jelas, si anak dilarang dipotret. Ada yang bilang perempuan bercadar itulah yang memperkerjakan anak-anak tersebut untuk meminta-minta. Keganjilan lain segera terkuak. Seorang perempuan lain nekat mendekati salah satu anak dan meraba-raba lengan atasnya hingga ke dekat leher. Dengan cepat pakaian anak itu ditarik kesamping. Maka terkuaklah kebohongan mereka. Ternyata lengan anak-anak itu tidak buntung, melainkan ditekuk sebatas pergelangan lantas dimasukkan ke dalam baju. Pantas mereka hanya menongolkan ujungnya saja karena takut ketahuan lekuk lengannya yang disembunyikan.
Mengetahui kejadian itu tiba-tiba Tuan Amali merasa perlu bertindak lebih jauh. Dia merasa selama ini anak-anak itu sudah menipu orang banyak. Ini adalah tanah suci. Penipuan tidak boleh dibiarkan di depan mata. Dengan agak kasar Tuan Amali hendak membuka pakaian salah satu anak yang pura-pura bunting itu. Si anak menolak. Mungkin karena jengkel, tubuh anak itu didorong-dorong dan ditebah dengan sajadah. Perempuan bercadar yang memperalat si anak tampak segera mendekat. Tapi seorang lelaki lain berkopiah cokelat dengan nada bersemangat mencoba membela si anak.
“Apa urusanmu dengan dia?” katanya dengan nada tinggi, mimiknya tampak serius.
“Mereka telah mengotori tanah suci!” jawab Tuan Amali tak kalah sengit.
“Mereka tidak memaksa. Tidak ada yang dirugikan. Kalau kamu tidak mau memberi ya sudah!”
“Niat saya hanya satu, menyingkap kebohongan terhadap orang banyak!” tambahnya. Keduanya sambil tetap berjalan dalam kerumunan. Beberapa orang melihat ke arah mereka secara bergantian.
“Meminta-minta adalah urusan pribadi!”
“Tapi meminta-minta dengan cara menipu tidak bisa dibenarkan.”
“Mereka anak-anak yang miskin!” lelaki berkopiah coklat itu menuding-nuding ke belakang.
“Anak-anak itu mungkin tidak miskin. Mereka diperalat oleh perempuan tadi!”
“Mengapa kamu tidak berani bilang begitu sama dia?”
“Omongan sudah tidak mempan buat dia, tapi harus dengan tangan kita.”
“Kamu tidak punya hak!”
“Ini juga salah satu cara yang saya tempuh. Memang pahit, tapi harus saya lakukan untuk menyatakan kebenaran!” tegas Tuan Amali.
“Kamu harus bisa mengendalikan kesabaran di sini.”
“Kesabaran bukan berarti diam ketika melihat kejahatan!”
Tuan Amali dan lelaki berkopiah coklay it uterus beradu mulut sambil berjalan. Mereka kadang-kadang saling melihat. Jarak mereka merenggang karena didesak orang-orang yang berjalan. Sesekali nada suaranya terdengar ditinggikan. Lama-lama keduanya mungkin sudah tidak saling melihat wajah masing-masing. Tapi adu mulut mereka masih terdengar hingga menjauh sebelum pada akhirnya benar-benar menghilang dibalut keramaian.
Sementara itu anak-anak yang pura-pura buntung itu tetap duduk di tempat. Sesekali mereka melihat ke sekeliling untuk mengetahui apakah ada polisi pamong praja atau tidak. Memang polisi kadang-kadang mengobrak mereka, tapi mereka segera bereaksi kembali ketika polisi telah menjauh. Kucing-kucingan terus berlangsung karena polisi rupanya hanya gertak sambal, tidak pernah menangkap dan menangani dengan serius.
Tuan Amali berhenti di depan pertokoan yang mempertemukan Jalan Jabal Al-Kaabah dengan Jalan Al-Mahakim. Sinar matahari menyengat. Sajadah yang dibawanya dipakai untuk menutup kepala. Dikenakannya kaca mata hitam lebar agak tidak silau. Terasa ada keringat mengalir dari keningnya. Tuan Amali merenungi tindakannya tadi hingga bertengkar mulut dengan lelaki berkopiah cokelat. Tuan Amali menimbang-nimbang, dia tetap yakin bahwa niatnya mulia. Kota suci harus dipertahankan kesuciannya. Beberapa saat dia tercenung di antara orang-orang yang lalu lalang di depannya. Toko-toko di sepanjang jalan ini juga selalu ramai.
Tiba-tiba Tuan Amali terkejut. Seorang lelaki tua bersongkok hitam menadahkan tangan di depannya untuk meminta sedekah. Tuan Amali ingin menyebut nama, tapi mulutnya masih tertahan oleh rasa bimbang. Dirogohnya saku kanan untuk mengambil beberapa real dan diberikan kepada sang peminta. Lelaki tua itu segera pergi dan melakukan hal yang sama kepada orang lain. Tuan Amali memandanginya hingga jarak makin merenggang. Dia mulai yakin dengan lelaki meminta-minta itu.
“Pak Dotil…!” seru Tuan Amali.
Dari jarak yang agak jauh lelaki yang diserunya tadi menoleh. Dia mencari-cari siapa yang memanggil namanya. Tuan Amali tidak memberi reaksi apa-apa. Lelaki tua tadi berjalan kembali. Sekarang Tuan Amali yakin lelaki tua yang disapanya tadi benar-benar Pak Dotil, penduduknya sendiri yang tahun ini juga menunaikan ibadah haji. Seperti kebanyakan warga di desanya, Pak Dotil sendiri juga bekerja sebagai pengemis yang selalu mangkal di pintu Pasar Rebo. Tahun ini dia naik haji ikut rombongan kota lain agar bisa serombongan dengan saudaranya. Diselah-selah ibadah yang dilakukannya di kota ini ternyata Pak Dotil memanfaatkannya juga untuk mengemis. Barangkali, bagi Pak Dotil, mengemis juga bagian dari ibadah karena “rezeki di tangan Allah”.
Cuaca makin panas. Debu-debu tersaruk kaki para pejalan hingga kurang nyaman di pernafasan. Tuan Amali berjalan mempercepat langkahnya meninggalkan Jalan Jabal Al-Kaabah. Rasanya dia ingin segera berbicara dengan Nyonya Tilah. Kata-kata yang sudah terlalu lama diingat oleh Tuan Amali muncul kembali. Para peminta-minta itu selama hidupnya akan didera dengan kemiskinan. Meski harta mereka sudah cukup, mereka akan merasa tetap miskin sehingga menjadi peminta-minta sepanjang hidupnya. Tuan Amali yakin seyakin-yakinnya, tangan di atas lebih mulia dari tangan di bawah.
Jawa Pos, Minggu 13 Juli 2014       
       

Rabu, 17 Desember 2014

MASS IN B MINOR
Oleh Deasy Tirayoh
Naz menyusuri koridor rumah sakit dengan sebuket lavender. “Saat aku marah pada masa lalu apakah ada harga yang harus kubayar?” tanya Pay.
Naz tak lantas minimpali. Lavender dimasukkannya ke vas.
“Kau marah pada masa lalu?” Naz bertanya balik. Pay bergeming menerjemah kepahitannya sendiri.
“Kau pernah mendengar musik yang menghisapmu jadi nada-nada?”

“Aku mendengar lagu sambil menyeduh kopi, apa itu tidak sama?”
“Kita membicarakan musik dan kenangan Naz, tapi kau boleh saja menyelipkan kopi sebagai pemanis.” Mereka bertukar kerling untuk selera humor masing-masing.
Di Aviagon, sebelah selatan Perancis. Pay kecil yang yatim kerap tertidur sendirian diiring musik terputar berulang sampai derit pintu berbunyi kemudian telunjuk ibunya memencet tombol off di kisaran jam dua pagi. Pay fasih bercerita dengan mata sesekali terunduk. Naz menyimak dengan tekun.
“Mau aku putarkan sebuah instrument klasik Pay? Aku punya di i-pod.” Pay menggeleng malas.
“Berapa umurmu saat kita pertama bertemu Naz?”
“16 sepertinya.”
“Kau gadis periang yang tersenyum bahkan saat kau telah sangat terlambat.”
“Aku suka tersenyum.”
Dan senyummu mengingatkanku padanya. Benak Pay.
“Kau ingat apa yang kita bicarakan saat itu?”
“Tentang kematian, kau menyebut kota hujan sebagai pelabuhan jasadmu.”
“Ya aku mengingatnya, aku masih segemuk labu saat itu.”
“Ayo tersenyumlah.”
“Nanti kau harus pergi ke Avignon Naz. Aku akan memasak ratattuille spesial untukmu di sana.”
“Dan aku harus membayar mahal untuk itu.”
Pay berseringai. Pada wajahnya bermunculan kenangan Avignon manakala mewartakannya pada Naz yang menyimak. Satu jam lekas berlalu.
“Kuharap kau tak lagi membenci masa lalu, aku ingin mendengarmu menceritakan hal lain besok, kisah cinta misalnya.” Naz melambai dengan senyuman.
Senyumanmu persis dengannya. Pay membatin lantas berpaling pada bunga lavender pemberian Naz. Jauh sebelum Indonesia mengenalkannya pada sosok periang itu, lavender telah tumbuh apik di taman Avignon. Pay juga mengenali lavender dari wangi ibunya sebagai feromon yang hidup di ingatan. Begitu pula tentang wangi tubuh Luna yang pertama kali ditemuinya di jembatan Pont d’Avignon nan jaya. Pay berdiri menunggu teman sedang Luna terpisah dari rombongan wisata. Tetapi mereka lupa bertukar nama.
Lalu, festival seni tahunan di pertengahan Juli mempertemukan kembali. Luna, penari tamu yang punya senyuman indah muncul di Avignon. Pay seorang chef di restoran La Cuisine du Dimance, restoran tersohor di kalangan turis. Siang itu, seakan takdir meluangkan kesempatan, Luna memasuki restoran dan duduk menghadap jendela. Pay bergegas menyapa.
“Kami punya menu istimewa untuk perempuan cantik dari kota hujan.” Luna terkejut.
“Kau? Akhirnya aku menemukanmu di sini.”
“Aku chef di sini, kau mencariku?”
“Salah satu alasanku ke Avignon adalah menagih sesuatu padamu.”
“Apa itu?”
“Namamu, karena kita berpisah begitu saja di tepi sungai La Rhoene.”
Pertemuan kedua namun perkenalan pertama, dan harus dirayakan dengan gemilang. Maka Pay memasak khusus, Noix de St Jacques tersaji dengan sayur sesuai musim adalah sajian paling wahid di Avignon.
“Tulislah tentang Palais des Papes, sebagai salah satu yang megah dan penting dalam sejarah kekristenan di Eropa,” tegur Pay. Luna tersentak hingga menjatuhkan buku diary dari pangkuan. Ditengoknya jam lalu melirik pada Pay yang masih berseragam chef.
“Siang ini, aku ingin mengahabiskan waktu denganmu.”
“Pekerjaanmu? Apa kau meninggalkan banyak menu di atas nyala kompor?”
“Nyaris seluruh waktuku disita oleh onion soup dan beef bourbignon, kau tak ingin aku mati kesepian di dapur dengan pakaian ini kan?”
“Jangan, kau harus ke kota hujan dan mati di sisiku.”
Mereka tertawa. Nampak mata Pay menikmati cara Luna tertawa, keseluruhan dari perempuan itu adalah keindahan dan Pay rela mati di sisinya. Di kota hujan yang jauh sekalipun.
“Kau menulis?”
“Apa kau ingin ada dalam tulisanku Pay?” Lengkungan alis Luna menanti jawaban.
“Tentu, tulislah tentang lelaki Avignon bermata biru.”
“Menarik.”
“Jam berapa pertunjukanmu sebentar malam?”
“Delapan.”
“Apa kau boleh ada di studio ini?”
“Asalkan kau memprotes aroma rosemery dan tarragon di sekujur tubuhku.”
##
Kemudian, pada pukul delapan malam Pay ada di antara penonton yang terpukau. Sesuai acara mereka berjalan kaki menikmati angin laut mediteran yang mengepung Aviagnon, udara malam menginisiatif Pay membuka jasnya, menyelimuti pundak Luna yang terbuka. Pundak sekal dengan ulir elok, memukau, serupa sinar bulan di langit Perancis. Di depan museum Lee Muse Calvet nan megah, kokoh temboknya jadi saksi bisu, saat pertama kali Pay mencium Luna dengan mesra.
##
Untuk sampai ke Jakarta, Naz naik kereta dari Bogor. Biasanya di peron ini dia akan bertemu Pay, lelaki tua dengan roman Perancis. Mereka punya mata yang sama indahnya. Ibunya hanya pernah bercerita bagaimana Naz bisa bermata biru, itu kau peroleh dari Eropa. Tetapi ayah Naz pribumi. Ayah yang punggungnya ditelan pintu ketika Naz masih kecil, kemudian dia tak menemukannya lagi hingga ibunya bercerita tentang perceraian dengan air muka dingin.
Suster baru saja mengantar sarapan saat suara langkah Naz memecah suasana.
“Kupikir kau tak akan datang.”
Naz meletakkan bungkusan di sebelah bunga Lavender.
“Hari ini aku membawakanmu buku dan kaset.”
“Apa kau menyuruhku membaca dongeng?”
“Kau terlalu tua untuk itu, kubawakan buku tentang kota hujan kau pasti akan tergila-gila membacanya.”
“Kau mengejekku dengan sangat sopan Naz.”
“Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat jika kau sembuh.”
“Kemana?”
“Pastinya bukan ke Perancis.”
“Lalu?”
“Mengunjungi ibuku.”
Pay tertegun, karena Naz menerimanya sebagai bagian dari orang terdekat. Bersahabat dengan gadis periang adalah anugerah terberi setelah bertahun nihil menemu jejak Luna.
“Kau punya ibu?”
“Aku tidak turun dari langit Pay!”
“Haha. Maksudku kau bahkan tak pernah bercerita tentangnya.”
Naz tak pernah bercerita tentang ibunya karena ia tak punya alasan menceritakannya, kecuali Pay bertanya.
“Kau akan kuajak menemuinya yang berulang tahun.”
“Aku ingin segera sembuh karena itu.”
“Kau punya kisah apa hari ini? Bagaimana kalau tentang ibumu Pay?”
“Tentu saja ada banyak hal yang bisa kuceritakan. Ibuku meninggal dalam sebuah kecelakaan saat perjalanan ke gereja.”
“Kematian punya ragam cara, kurasa ibumu sudah lelap dengan damai Pay.”
“Amin, betapapun dia menaklukkan luasnya hidup, dia selalu ingin berakhir di jalan yang terberkati. Perjalanan ke gereja adalah niat yang kurang lebih sama dengan harapannya.”
“Lantas kau sendiri, apa menariknya jika mati di kota hujan?”
“Karena seoarang perempuan.”
“Istrimu? Anak-anakmu?” Pay menggeleng dua kali.
“Ceritakan aku tentang dia.”
Bertahun silam, dia kutemui di Perancis, perempuan Indonesia yang membuatku datang ke sini. Dia memang tak menjanjikan apa-apa saat kami berpisah, aku putuskan menunggunya kembali ke festival tahunan. Bertahun-tahun, setiap Juli kumenunggu di jembatan yang sama, namun dia tak datang. Kemudian kumenikah dan gagal karena ketidakcocokan. Harusnya aku patah hati untuk itu, tetapi tak seberapa nyeri ketimbang perpisahanku dengan perempuan dari kota hujan.
Kontrak kerja kuperoleh, sebuah hotel di Indonesia membutuhkanku sebagai executive chef . Kukira itulah jalan menemukan hatiku kembali. Tapi mungkin saja kekeliruanku adalah dalam berupaya bersikap rasional. Karena dalam perasaan sengit di bawah sadar aku justru sedang membuka gerbang kekecewaanku pelan-pelan. Awalnya kutinggal Jakarta, dengan perasaan yang belum tenteram karena jejak perempuan nihil. Maka kupindah ke Bogor, untuk alasan yang lagi-lagi tak logis. Bagaimana mungkin aku rela menempuh jarak lebih jauh agar bisa tinggal di kota hujan?
Lalu kau ada di stasiun kereta itu Naz. Pada suatu pagi yang tidak terlalu tergesa, kau membaca buku sambil bersandar di peron. Kuingat hal itu dengan jelas sebab kau jadi replika dari sosok yang kucari, hanya saja kau jauh lebih muda.
Naz terperangah, tidak bertanya apa-apa. Ada ngilu bersilang sengkarut dalam pikiran. Selanjutnya, Naz cuma mengingatkan soal bungkusan yang diletakkan dekat dengan bunga.
Hal yang disukai Pay dari Bogor yaitu menghirup wangi sisa hujan. Pay duduk di tepi ranjang. Bungkusan dari Naz masih rapi. Di bawah lampu meja, tangan Pay tekun membuka. Jembatan di Bawah Purnama di sampul bercorak malam yang menampilkan Pont d’Avignon sebagai latar, Pendar Bulan nama penulisnya. Pay terpukau dengan pundak kebas. Satu benda lain yang sejurus menguras penasarannya, kaset dari Naz.
Ada rasa tercekat ketika kaset yang dibukanya adalah lagu klasik yang membuatnya terhisap pada masa ibunya bekerja hingga larut malam dan meninggalkannya bersama lantunan musik. Musik yang sama saat tubuh indah Luna terbaring dipelukannya.
MASS IN B MINOR dari J SEBASTIAN BACH
“Tolong kau jelaskan apa artinya semua ini Naz?”
“Besok pagi kau kujemput, kita akan pergi mengunjunginya.”
Telepon ditutup dan menyisakan denyut panjang.
Untuk sesaat bahkan seabad, Pay hanya ingin mematung guna menurut makna dari pola yang dibentuk waktu, seketika gigil merambati pijakan kaki tanpa pilihan yang bisa mendorongnya untuk tidak percaya. Sebuah epitaf mengukir nama itu: Luna Cahayani.
“Ibu menulis novel saat tidak menari lagi karena terserang kanker tulang. Dan untuk hidupnya yang singkat diapun menulis. Dia ingin bercerita bahwa Perancis telah menjadi catatan terindah.” Naz menabur bunga ke pusara.
Pendar Bulan?”
“Itu nama pena.”
“Kau sudah tahu sejak awal?”
“Tidak, sampai kau bercerita di rumah sakit. Sepanjang jalan pulang aku memikirkan kisahmu yang punya benang merah dengan novel ibu. Sekarang aku tahu darimana mata biru ini kuperoleh.”
“Ya tentu saja itu dari Perancis.”
Pay memeluk tubuh Naz, memeluk seluruh yang dihadiahkan waktu.
“Saat aku marah pada masa lalu apa ada harga yang harus kubayar Naz?”
“Ada.”
“Berapa?”
“Seumur sisa hidupmu akan kau habiskan di kota hujan sebagai ayahku.”

KOMPAS, MINGGU, 14 DESEMBER 2014  

Selasa, 16 Desember 2014

Bendera
Oleh Putu Wijaya
Rumah Baron yang seperti istana itu dilempari batu oleh penduduk. Kaca jendela terasnya amburadul. Pilar-pilarnya rempal belepotan lumpur.
Seorang anak tanggung memanjat pagar mau melakukan penjarahan. Untung Amat lewat, lalu mencegah. Dengan susah payah masyarakat yang sedang beringas itu dapat ditenangkan.
Usut punya usut, ketahuan apa pemicunya. Ternyata rumah kosong yang ditinggal Baron pulang kampong itu, sudah melecehkan bendera kebangsaan.
“Itu, lihat sendiri, Pak RT! Masak bendera kebangsaan kita dipasang terbalik. Putihnya di atas, merahnya di bawah!”
Amat menoleh. Betul sekali. Di depan teras bendera terpasang terbalik. Tiangnya juga bambu asal-asalan. Dengan putihnya di atas, bendera itu menggelepar lesu, dikibas angin senja yang kelelahan. Kelihatan menyedihkan.
“Itu menghina kita tidak, Pak RT?”
Amat manggut-manggut.
“Bukan hanya menghina, itu sudah menantang, Pak!”
“Itu namanya pelecehan! Masak kita biarkan lambang Negara kita dilecehkan! Kita dulu berani menyerbu imperialis yang bersenjata lengkap hanya dengan bambu runcing, masak sekarang melempem sama satu orang. Ayo serbu!”
Massa bergolak lagi. Satu orang mau merusak pagar. Amat cepat menahannya. “Jangan!”
“Lho Pak RT setuju lambang Negara kita dijungkir-balik?”
“Tidak! Tapi jangan anarkis!”
“Terbalik Pak. Bukan kita, dia yang anarkis.”
“Minggir Pak Amat!”
Seseorang tiba-tiba berlari melemparkan sebungkus kotoran ke dalam. Langsung menimpa lampu gantung di teras. Bergoyang dan jatuh. Semua bersorak.
Amat coba menghalangi ketika ada lagi yang mau melempar. Tapi sudah terlanjur. Bungkus kotoran itu sudah melayang. Amat yang terlambat bereaksi, kecipratan. Massa berteriak histeris kegirangan.
Dengan sabar Amat menghapus tai dari mukanya lalu berteriak, “Stoppp! Ini rumah kosong!! Dititipkan sama kita, sebab orang tuanya sakit keras. Kalau mau protes nanti kalau orangnya sudah datang.”
“Kita tidak bisa membiarkan Sang Saka Dwi Warna diobok-obok begitu, Pak RT.”
“Kalau di Amerika begini, orangnya sudah ditembak mati.”
“Bakar!”
“Setuju! Bakar Saja!”
“Ratakan dengan tanah!”
“Mumpung orangnya lagi pergi, jarah saja! Uang rakyat!”
Beberapa orang langsung melempar batu, yang nampaknya sudah dipersiapkan. Batu-batu gemuruh bertaburan menghujani rumah.
“Ganyang!”
Semua orang berkoar dam mengeram. Amat terpaksa berteriak-teriak. Tapi suaranya malah seperti komando untuk menggempur habis-habisan rumah itu.
“Biar kata cuma naik sepeda kita punya harga diri. Right or wrong my country, kan.”
“Mentang-mentang naik Ferrari, mentang-menang punya tambang batubara, kamu pikir bisa seenak udelmu mengencingi kepala kita?! Bangsat! Ayo serbu!”
Amat terpaksa pasang badan.
“Jangan!”
Tapi massa tak bisa dibendung. Emosi mereka sudah muncrat. Amat dilabrak. RT yang mencoba menegakkan hukum itu, tumbang.
Beberapa anak muda sudah meloncati pagar. Mereka langsung mendobrak pintu.
Tiba-tiba terdengar suara tembakan. Semua orang terkejut. Di jalanan Nampak seorang petugas menghunus sebuah senjata laras panjang. Lalu muncul Baron, orang kaya pemilik rumah itu.
Anak-anak muda yang sudah melompati pagar, diam-diam menghilang lewat samping rumah.
Petugas terus mengacungkan senjatanya. Sekarang terarah langsung kepada massa yang sedang brutal itu.
“Jangan bergerak semua! Berdiri di tempat!”
Seperti kena sihir, semua diam di tempat. Baron lalu maju dan berbicara. Suaranya sopan dan sejuk.
“Maaf, kalau saya boleh bertanya. Mengapa rumah saya dilempari batu?”
Suara Baron tenang dan jelas. Semua mendengar. Tidak ada ampas marah dalam suara itu. Pertanyaan Baron seperti siraman semprotan pemadam api, membuat semua tertegun. Kobaran emosi liar semua orang langsung menguap.
Amat yang masih terjerembab dan kesakitan kena injak entah oleh siapa, perlahan berdiri. Lalu mendekat ke arah Baron.
“Pak Amat.”
Amat bingung. Terjepit antara kedua tugasnya yang bertentangan.
“Pak Baron, maaf.”
Mata semua orang bergeser ke Amat. Pak RT itu jadi gugup.
“Ada apa Pak Amat?”
“Maaf Pak Baron, saya sudah berusaha maksimal.”
“Ya. Tapi ada apa?”
Seorang warga yang berdiri di belakang Amat, berbisik.
“Katakan terus-terang, kalau masih saying sama keluarga!”
“Apa salah saya? Kenapa rumah saya dilempar batu?”
Amat menarik napas panjang, lalu bicara lantang agar semua orang mendengar.
“Kami semua protes, Pak Baron.”
Warga yang di belakang Amat, kembali berbisik.
“Bagus, itu baru RT pilihan rakyat!”
“Protes apa Pak Amat?”
“Ya. Kami protes.”
“Kami?”
“Ya. Kami semua warga, protes!”
“Kenapa?”
Amat mendekat, lalu menunjuk kea rah bendera.
“Karena Pak Baron mengibarkan bendera kita terbalik. Putihnya di atas, merah di bawah.”
“O ya?”
“Ya. Itu lihat!”
Amat berbalik sambil menunjuk ke arah bendera. Tapi ternyata bendera itu sudah tidak ada lagi di situ.
“Terbalik? Seingat saya kami pergi awal bulan dan tidak pasang bendera. Rencananya cepat kembali sebelum tanggal 17 supaya bisa ikut pasang bendera.”
Seorang warga yang ada di dekat pagar, membentak pemuda yang sudah menurunkan bendera yang terbalik itu.
“Kenapa diambil? Goblok! Pasang lagi!”
Pemuda yang tadi mengamankan bendera yang terbalik itu cepat menegakkan tiang bendera di tempat semula. Tapi sudah dikoreksi. Merahnya di atas.
“O, itu?” tunjuk Baron.
Amat terkejut melirik bendera itu sudah terpasang lagi. Ia menjawab gugup.
“Betul!”
“Tapi apanya yang terbalik. Itu kan benar? Merahnya di atas??”
Amat berbalik memandang bendera dan terkejut.
“Sialan!” bentak seorang warga, pada yang memasang bendera, “Terbalik! Putihnya di atas, goblok!”
Tiang bendera direbahkan lagi. Bendera cepat dibalik. Putihnya di atas.
“Nah itu dia Pak Baron!” kata Amat, setelah bendera putih-merah tegak lagi.
Baron menatap bendera itu sambil manggut-manggut, mengerti.
“Wah ini benar-benar kesalahan fatal! Kecerobohan yang tidak bisa dimaafkan! Dosa tak berampun. Kalau ini kesengajaan, ini tindakan subversive, kriminalitas tingkat satu!”
Warga bingung karena Baron tidak marah. Justru menyalahkan dirinya. Emosi warga jadi bangkit lagi. Semua kembali menyala tak terkendali, mau menerjang…
“Kami semua tersinggung, tidak terima bendera kebangsaan dilecehkan begitu. Betul tidak, Bung?!”
Beberapa warga menjawab serempak: “Betul!”
Semua warga ngumpat dan beringas.
“Siapa takut! Kami tidak rela kemerdekaan yang sudah direbut dengan pengorbanan darah, nanah, air mata, bahkan nyawa oleh para pahlawan, dipersetankan!”
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawan-pahlawannya.”
“Dan bendera kebangsaannya!”
“Tunggu! Gua belum rampung! Dan bendera kebangsaannya!”
“Kenyataan berapa juta pun tidak sebanding dengan rasa kebangsaan kami?! Siapa bilang kami sudah kehilangan karakter??!”
“Bakar saja!”
Melihat Baron ngeper, massa kembali mau meneruskan kebrutalannya. Petugas terpaksa menembakkan lagi senapannya ke atas.
Massa tertegun. Tapi hanya sekejap. Lalu mereka maju mau menyerang petugas.
Melihat ada bahaya, petugas langsung naik motor dan kabur. Amat mencoba menahan warga yang hendak mengalihkan amarahnya kepada Baron.
Baron pucat-pasi, tapi tidak menyerah. Ia tersenyum dan mengangkat kedua tangannya.
“Bapak-bapak, saya salah, saya menyerah. Saya minta ampun. Saya sudah salah besar menyuruh pembantu saya Iyem yang buta huruf untuk memasang bendera. Ia sudah pikun, umurnya 80 tahun dan buta warna. Saya betul-betul minta ampun, saya yang salah!”
Sikap Baron tambah merangsang keberanian warga.
“Minta ampun, minta ampun apaan?! Sesudah menghina baru minta ampun! Antek kapitalis!”
“Hancurkan saja rumahnya!”
“Ya, silakan! Hancurkan saja rumah saya! Tidak apa! Saya memang kurang ajar! Saya harus dihukum! Dosa saya terlalu besar!”
Baron mengambil batu dan melemparkan ke rumahnya sendiri. Tepat mengenai kaca jendela. Suara kaca pecah mengejutkan semua orang.
Baron mengambil batu lagi dan siap melempar.
“Ayo silakan, hancurkan saja!”
Baron terus melempari rumahnya, seperti kalap. Warga yang semula liar tak terkendali, terpesona. Semua itu di luar perhitungan mereka. Andaikan Baron mencak-mencak marah, akan lebih mudah. Andaikan Baron menyalahkan mereka, mereka tidak akan ragu-ragu meratakan rumah orang kaya itu dengan tanah.
“Ayo hancurkan saja!”
Baron terus menghujani rumahnya dengan batu. Amat pun terpesona. Satu per satu warga cuci tangan, diam-diam meninggalkan tempat itu. Mereka bingung.
Akhirnya hanya tinggal Amat. Baron lalu membuka baju. Ia mengeluarkan korek api dari kantungnya, lalu membakar bajunya.
“Bakar saja! Bakar saja! Biar saya kapok! Biar saya tidak mengulangi dosa saya! Biar semua orang takut kalau menghina bendera berarti menghina Negara dan bangsa. Kita harus punya sikap yang tegas!!”
Semua orang sudah pergi. Beberapa melihat dari kejauhan apa yang sedang terjadi. Itu sesuatu yang baru buat mereka.
Baron hendak melemparkan bajunya yang terbakar ke arah rumahnya. Amat kaget lalu cepat menghalangi langkah Baron.
“Pak Baron, jangan!”
“Biar! Biar tidak ada lagi yang mencoba menghina bendera kita!”
Baron mengambil ancang-ancang untuk melempar. Amat langsung menyergap dari belakang.
“Jangan Pak Baron! Eling!”
Baron meronta.
“Biar jadi pelajaran! Biar tidak ada lagi yang berani melecehkan Sang Saka!”
“Demi Tuhan, jangan Pak Baron! Kalau terbakar bisa merembet!” Seluruh permukiman kita bisa jadi abu!”
“Bakar! Bakar!”
Baron berteriak-triak histeris. Warga yang melihat dari kejauhan tak tahan lagi melihat orang kaya yang seperti kesurupan itu.
“Jarah! Jarah!”
Baron melompat menghindar dari Amat. Terpaksa Amat memberangusnya dengan keras.
Baron berteriak kesakitan.
“Aduh, Pak RT, sakit!”
“Makanya, tenang Pak Baron!”
Amat menekuk tangan Baron lebih keras.
“Tenang!”
Baron berhenti meronta. Badannya lemas.
“Ya begitu. Sabar saja, Pak Baron.”
“Saya sabar, Pak Amat.”
“Jangan main bakar.”
“Tidak! Tapi kalau tidak begitu, mereka tidak akan pergi.”
Amat tak mengerti. Baron lalu berbisik.
“Rumah saya kan sudah diasuransikan, termasuk dari kerusakan akibat kerusuhan dan penjarahan.”
Amat melongo.
“Maksudnya?”
“Semua kerusakan akibat kerusuhan dan penjarahan akan diganti. Saya sudah lama mau memperbaiki rumah, tapi saya tidak mau memakai uang saya sendiri.”
Amat ternganga.
“Termasuk mengganti segala barang berharga dalam rumah yang dijarah. Semua akan diganti. Terima kasih banyak atas partisipasi Bapak, yang pastinya tidak akan saya lupakan.”
Amat tambah bingung.
“Tapi Cuma ini yang bisa saya berikan.”
Baron mengeluarkan sebuah amplop tebal dari kantungnya. Lalu mengulurkan ke Amat.
“Jangan dilihat jumlahnya, tapi maknanya, tanda kekompakan kita sebagai tim. Anggap saja ini uji coba untuk menggarap proyek-proyek kita selanjutnya.”
Amat tercengang, tak tahu harus bersikap bagaimana, ketika amplop itu ditaruh di tangannya…
“Ini apa, Pak Baron?”
“Maaf, lain kali saya janji pasti bisa lebih pantasnya, menghargai partisipasi Bapak!”
“Partisipasi apa?”
Baron menunjuk bendera.
“Memasang bendera yang terbalik itu.”
“Apa?”***
Jawa Pos, Minggu 12 Oktober 2014      

Rabu, 10 Desember 2014

Kota Kenangan
OLEH WINA BOJONEGORO
Kota itu memang bernama Kenangan. Sebuah kota kecil, dengan kereta kuda, jalanan paving, dan kursi-kursi besi di taman. Orang-orang datang menuju Kota Kenangan dengan kereta kuda, memarkirnya di tepi taman kota, kemudian menuju kedai kopi atau kedai makan yang bisa ditemui di mana saja di sepanjang jalan utama. Beberapa datang melalui laut, perahu-perahu berwarna-warni yang menyeberang tanpa suara dari pusat ibu kota hanya 25 menit.
Kota Kenangan memiliki tiga musim: musim luka, musim cinta, dan musim tawa. Musim luka terjadi pada bulan antara Mei-September, ialah saat para nelayan menghentikan kegiatan melautnya akibat angin dan badai. Mereka diam di rumah, sementara para istri dan anak berhemat.
Beberapa anak gadis pergi ke jalanan menjajakan bunga untuk menambah uang jajan. Anak lelaki membuat mainan kertas dan menjualnya di taman kota. Para istri mencari tambahan penghasilan dengan merajut dan dijajakannya dengan wajah muram di terik matahari. Selain harus bekerja ekstra keras, para istri harus bersiap melayani para suami lebih sering lagi. Para suami yang tidak bekerja biasanya akan melakukan kegiatan seksual lebih sering daripada saat mereka sibuk melaut. Dan hidup menjadi demikian berat. Anak-anak pun kehilangan sebagian waktu bermain, mereka lebih sering menjajakan jualan
Adapun musim cinta jatuh pada bulan Oktober-Februari. Angin tidak terlalu kencang pada musim ini, tetapi dingin yang berhembus dari utara begitu menusuk tulang. Biasanya kabut lebih sering muncul pada jam-jam seharusnya tepat untuk menyesap kopi panas. Pagi berlangsung lebih lama dari yang seharusnya. Hujan sering turun dalam volume sedang namun tempo lambat berupa rinai. Inilah musim cinta, para pelancong datang untuk menikmati sensasi kabut dan udara dingin yang menusuk. Pasangan-pasangan menjadi lebih mesra, dan cinta menjadi satu-satunya hal yang pantas diperjuangkan.
Musim tawa hanya berlangsung singkat: Maret-April. Di belahan bumi lain masa ini diberi label musim semi. Tapi, tidak di Kota Kenangan. Sebab pohon dan bunga selalu tumbuh sepanjang tahun, hanya warnanya saja yang berubah mengikuti sengatan matahari. Musim tawa adalah ketika para penjudi dan petaruh memenuhi Kota Kenangan. Mereka datang dari belahan negeri untuk melangsungkan hajat bersama: berjudi. Pada saat itu seluruh penginapan berbagai kelas penuh oleh lelaki. Mereka menghisap cerutu, menenggak bir dan tertawa-tawa dengan tawa paling keras yang pernah ada.
Dari jendela-jendela yang terbuka di lantai dua kedai minuman dan rumah-rumah judi, tawa mereka membahana, menggema, memenuhi udara Kota Kenangan. Di antara tawa-tawa itu kadang terselip rintih kecil perempuan penghibur yang menghidangkan bir serta menari pada jam tertentu. Perempuan yang memanen rezeki dalam rintih tak terbaca, dua bulan saja.
Beberapa tahun terakhir ini, mereka mengalami perubahan sistem dan pola tawa. Pada musim tawa selalu terjadi pemilihan dewan kota. Dewan kota jumlahnya hanya 10 orang saja. Setiap orang mewakili seribu penduduk berbagai usia. Maka setiap awal musim tawa akan selalu terjadi kampanye diam-diam ke rumah-rumah penduduk, kedai-kedai kopi, taman-taman, juga rumah bordil dan rumah judi.
Bisik-bisik telah dimulai di beberapa kedai kopi.
“Anda harus memilih saya, Tuan Don,” bisik Tuan Mimikri di antara cerutu dan anggur merah dari tong yang dituang dengan kran kayu warna hitam.
“Hmm… boleh saja, tapi…” Tuan Mimikri mendekatkan wajahnya ke telinga Tuan Don sambil menempelkan sebentuk kantung berwarna merah. Suara kerincing pelan tertangkap Tuan Don, lalu dia melesakkan kantung itu begitu saja ke dalam mantel tebalnya.
“Saya pasti bisa memberi Anda kenikmatan yang lain. Ini hanya beberapa keping uang emas. Bukankah Anda menyukai Nona Lusia yang pandai menari salsa?”
“Oh, itu soal kecil. Perempuan selalu suka perhiasan dan pakain indah, aku bisa mendapatkannya tanpa bantuan Anda, Tuan Mimikri. Yang saya ingin tahu, mengapa saya memilih Anda? Apa yang akan Anda lakukan jika menjadi dewan kota?” Tujuan Mimikri segera memasang posisi tegak, sedikit senyum memasang posisi tegak, sedikit senyum tersungging, dan menampilkan wibawa seorang calon dewan kota.
“Sebagai penduduk asli Kota Kenangan, saya mengetahui rahasia bahkan yang paling rahasia. Dan saya jamin, calon anggota dewan kota yang lain tidak punya informasi ini. Mereka rata-rata hasil perkawinan campur, asimilasi. Atau pendatang yang terlanjur jatuh cinta pada kota kita ini. Mereka semua oportunis. Saya mencintai kota ini sebab seluruh keluarga saya lahir di sini, nenek moyang saya lahir di sini, dan saya memahami sejarah serta penduduknya lebih dari siapa pun. Boleh dikata, darah yang mengalir dalam tubuh saya, seratus persen adalah…”
Tuan Don menyesap anggur merah lebih banyak dan mendehem.
“Tolong perhatikan pertanyaan saya semula, Tuan Mimikri.”
Tuan Mimikri gelisah sesaat, kemudian segera menguasai diri berkat pelajaran kepribadian yang disesapnya di ibu kota, pada sebuah lembaga bernama John Estarda Powers. Ia segera memperbaiki letak dasi dan jas yang terseterika dengan rapi.
“Hmmm, baiklah. Saya akan… hmm… sebagai dewan kota saya akan memperpanjang musim tawa, agar musim luka lebih pendek sehingga seluruh penduduk Kota Kenangan bahagia lebih lama.”
Tuan Don manggut-manggut. Mengisap cerutu, menenggak anggur, dan kembali manggut-manggut. Tuan Don adalah tokoh dari ibu kota yang selalu datang ke Kota Kenangan setiap musim tawa. Ia membuang berkantung-kantung uang emas untuk bersenang-senang. Kadang ia ditemani beberapa penari salsa, tapi lebih sering ia memanggil Nona Lusia untuk menari bersama, atau menari sendiri. Tuan Don biasanya hanya memandang puas dan terpesona pada gerakan gemulai nan ritmis pada tubuh ramping Nona Lusia.
Tuan Mimikri menunggu respons berikutnya dari Tuan Don. Tapi sang tokoh ibu kota itu justru membayar bil dan pergi. Ia tidak berjudi seperti biasanya, juga tidak mencari Nona Lusia. Ia berjalan mengenakan topi bowler berwarna hitam sambil masih menggigit cerutu. Tuan Mimikri mengikuti gerak tubuh Tuan Don dengan ekor matanya, namun bayangan itu segera lesap bersama tikungan jalan. Ia menjentikkan jemarinya, seorang lelaki berbadan kurus-- sepertinya anak buah—muncul tergopoh-gopoh. Tuan Mimikri membisikkan sesuatu ke telinga lelaki kurus, lalu si lelaki kurus keluar dengan terburu-buru.
Lelaki kurus tersebut bernama Rembaka. Tugasnya melayani Tuan Mimikri untuk segala keperluannya. Ia sudah tujuh tahun mengabdi pada Tuan Mimikri yang memiliki banyak kedai dan beberapa kapal penyebrangan. Juga belasan kereta kuda dan rumah bordil. Rembaka berjalan terburu-buru hendak mengejar ke mana gerangan bayangan tubuh Tuan Don, tetapi rupanya ia kehilangan buruan. Cepat benar orang itu pergi, runtuknya dalam hati.
Kota Kenangan, musim tawa masih berlangsung. Tetapi hari ini taka da tawa. Berita duka selalu menyebar lebih cepat dari angin. Kota kecil yang selalu indah dan tenang itu tiba-tiba berdarah. Sesosok tubuh tergeletak tak bernyawa pada lantai marmer. Tubuh indah itu menjadi tak indah lagi, bau anyir dan warna merah membuat para perempuan menjerit. Beberapa perempuan bahkan menangis tersedu sebab mereka mengenal korban begitu dekat.
Para lelaki segera memasang barikade. Polisi kota didatangkan. Kota Kenangan menjadi tegang. Ini bukan kecelakaan, tetapi pembunuhan. Demikian dengung beberapa orang. Para awak media lokal berdatangan, memotret korban, dan lupa pada etika berita. Mereka berebut mendapatkan momen terbaik. Berita buruk adalah berita baik bagi kami, begitu dalam hati mereka berdengung. Tubuh tak bernyawa itu milik Nona Lusia.
Kota Kenangan bukan kota istimewa lagi. Tetapi telah lama kota ini dibangun dengan konsep kota wisata untuk bersenang-senang dan hidup nyaman. Lihatlah, kursi-kursi dan taman kota, dan pepohonan, dan fasilitasnya. Sebuah perpustakaan kota berdiri megah di antara toko suvenir dan kedai kopi, dengan koleksi ratusan ribu buku. Gedung kesenian tersedia untuk menampilkan berbagai atraksi, tempat rakyat berbagai kasta bersuka-cita. Pada malam-malam libur selalu dipenuhi para penonton dari dalam kota maupun para wisatawan.
Tersedia pula rumah sakit dengan peralatan memadai. Sekolah kejuruan dan umum tersedia dengan guru-guru lokal maupun impor. Juga sebuah museum kota yang menceritakan asal muasal Kota Kenangan.
Meski ia serbabesar namun serbaada, itulah kebanggaan penduduk Kota Kenangan. Tidak gemerlap namun kombinasi seluruhnya menyenangkan. Memang belum sempurna, masih ada musim luka yang membuat getir penduduk. Tetapi apa daya, itu semua kehendak alam. Badai dan gelombang tinggi adalah kehendak Tuhan. Dan luka adalah penyeimbang bagi alam semesta agar berotasi sesuai kodratnya, gelap dan terang, suka dan duka, tangis dan tawa. Semacam keadilan alam semesta.
Wali kota yang mendengar berita kematian seorang penari salsa terkenal segera meluncur. Para polisi memberi kesempatan pada wali kota untuk menyaksikan jenazah Nona Lusia. Tiba-tiba tubuh wali kota itu bergetar. Sedu sedan perlahan mengundang beberapa kepala menengadah dan berpaling, menguar tanya.
“Pak Wali Kota menangisi jasat Nona Lusia!!?”
“Ada apa gerangan?”
“Bukankah mudah ditebak?”
“Ya, mungkin saja mereka terlibat asmara.”
“Bukankah Nona Lusia simpanan Tuan Don?”
“Sepertinya begitu, tapi entahlah.”
“Tetapi sudah jamak, perempuan cantik dan tenar seperti Nona Lusia, menjadi gundik dari banyak tokoh sekaligus. Dia bahkan bisa menjadi mata-mata ganda.”
Begitulah, dengung it uterus menebal laksana bola salju menggelinding dari kedai ke kedai, dari jalanan ke jalanan, akhirnya menyebar ke beberapa kota lainnya. Inilah pembunuh pertama kali sejak Kota Kenangan terukir dalam manuskrip sejarah. Musim tawa belum usai namun duka telah menggelapkan seluruh kota hingga kelabu. Bahkan langit pun tak rela mencerahkan diri. Beberapa kedai kopi kehilangan pembeli. Beberapa wisatawan membatalkan kunjungan. Betapa kematian telah mengubah sebuah wajah kota. Dan musim luka telah bersiap mengambil alih kekuasaan.
Wajah wali kota nan sendu terpuruk sendiri di dalam kantornya yang megah. Ia menatap layar beberapa sketsa berisi pose Nona Lusia. Penari itu telah disiapkan untuk menduduki posisi wali kota empat tahun ke depan. Pak Wali Kota baru saja menjabat setahun pada masa kedua pemilihannya. Regenerasi telah disiapkannya, dan Nona Lusia menjadi tokoh yang disembunyikan setahun ini. Kepopulerannya sebagai penari salsa diharapkan sukses mendulang para pemilih. Beberapa agenda seting telah disiapkan agar perempuan cantik berusia 36 tahun itu dapat mengambil hati para kuli tinta. Dana besar telah disiapkan agar kelak, Pak Wali Kota tetap dapat mengendalikan Kota Kenangan melalui tangan Nona Lusia.
Tetapi duka tak boleh terlalu lama. Pak Wali Kota segera menunjuk tim investigasi. Siapa yang berhubungan terakhir dengan Nona Lusia kini telah duduk antre di ruang interogasi kepolisian kota. Tak luput dari jeratan: Tuan Don dan Tuan Mimikri. Keduanya tengah sibuk berbicara dengan para pengacara untuk meloloskan diri dari jeratan sangka.
Di sebuah kedai yang tetap buka dengan diam-diam, seorang lelaki tengah menenggak champagne. Ia seperti tengah merayakan sesuatu. Tapi, ia sendirian saja. Lelaki kurus itu melesakkan topi bowler-nya dan tersenyum puas. Namanya Rembaka. Ia tengah berdoa melalui gelas champagne-nya agar jeruji besi segera dipenuhi para terdakwa pembunuhan Nona Lusia. Dan, empat tahun adalah waktu yang cukup untuk menampilkan citra diri sebaik-baiknya sebagai calon wali kota. Bukankah kaum proletar Kota Kenangan mengenal baik dirinya, yang dahulu hanyalah tukang parkir kereta kuda?

Jawa Pos, Minggu 26 Oktober 2014

Minggu, 07 Desember 2014

SAYONARA DAN BULAN BULAT
OLEH TONI LESMANA
Mereka duduk di rel. satu jalur rel yang tak terpakai, dari lima jalur yang ada di depan stasiun kecil yang sunyi itu. Rel di pinggir parit ini adalah rel terjauh dari depan stasiun. Rel ini berakhir di sebuah tugu mungil setinggi satu meter, ke sananya lagi kebun singkong. Mereka duduk tepat di depan mulut sebuah gang yang, diapit kolam-kolam kecil, mengarah ke rumah-rumah temaram.
Tak ada kereta yang lewat. Sepi. Angin mengantar dingin. Lampu di stasiun seberang mereka benderang. Begitu pula lampu-lampu yang menerangi rel. Enam tiang, setiap tiang dua lampu. Mirip sepasang mata. Sedikit jauh di arah barat dan timur, pada jarak yang mulai gelap, di setiap jalur berdiri juga tiang-tiang lampu lainnya. Semuanya menyorotkan warna merah. Empat di barat, empat di timur.
Saronay menatap bulan bulat putih di langit. Ia tercekat. Tiba-tiba saja dalam pandangannya melayang-layang kain kafan. Bulan yang putih, malam ini, tak lagi cahaya. Ia melihat kafan melayang di langit.
“Batu-batu bisa mengaduh, tapi mereka tak bisa bicara!” kekasihnya melempar-lempar batu kecil ke arah rel yang lain. Kadang terbit denting, selebihnya senyap.
Saronay masih menikmati langit. Seperti seseorang yang bercermin dan terkesima menemukan bukan dirinya yang nampak di cermin. Ia tengadah dengan napas tertahan. Ia ingin bertanya kenapa bulan seperti kain kafan. Kain kafan yang seakan dipenuhi kata-kata. Kata-kata yang tak bisa ia baca.
Ia tahu tak mungkin bertanya pada kekasihnya yang sedang dibakar cemburu. Kekasihnya selalu cemburu jika Saronay mabuk. Setiap kali mabuk ia selalu mendiamkan kekasihnya. Dan kalau sedang cemburu, kekasihnya akan minum lebih banyak, dan lebih mabuk darinya.
“Angin bisa bikin gigil, tapi mereka tak bisa bicara!” kekasihnya merapatkan jaket. Membakar rokok. Batuk-batuk. Rokok diinjak. Membakar lagi yang baru. Batuk-batuk lagi. Kunang-kunang hinggap di batu. Dikejarnya dengan bara rokok. Tak berhasil. Bara rokok ditekankan ke punggung tangan kirinya. Terpejam. Padam.
Saronay bangkit, tangannya menggapai-gapai udara, seakan ingin menangkap bulan. Tubuhnya bukannya melompat, malah miring.
Bunyi tanda akan kedatangan kereta nyaring dari stasiun. Suara operator mengabarkan nama kereta, kota asal dan tujuan kereta tersebut. Beberapa petugas keluar dari ruangan. Berdiri di pinggir rel jalur satu. Satu lampu merah berganti hijau di arah timur. Suara gemuruh dari timur. Sorot cahaya datang. Gemuruh dan cahaya mendekat. Melambat. Kereta dengan gerbong-gerbong kosong berhenti. Stasiun tertutup kereta.
“Kereta bisa gemuruh, tapi mereka tak bisa bicara!” kekasihnya membakar rokok. Batuk-batuk. Dan menekan bara pada punggung tangan. Tak meringis. Hanya menangis.
Saronay semakin miring. Jarinya meraih-raih di udara. Mukanya tetap tengadah. Bulat bulat putih. Jauh melayang di angkasa. Melayang-layang kain kafan. Remang muram kata-kata.
Beberapa wajah mengintip dari jendela kereta. Sebagian kepala-kepala terkulai seperti tak berbadan. Peluit nyaring. Gemuruh. Kereta berangkat. Pelan. Ke arah barat. Menghilang di gelap kelokan. Para petugas menghilang lagi ke ruangan. Stasiun hanya terang lampu dan beberapa burung mungil yang mencari tempat tidur.
Siapa yang tenang bersemayam dalam kafan, kata-kata apa yang nyaman berkendara kafan, di mana bulan, di mana cahaya. Saronay terus miring oleh gejolak pertanyaan, telunjuknya mulai menunjuk langit. Runcing dan gemetar.
“Luka bisa bikin perih, tapi mereka tak bisa bicara!” kekasihnya mulai membuka botol minuman. Mereguknya lalu dimuntahkan pada luka dipunggung tangannya. Berulang. Bau minuman dibawa angin.
Kunang-kunang hinggap di rel. Cepat botol minuman menghajarnya. Prang. Botol dalam genggaman tersisa setengahnya. Ujung-ujung runcingnya berkilat. Tajam.
Saronay terjatuh telentang di atas rel dengan wajah tetap memandang langit, telunjuk lurus ke bulan.
Kekasihnya mulai menjilati reruncing botol. Menikam punggung lengan. Ditarik lagi. Dijilat lagi.
Seseorang muncul dari gudang tua di sebelah kanan stasiun. Berjalan melintasi rel. Seorang lagi berlari menyusul. Tepat di bawah sepasang lampu, Nampak pakaian mereka lusuh. Lelaki dan perempuan. Berjalan menuju Saronay dan kekasihnya.
“Bagaimana? Kau dapat banyak? Beli apa saja buat makan?” tanya yang lelaki, mungkin suaminya.
“Orang-orang makin pelit! Ini aku beli ikan bakar kesukaanmu.” jawab yang perempuan.
“Mantap itu. Ya. Hanya anak-anak saja yang masih mau memberi.”
“Barangkali mereka sudah tak percaya pada amal.”
“Jaman memang makin sulit. Semakin tak ada yang bermurah hati.”
“Padahal rejeki mereka akan berlipat kalau banyak memberi pada orang miskin.”
“Haha … rejeki kita yang berlipat kalau mereka banyak memberi.”
  Mereka tertahan sejenak.
“Beri mereka!” bisik suaminya.
“Beri apa?” bisik istrinya.
“Uang receh. Sekali-kali kita memberi. Mereka lebih menyedihkan dari kita. Biar rejeki kita berlipat.”
“Mereka orang kaya.”
“Ya. Tapi lebih menyedihkan dari orang miskin.”
Istrinya melempar uang receh. Suami istri peminta-minta berjalan hati-hati. Hampir mengendap-endap. Menghindari Saronay dan kekasihanya. Melompati parit. Masuk gang.
Petugas keamanan stasiun keluar. Berdiri. Melihat ke segala arah. Seorang lagi keluar. Seluruhnya tiga orang. Dua orang membawa senter. Berjalan menyusuri dan menyoroti rel kea rah timur. Sampai lampu yang berwarna merah. Kembali lagi. Masuk ke ruangan.
Angin makin dingin. Kabut turun. Tipis. Membayang di lampu-lampu.
Bulan bulat putih. Pucat. Sedikit bergeser ke barat.
Saronay mendadak bangun. Duduk miring. Di matanya kafan berubah menjadi sajadah putih. Kata-kata yang remang gelap berlepasan dan menyatu berdiri di atasnya. Sajadah melayang dan kata-kata tegak.
Saronay merasakan gelagak pertanyaan. Di mana bulan, di mana cahaya. Pertanyaan yang saling berbenturan dalam kepalanya. Ia berharap dapat membaca kata-kata itu. Ia berharap jawaban. Tapi pikirannya benar-benar mabuk.
“Darah bisa ngalir, tapi mereka tak bisa bicara!” kekasihnya masih menjilati darah di ujung reruncing botol. Luka tak hanya di punggung tangan, tapi memanjang di lengan, sebagian di pipi.
Seluruh tubuh Saronay bergetar. Ia mencoba bangkit lagi. Miring. Jari-jarinya meraih-raih. Di matanya terus saling bergantian antara kafan dan sajadah. Kata-kata yang terbaring dan tegak.
Saronay merasakan gelagak terus memuncak. Ia tak tahan dengan serbuan mabuk, tikaman pertanyaan.
“Aku harus pergi! Kita benar-benar harus berpisah!” ucapnya patah-patah sambil tetap menatap bulan bulat putih, sambil semakin miring.
“Tak bisa. Kita saling mencintai! Kau terlalu mabuk. Dan aku cemburu pada mabukmu.” Kekasihnya mengangkat botol tinggi-tinggi.
“Ada yang lebih mencintaiku!” suara Saronay berat serak.
“Tak ada yang lebih mencintaimu daripada aku!”
“Aku harus pergi! Aku tak mencintaimu!”
“Kau mencintaiku!”
“Aku harus pergi! Aku harus pergi!” Saronay mulai berteriak tapi tubuhnya semakin miring.
“Kau mabuk! Kau lebih mencintai mabuk daripada aku!” kekasihnya mengarahkan ujung botol ke muka Saronay yang masih saja tengadah ke langit.
“Aku harus pergi!”
“Kau mau pergi ke mana? Mabuk ada dalam tubuhmu. Akan ku keluarkan sekarang juga.” Kekasihnya bergerak mengancam.
“Aku harus pergi! Pergi menemukan kata-kata!” Saronay tak memedulikan ancaman reruncing botol. Matanya dipenuhi kafan dan sajadah, yang harus bergantian, menggodanya dengan kata-kata.
“Tidak bisa! Kau mabuk, Kekasihku! Jika mau pergi kau harus bertempur dulu denganku. Baru kau boleh bertempur denganku. Baru kau boleh bertemu dengan apa saja. Mabuk sialan. Kata-kata sialan! Kalau perlu kau kuantar kau ke rumah mabuk, ke rumah kata-kata.” Kekasihnya bergerak memburu. Cemburu sudah
“Aku harus pergi! Aku mencintai kata-kata!” Saronay masuk dalam pelukan kekasihnya.
Bunyi tanda kedatangan kembali nyaring dari stasiun. Gemuruh di kejauhan. Sorot cahaya dari arah barat.
Saronay yang terus meracau digusur kekasihnya memasuki gang. Darah menetes di gang. Berbelok ke sebuah mushola di pinggir kolam. Keduanya lenyap bersamaan dengan decit memanjang dari kereta yang berhenti.
Bulan bulat putih semakin tergelincir ke arah barat. Selepas kereta berangkat lagi, stasiun kembali sunyi. Angin semakin dingin. Berhembus tipis. Mengiris apa saja.
Kegaduhan terjadi menjelang subuh. Seseorang yang hendak masuk mushola, tiba-tiba berlari dan berteriak-teriak seperti orang gila, berlari ke rumah-rumah temaram. Menggedor setiap pintu.
Orang-orang dengan kantuknya masing-masing berhamburan menuju mushola.
“Ada apa?” teriak seseorang yang baru datang.
“Saronay dan Sarotoy!” jawab yang lain gemetar.
“Pemabuk itu? Pasangan itu? Kenapa?” teriak yang lain.
“Mati di mushola!” jawab yang lainnya lagi terkencing-kencing.
“Beruntung sekali mereka mati dalam mushola. Mungkin mereka dijemput ajal ketika sedang tobat!” kata yang lainnya, diamini oleh yang juga baru datang.
Orang-orang berebutan ingin melihat ke dalam mushola, nampak di sana berpelukan sepasang tubuh bermandikan darah. Darah di mana-mana. Sepasang tubuh laki-laki telanjang. Saronay dan kekasihnya.
Orang-orang terus berdatangan. Mushola mendadak ramai seperti pasar. Stasiun tetap didatangi dan ditinggalkan kereta.
Di langit, bulan bulat putih terus mengelinding ke arah barat. Putih pucat bercadar awan tipis. Seperti dibungkus kafan, seperti mengendarai sajadah.  
Kompas, Minggu 7 Desember 2014