Bendera
Oleh Putu Wijaya
Rumah Baron yang seperti istana
itu dilempari batu oleh penduduk. Kaca jendela terasnya amburadul.
Pilar-pilarnya rempal belepotan lumpur.
Seorang anak tanggung memanjat
pagar mau melakukan penjarahan. Untung Amat lewat, lalu mencegah. Dengan susah
payah masyarakat yang sedang beringas itu dapat ditenangkan.
Usut punya usut, ketahuan apa
pemicunya. Ternyata rumah kosong yang ditinggal Baron pulang kampong itu, sudah
melecehkan bendera kebangsaan.
“Itu, lihat sendiri, Pak RT! Masak
bendera kebangsaan kita dipasang terbalik. Putihnya di atas, merahnya di
bawah!”
Amat menoleh. Betul sekali. Di
depan teras bendera terpasang terbalik. Tiangnya juga bambu asal-asalan. Dengan
putihnya di atas, bendera itu menggelepar lesu, dikibas angin senja yang
kelelahan. Kelihatan menyedihkan.
“Itu menghina kita tidak, Pak RT?”
Amat manggut-manggut.
“Bukan hanya menghina, itu sudah
menantang, Pak!”
“Itu namanya pelecehan! Masak kita
biarkan lambang Negara kita dilecehkan! Kita dulu berani menyerbu imperialis
yang bersenjata lengkap hanya dengan bambu runcing, masak sekarang melempem
sama satu orang. Ayo serbu!”
Massa bergolak lagi. Satu orang
mau merusak pagar. Amat cepat menahannya. “Jangan!”
“Lho Pak RT setuju lambang Negara
kita dijungkir-balik?”
“Tidak! Tapi jangan anarkis!”
“Terbalik Pak. Bukan kita, dia
yang anarkis.”
“Minggir Pak Amat!”
Seseorang tiba-tiba berlari
melemparkan sebungkus kotoran ke dalam. Langsung menimpa lampu gantung di
teras. Bergoyang dan jatuh. Semua bersorak.
Amat coba menghalangi ketika ada
lagi yang mau melempar. Tapi sudah terlanjur. Bungkus kotoran itu sudah
melayang. Amat yang terlambat bereaksi, kecipratan. Massa berteriak histeris
kegirangan.
Dengan sabar Amat menghapus tai
dari mukanya lalu berteriak, “Stoppp! Ini rumah kosong!! Dititipkan sama kita,
sebab orang tuanya sakit keras. Kalau mau protes nanti kalau orangnya sudah
datang.”
“Kita tidak bisa membiarkan Sang
Saka Dwi Warna diobok-obok begitu, Pak RT.”
“Kalau di Amerika begini, orangnya
sudah ditembak mati.”
“Bakar!”
“Setuju! Bakar Saja!”
“Ratakan dengan tanah!”
“Mumpung orangnya lagi pergi,
jarah saja! Uang rakyat!”
Beberapa orang langsung melempar
batu, yang nampaknya sudah dipersiapkan. Batu-batu gemuruh bertaburan
menghujani rumah.
“Ganyang!”
Semua orang berkoar dam mengeram.
Amat terpaksa berteriak-teriak. Tapi suaranya malah seperti komando untuk
menggempur habis-habisan rumah itu.
“Biar kata cuma naik sepeda kita
punya harga diri. Right or wrong my
country, kan.”
“Mentang-mentang naik Ferrari,
mentang-menang punya tambang batubara, kamu pikir bisa seenak udelmu
mengencingi kepala kita?! Bangsat! Ayo serbu!”
Amat terpaksa pasang badan.
“Jangan!”
Tapi massa tak bisa dibendung.
Emosi mereka sudah muncrat. Amat dilabrak. RT yang mencoba menegakkan hukum
itu, tumbang.
Beberapa anak muda sudah meloncati
pagar. Mereka langsung mendobrak pintu.
Tiba-tiba terdengar suara
tembakan. Semua orang terkejut. Di jalanan Nampak seorang petugas menghunus
sebuah senjata laras panjang. Lalu muncul Baron, orang kaya pemilik rumah itu.
Anak-anak muda yang sudah
melompati pagar, diam-diam menghilang lewat samping rumah.
Petugas terus mengacungkan
senjatanya. Sekarang terarah langsung kepada massa yang sedang brutal itu.
“Jangan bergerak semua! Berdiri di
tempat!”
Seperti kena sihir, semua diam di
tempat. Baron lalu maju dan berbicara. Suaranya sopan dan sejuk.
“Maaf, kalau saya boleh bertanya.
Mengapa rumah saya dilempari batu?”
Suara Baron tenang dan jelas.
Semua mendengar. Tidak ada ampas marah dalam suara itu. Pertanyaan Baron
seperti siraman semprotan pemadam api, membuat semua tertegun. Kobaran emosi
liar semua orang langsung menguap.
Amat yang masih terjerembab dan
kesakitan kena injak entah oleh siapa, perlahan berdiri. Lalu mendekat ke arah
Baron.
“Pak Amat.”
Amat bingung. Terjepit antara
kedua tugasnya yang bertentangan.
“Pak Baron, maaf.”
Mata semua orang bergeser ke Amat.
Pak RT itu jadi gugup.
“Ada apa Pak Amat?”
“Maaf Pak Baron, saya sudah
berusaha maksimal.”
“Ya. Tapi ada apa?”
Seorang warga yang berdiri di
belakang Amat, berbisik.
“Katakan terus-terang, kalau masih
saying sama keluarga!”
“Apa salah saya? Kenapa rumah saya
dilempar batu?”
Amat menarik napas panjang, lalu
bicara lantang agar semua orang mendengar.
“Kami semua protes, Pak Baron.”
Warga yang di belakang Amat,
kembali berbisik.
“Bagus, itu baru RT pilihan
rakyat!”
“Protes apa Pak Amat?”
“Ya. Kami protes.”
“Kami?”
“Ya. Kami semua warga, protes!”
“Kenapa?”
Amat mendekat, lalu menunjuk kea
rah bendera.
“Karena Pak Baron mengibarkan
bendera kita terbalik. Putihnya di atas, merah di bawah.”
“O ya?”
“Ya. Itu lihat!”
Amat berbalik sambil menunjuk ke
arah bendera. Tapi ternyata bendera itu sudah tidak ada lagi di situ.
“Terbalik? Seingat saya kami pergi
awal bulan dan tidak pasang bendera. Rencananya cepat kembali sebelum tanggal
17 supaya bisa ikut pasang bendera.”
Seorang warga yang ada di dekat
pagar, membentak pemuda yang sudah menurunkan bendera yang terbalik itu.
“Kenapa diambil? Goblok! Pasang
lagi!”
Pemuda yang tadi mengamankan
bendera yang terbalik itu cepat menegakkan tiang bendera di tempat semula. Tapi
sudah dikoreksi. Merahnya di atas.
“O, itu?” tunjuk Baron.
Amat terkejut melirik bendera itu
sudah terpasang lagi. Ia menjawab gugup.
“Betul!”
“Tapi apanya yang terbalik. Itu
kan benar? Merahnya di atas??”
Amat berbalik memandang bendera
dan terkejut.
“Sialan!” bentak seorang warga,
pada yang memasang bendera, “Terbalik! Putihnya di atas, goblok!”
Tiang bendera direbahkan lagi.
Bendera cepat dibalik. Putihnya di atas.
“Nah itu dia Pak Baron!” kata
Amat, setelah bendera putih-merah tegak lagi.
Baron menatap bendera itu sambil
manggut-manggut, mengerti.
“Wah ini benar-benar kesalahan
fatal! Kecerobohan yang tidak bisa dimaafkan! Dosa tak berampun. Kalau ini
kesengajaan, ini tindakan subversive, kriminalitas tingkat satu!”
Warga bingung karena Baron tidak
marah. Justru menyalahkan dirinya. Emosi warga jadi bangkit lagi. Semua kembali
menyala tak terkendali, mau menerjang…
“Kami semua tersinggung, tidak
terima bendera kebangsaan dilecehkan begitu. Betul tidak, Bung?!”
Beberapa warga menjawab serempak:
“Betul!”
Semua warga ngumpat dan beringas.
“Siapa takut! Kami tidak rela
kemerdekaan yang sudah direbut dengan pengorbanan darah, nanah, air mata,
bahkan nyawa oleh para pahlawan, dipersetankan!”
“Bangsa yang besar adalah bangsa
yang menghargai pahlawan-pahlawannya.”
“Dan bendera kebangsaannya!”
“Tunggu! Gua belum rampung! Dan
bendera kebangsaannya!”
“Kenyataan berapa juta pun tidak
sebanding dengan rasa kebangsaan kami?! Siapa bilang kami sudah kehilangan
karakter??!”
“Bakar saja!”
Melihat Baron ngeper, massa
kembali mau meneruskan kebrutalannya. Petugas terpaksa menembakkan lagi
senapannya ke atas.
Massa tertegun. Tapi hanya
sekejap. Lalu mereka maju mau menyerang petugas.
Melihat ada bahaya, petugas
langsung naik motor dan kabur. Amat mencoba menahan warga yang hendak
mengalihkan amarahnya kepada Baron.
Baron pucat-pasi, tapi tidak
menyerah. Ia tersenyum dan mengangkat kedua tangannya.
“Bapak-bapak, saya salah, saya
menyerah. Saya minta ampun. Saya sudah salah besar menyuruh pembantu saya Iyem
yang buta huruf untuk memasang bendera. Ia sudah pikun, umurnya 80 tahun dan
buta warna. Saya betul-betul minta ampun, saya yang salah!”
Sikap Baron tambah merangsang
keberanian warga.
“Hancurkan saja rumahnya!”
“Ya, silakan! Hancurkan saja rumah
saya! Tidak apa! Saya memang kurang ajar! Saya harus dihukum! Dosa saya terlalu
besar!”
Baron mengambil batu dan
melemparkan ke rumahnya sendiri. Tepat mengenai kaca jendela. Suara kaca pecah
mengejutkan semua orang.
Baron mengambil batu lagi dan siap
melempar.
“Ayo silakan, hancurkan saja!”
Baron terus melempari rumahnya,
seperti kalap. Warga yang semula liar tak terkendali, terpesona. Semua itu di
luar perhitungan mereka. Andaikan Baron mencak-mencak marah, akan lebih mudah.
Andaikan Baron menyalahkan mereka, mereka tidak akan ragu-ragu meratakan rumah
orang kaya itu dengan tanah.
“Ayo hancurkan saja!”
Baron terus menghujani rumahnya
dengan batu. Amat pun terpesona. Satu per satu warga cuci tangan, diam-diam
meninggalkan tempat itu. Mereka bingung.
Akhirnya hanya tinggal Amat. Baron
lalu membuka baju. Ia mengeluarkan korek api dari kantungnya, lalu membakar
bajunya.
“Bakar saja! Bakar saja! Biar saya
kapok! Biar saya tidak mengulangi dosa saya! Biar semua orang takut kalau
menghina bendera berarti menghina Negara dan bangsa. Kita harus punya sikap
yang tegas!!”
Semua orang sudah pergi. Beberapa
melihat dari kejauhan apa yang sedang terjadi. Itu sesuatu yang baru buat
mereka.
Baron hendak melemparkan bajunya
yang terbakar ke arah rumahnya. Amat kaget lalu cepat menghalangi langkah
Baron.
“Pak Baron, jangan!”
“Biar! Biar tidak ada lagi yang
mencoba menghina bendera kita!”
Baron mengambil ancang-ancang untuk
melempar. Amat langsung menyergap dari belakang.
“Jangan Pak Baron! Eling!”
Baron meronta.
“Biar jadi pelajaran! Biar tidak
ada lagi yang berani melecehkan Sang Saka!”
“Demi Tuhan, jangan Pak Baron!
Kalau terbakar bisa merembet!” Seluruh permukiman kita bisa jadi abu!”
“Bakar! Bakar!”
Baron berteriak-triak histeris.
Warga yang melihat dari kejauhan tak tahan lagi melihat orang kaya yang seperti
kesurupan itu.
“Jarah! Jarah!”
Baron melompat menghindar dari
Amat. Terpaksa Amat memberangusnya dengan keras.
Baron berteriak kesakitan.
“Aduh, Pak RT, sakit!”
“Makanya, tenang Pak Baron!”
Amat menekuk tangan Baron lebih
keras.
“Tenang!”
Baron berhenti meronta. Badannya
lemas.
“Ya begitu. Sabar saja, Pak
Baron.”
“Saya sabar, Pak Amat.”
“Jangan main bakar.”
“Tidak! Tapi kalau tidak begitu,
mereka tidak akan pergi.”
Amat tak mengerti. Baron lalu
berbisik.
“Rumah saya kan sudah
diasuransikan, termasuk dari kerusakan akibat kerusuhan dan penjarahan.”
Amat melongo.
“Maksudnya?”
“Semua kerusakan akibat kerusuhan
dan penjarahan akan diganti. Saya sudah lama mau memperbaiki rumah, tapi saya
tidak mau memakai uang saya sendiri.”
Amat ternganga.
“Termasuk mengganti segala barang
berharga dalam rumah yang dijarah. Semua akan diganti. Terima kasih banyak atas
partisipasi Bapak, yang pastinya tidak akan saya lupakan.”
Amat tambah bingung.
“Tapi Cuma ini yang bisa saya
berikan.”
Baron mengeluarkan sebuah amplop
tebal dari kantungnya. Lalu mengulurkan ke Amat.
“Jangan dilihat jumlahnya, tapi
maknanya, tanda kekompakan kita sebagai tim. Anggap saja ini uji coba untuk
menggarap proyek-proyek kita selanjutnya.”
Amat tercengang, tak tahu harus
bersikap bagaimana, ketika amplop itu ditaruh di tangannya…
“Ini apa, Pak Baron?”
“Maaf, lain kali saya janji pasti
bisa lebih pantasnya, menghargai partisipasi Bapak!”
“Partisipasi apa?”
Baron menunjuk bendera.
“Memasang bendera yang terbalik
itu.”
“Apa?”***
Jawa Pos, Minggu 12 Oktober 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar