Pengunjung

4,915

Rabu, 17 Desember 2014

MASS IN B MINOR
Oleh Deasy Tirayoh
Naz menyusuri koridor rumah sakit dengan sebuket lavender. “Saat aku marah pada masa lalu apakah ada harga yang harus kubayar?” tanya Pay.
Naz tak lantas minimpali. Lavender dimasukkannya ke vas.
“Kau marah pada masa lalu?” Naz bertanya balik. Pay bergeming menerjemah kepahitannya sendiri.
“Kau pernah mendengar musik yang menghisapmu jadi nada-nada?”

“Aku mendengar lagu sambil menyeduh kopi, apa itu tidak sama?”
“Kita membicarakan musik dan kenangan Naz, tapi kau boleh saja menyelipkan kopi sebagai pemanis.” Mereka bertukar kerling untuk selera humor masing-masing.
Di Aviagon, sebelah selatan Perancis. Pay kecil yang yatim kerap tertidur sendirian diiring musik terputar berulang sampai derit pintu berbunyi kemudian telunjuk ibunya memencet tombol off di kisaran jam dua pagi. Pay fasih bercerita dengan mata sesekali terunduk. Naz menyimak dengan tekun.
“Mau aku putarkan sebuah instrument klasik Pay? Aku punya di i-pod.” Pay menggeleng malas.
“Berapa umurmu saat kita pertama bertemu Naz?”
“16 sepertinya.”
“Kau gadis periang yang tersenyum bahkan saat kau telah sangat terlambat.”
“Aku suka tersenyum.”
Dan senyummu mengingatkanku padanya. Benak Pay.
“Kau ingat apa yang kita bicarakan saat itu?”
“Tentang kematian, kau menyebut kota hujan sebagai pelabuhan jasadmu.”
“Ya aku mengingatnya, aku masih segemuk labu saat itu.”
“Ayo tersenyumlah.”
“Nanti kau harus pergi ke Avignon Naz. Aku akan memasak ratattuille spesial untukmu di sana.”
“Dan aku harus membayar mahal untuk itu.”
Pay berseringai. Pada wajahnya bermunculan kenangan Avignon manakala mewartakannya pada Naz yang menyimak. Satu jam lekas berlalu.
“Kuharap kau tak lagi membenci masa lalu, aku ingin mendengarmu menceritakan hal lain besok, kisah cinta misalnya.” Naz melambai dengan senyuman.
Senyumanmu persis dengannya. Pay membatin lantas berpaling pada bunga lavender pemberian Naz. Jauh sebelum Indonesia mengenalkannya pada sosok periang itu, lavender telah tumbuh apik di taman Avignon. Pay juga mengenali lavender dari wangi ibunya sebagai feromon yang hidup di ingatan. Begitu pula tentang wangi tubuh Luna yang pertama kali ditemuinya di jembatan Pont d’Avignon nan jaya. Pay berdiri menunggu teman sedang Luna terpisah dari rombongan wisata. Tetapi mereka lupa bertukar nama.
Lalu, festival seni tahunan di pertengahan Juli mempertemukan kembali. Luna, penari tamu yang punya senyuman indah muncul di Avignon. Pay seorang chef di restoran La Cuisine du Dimance, restoran tersohor di kalangan turis. Siang itu, seakan takdir meluangkan kesempatan, Luna memasuki restoran dan duduk menghadap jendela. Pay bergegas menyapa.
“Kami punya menu istimewa untuk perempuan cantik dari kota hujan.” Luna terkejut.
“Kau? Akhirnya aku menemukanmu di sini.”
“Aku chef di sini, kau mencariku?”
“Salah satu alasanku ke Avignon adalah menagih sesuatu padamu.”
“Apa itu?”
“Namamu, karena kita berpisah begitu saja di tepi sungai La Rhoene.”
Pertemuan kedua namun perkenalan pertama, dan harus dirayakan dengan gemilang. Maka Pay memasak khusus, Noix de St Jacques tersaji dengan sayur sesuai musim adalah sajian paling wahid di Avignon.
“Tulislah tentang Palais des Papes, sebagai salah satu yang megah dan penting dalam sejarah kekristenan di Eropa,” tegur Pay. Luna tersentak hingga menjatuhkan buku diary dari pangkuan. Ditengoknya jam lalu melirik pada Pay yang masih berseragam chef.
“Siang ini, aku ingin mengahabiskan waktu denganmu.”
“Pekerjaanmu? Apa kau meninggalkan banyak menu di atas nyala kompor?”
“Nyaris seluruh waktuku disita oleh onion soup dan beef bourbignon, kau tak ingin aku mati kesepian di dapur dengan pakaian ini kan?”
“Jangan, kau harus ke kota hujan dan mati di sisiku.”
Mereka tertawa. Nampak mata Pay menikmati cara Luna tertawa, keseluruhan dari perempuan itu adalah keindahan dan Pay rela mati di sisinya. Di kota hujan yang jauh sekalipun.
“Kau menulis?”
“Apa kau ingin ada dalam tulisanku Pay?” Lengkungan alis Luna menanti jawaban.
“Tentu, tulislah tentang lelaki Avignon bermata biru.”
“Menarik.”
“Jam berapa pertunjukanmu sebentar malam?”
“Delapan.”
“Apa kau boleh ada di studio ini?”
“Asalkan kau memprotes aroma rosemery dan tarragon di sekujur tubuhku.”
##
Kemudian, pada pukul delapan malam Pay ada di antara penonton yang terpukau. Sesuai acara mereka berjalan kaki menikmati angin laut mediteran yang mengepung Aviagnon, udara malam menginisiatif Pay membuka jasnya, menyelimuti pundak Luna yang terbuka. Pundak sekal dengan ulir elok, memukau, serupa sinar bulan di langit Perancis. Di depan museum Lee Muse Calvet nan megah, kokoh temboknya jadi saksi bisu, saat pertama kali Pay mencium Luna dengan mesra.
##
Untuk sampai ke Jakarta, Naz naik kereta dari Bogor. Biasanya di peron ini dia akan bertemu Pay, lelaki tua dengan roman Perancis. Mereka punya mata yang sama indahnya. Ibunya hanya pernah bercerita bagaimana Naz bisa bermata biru, itu kau peroleh dari Eropa. Tetapi ayah Naz pribumi. Ayah yang punggungnya ditelan pintu ketika Naz masih kecil, kemudian dia tak menemukannya lagi hingga ibunya bercerita tentang perceraian dengan air muka dingin.
Suster baru saja mengantar sarapan saat suara langkah Naz memecah suasana.
“Kupikir kau tak akan datang.”
Naz meletakkan bungkusan di sebelah bunga Lavender.
“Hari ini aku membawakanmu buku dan kaset.”
“Apa kau menyuruhku membaca dongeng?”
“Kau terlalu tua untuk itu, kubawakan buku tentang kota hujan kau pasti akan tergila-gila membacanya.”
“Kau mengejekku dengan sangat sopan Naz.”
“Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat jika kau sembuh.”
“Kemana?”
“Pastinya bukan ke Perancis.”
“Lalu?”
“Mengunjungi ibuku.”
Pay tertegun, karena Naz menerimanya sebagai bagian dari orang terdekat. Bersahabat dengan gadis periang adalah anugerah terberi setelah bertahun nihil menemu jejak Luna.
“Kau punya ibu?”
“Aku tidak turun dari langit Pay!”
“Haha. Maksudku kau bahkan tak pernah bercerita tentangnya.”
Naz tak pernah bercerita tentang ibunya karena ia tak punya alasan menceritakannya, kecuali Pay bertanya.
“Kau akan kuajak menemuinya yang berulang tahun.”
“Aku ingin segera sembuh karena itu.”
“Kau punya kisah apa hari ini? Bagaimana kalau tentang ibumu Pay?”
“Tentu saja ada banyak hal yang bisa kuceritakan. Ibuku meninggal dalam sebuah kecelakaan saat perjalanan ke gereja.”
“Kematian punya ragam cara, kurasa ibumu sudah lelap dengan damai Pay.”
“Amin, betapapun dia menaklukkan luasnya hidup, dia selalu ingin berakhir di jalan yang terberkati. Perjalanan ke gereja adalah niat yang kurang lebih sama dengan harapannya.”
“Lantas kau sendiri, apa menariknya jika mati di kota hujan?”
“Karena seoarang perempuan.”
“Istrimu? Anak-anakmu?” Pay menggeleng dua kali.
“Ceritakan aku tentang dia.”
Bertahun silam, dia kutemui di Perancis, perempuan Indonesia yang membuatku datang ke sini. Dia memang tak menjanjikan apa-apa saat kami berpisah, aku putuskan menunggunya kembali ke festival tahunan. Bertahun-tahun, setiap Juli kumenunggu di jembatan yang sama, namun dia tak datang. Kemudian kumenikah dan gagal karena ketidakcocokan. Harusnya aku patah hati untuk itu, tetapi tak seberapa nyeri ketimbang perpisahanku dengan perempuan dari kota hujan.
Kontrak kerja kuperoleh, sebuah hotel di Indonesia membutuhkanku sebagai executive chef . Kukira itulah jalan menemukan hatiku kembali. Tapi mungkin saja kekeliruanku adalah dalam berupaya bersikap rasional. Karena dalam perasaan sengit di bawah sadar aku justru sedang membuka gerbang kekecewaanku pelan-pelan. Awalnya kutinggal Jakarta, dengan perasaan yang belum tenteram karena jejak perempuan nihil. Maka kupindah ke Bogor, untuk alasan yang lagi-lagi tak logis. Bagaimana mungkin aku rela menempuh jarak lebih jauh agar bisa tinggal di kota hujan?
Lalu kau ada di stasiun kereta itu Naz. Pada suatu pagi yang tidak terlalu tergesa, kau membaca buku sambil bersandar di peron. Kuingat hal itu dengan jelas sebab kau jadi replika dari sosok yang kucari, hanya saja kau jauh lebih muda.
Naz terperangah, tidak bertanya apa-apa. Ada ngilu bersilang sengkarut dalam pikiran. Selanjutnya, Naz cuma mengingatkan soal bungkusan yang diletakkan dekat dengan bunga.
Hal yang disukai Pay dari Bogor yaitu menghirup wangi sisa hujan. Pay duduk di tepi ranjang. Bungkusan dari Naz masih rapi. Di bawah lampu meja, tangan Pay tekun membuka. Jembatan di Bawah Purnama di sampul bercorak malam yang menampilkan Pont d’Avignon sebagai latar, Pendar Bulan nama penulisnya. Pay terpukau dengan pundak kebas. Satu benda lain yang sejurus menguras penasarannya, kaset dari Naz.
Ada rasa tercekat ketika kaset yang dibukanya adalah lagu klasik yang membuatnya terhisap pada masa ibunya bekerja hingga larut malam dan meninggalkannya bersama lantunan musik. Musik yang sama saat tubuh indah Luna terbaring dipelukannya.
MASS IN B MINOR dari J SEBASTIAN BACH
“Tolong kau jelaskan apa artinya semua ini Naz?”
“Besok pagi kau kujemput, kita akan pergi mengunjunginya.”
Telepon ditutup dan menyisakan denyut panjang.
Untuk sesaat bahkan seabad, Pay hanya ingin mematung guna menurut makna dari pola yang dibentuk waktu, seketika gigil merambati pijakan kaki tanpa pilihan yang bisa mendorongnya untuk tidak percaya. Sebuah epitaf mengukir nama itu: Luna Cahayani.
“Ibu menulis novel saat tidak menari lagi karena terserang kanker tulang. Dan untuk hidupnya yang singkat diapun menulis. Dia ingin bercerita bahwa Perancis telah menjadi catatan terindah.” Naz menabur bunga ke pusara.
Pendar Bulan?”
“Itu nama pena.”
“Kau sudah tahu sejak awal?”
“Tidak, sampai kau bercerita di rumah sakit. Sepanjang jalan pulang aku memikirkan kisahmu yang punya benang merah dengan novel ibu. Sekarang aku tahu darimana mata biru ini kuperoleh.”
“Ya tentu saja itu dari Perancis.”
Pay memeluk tubuh Naz, memeluk seluruh yang dihadiahkan waktu.
“Saat aku marah pada masa lalu apa ada harga yang harus kubayar Naz?”
“Ada.”
“Berapa?”
“Seumur sisa hidupmu akan kau habiskan di kota hujan sebagai ayahku.”

KOMPAS, MINGGU, 14 DESEMBER 2014  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar