Pengunjung

4,910

Selasa, 16 Desember 2014

Bendera
Oleh Putu Wijaya
Rumah Baron yang seperti istana itu dilempari batu oleh penduduk. Kaca jendela terasnya amburadul. Pilar-pilarnya rempal belepotan lumpur.
Seorang anak tanggung memanjat pagar mau melakukan penjarahan. Untung Amat lewat, lalu mencegah. Dengan susah payah masyarakat yang sedang beringas itu dapat ditenangkan.
Usut punya usut, ketahuan apa pemicunya. Ternyata rumah kosong yang ditinggal Baron pulang kampong itu, sudah melecehkan bendera kebangsaan.
“Itu, lihat sendiri, Pak RT! Masak bendera kebangsaan kita dipasang terbalik. Putihnya di atas, merahnya di bawah!”
Amat menoleh. Betul sekali. Di depan teras bendera terpasang terbalik. Tiangnya juga bambu asal-asalan. Dengan putihnya di atas, bendera itu menggelepar lesu, dikibas angin senja yang kelelahan. Kelihatan menyedihkan.
“Itu menghina kita tidak, Pak RT?”
Amat manggut-manggut.
“Bukan hanya menghina, itu sudah menantang, Pak!”
“Itu namanya pelecehan! Masak kita biarkan lambang Negara kita dilecehkan! Kita dulu berani menyerbu imperialis yang bersenjata lengkap hanya dengan bambu runcing, masak sekarang melempem sama satu orang. Ayo serbu!”
Massa bergolak lagi. Satu orang mau merusak pagar. Amat cepat menahannya. “Jangan!”
“Lho Pak RT setuju lambang Negara kita dijungkir-balik?”
“Tidak! Tapi jangan anarkis!”
“Terbalik Pak. Bukan kita, dia yang anarkis.”
“Minggir Pak Amat!”
Seseorang tiba-tiba berlari melemparkan sebungkus kotoran ke dalam. Langsung menimpa lampu gantung di teras. Bergoyang dan jatuh. Semua bersorak.
Amat coba menghalangi ketika ada lagi yang mau melempar. Tapi sudah terlanjur. Bungkus kotoran itu sudah melayang. Amat yang terlambat bereaksi, kecipratan. Massa berteriak histeris kegirangan.
Dengan sabar Amat menghapus tai dari mukanya lalu berteriak, “Stoppp! Ini rumah kosong!! Dititipkan sama kita, sebab orang tuanya sakit keras. Kalau mau protes nanti kalau orangnya sudah datang.”
“Kita tidak bisa membiarkan Sang Saka Dwi Warna diobok-obok begitu, Pak RT.”
“Kalau di Amerika begini, orangnya sudah ditembak mati.”
“Bakar!”
“Setuju! Bakar Saja!”
“Ratakan dengan tanah!”
“Mumpung orangnya lagi pergi, jarah saja! Uang rakyat!”
Beberapa orang langsung melempar batu, yang nampaknya sudah dipersiapkan. Batu-batu gemuruh bertaburan menghujani rumah.
“Ganyang!”
Semua orang berkoar dam mengeram. Amat terpaksa berteriak-teriak. Tapi suaranya malah seperti komando untuk menggempur habis-habisan rumah itu.
“Biar kata cuma naik sepeda kita punya harga diri. Right or wrong my country, kan.”
“Mentang-mentang naik Ferrari, mentang-menang punya tambang batubara, kamu pikir bisa seenak udelmu mengencingi kepala kita?! Bangsat! Ayo serbu!”
Amat terpaksa pasang badan.
“Jangan!”
Tapi massa tak bisa dibendung. Emosi mereka sudah muncrat. Amat dilabrak. RT yang mencoba menegakkan hukum itu, tumbang.
Beberapa anak muda sudah meloncati pagar. Mereka langsung mendobrak pintu.
Tiba-tiba terdengar suara tembakan. Semua orang terkejut. Di jalanan Nampak seorang petugas menghunus sebuah senjata laras panjang. Lalu muncul Baron, orang kaya pemilik rumah itu.
Anak-anak muda yang sudah melompati pagar, diam-diam menghilang lewat samping rumah.
Petugas terus mengacungkan senjatanya. Sekarang terarah langsung kepada massa yang sedang brutal itu.
“Jangan bergerak semua! Berdiri di tempat!”
Seperti kena sihir, semua diam di tempat. Baron lalu maju dan berbicara. Suaranya sopan dan sejuk.
“Maaf, kalau saya boleh bertanya. Mengapa rumah saya dilempari batu?”
Suara Baron tenang dan jelas. Semua mendengar. Tidak ada ampas marah dalam suara itu. Pertanyaan Baron seperti siraman semprotan pemadam api, membuat semua tertegun. Kobaran emosi liar semua orang langsung menguap.
Amat yang masih terjerembab dan kesakitan kena injak entah oleh siapa, perlahan berdiri. Lalu mendekat ke arah Baron.
“Pak Amat.”
Amat bingung. Terjepit antara kedua tugasnya yang bertentangan.
“Pak Baron, maaf.”
Mata semua orang bergeser ke Amat. Pak RT itu jadi gugup.
“Ada apa Pak Amat?”
“Maaf Pak Baron, saya sudah berusaha maksimal.”
“Ya. Tapi ada apa?”
Seorang warga yang berdiri di belakang Amat, berbisik.
“Katakan terus-terang, kalau masih saying sama keluarga!”
“Apa salah saya? Kenapa rumah saya dilempar batu?”
Amat menarik napas panjang, lalu bicara lantang agar semua orang mendengar.
“Kami semua protes, Pak Baron.”
Warga yang di belakang Amat, kembali berbisik.
“Bagus, itu baru RT pilihan rakyat!”
“Protes apa Pak Amat?”
“Ya. Kami protes.”
“Kami?”
“Ya. Kami semua warga, protes!”
“Kenapa?”
Amat mendekat, lalu menunjuk kea rah bendera.
“Karena Pak Baron mengibarkan bendera kita terbalik. Putihnya di atas, merah di bawah.”
“O ya?”
“Ya. Itu lihat!”
Amat berbalik sambil menunjuk ke arah bendera. Tapi ternyata bendera itu sudah tidak ada lagi di situ.
“Terbalik? Seingat saya kami pergi awal bulan dan tidak pasang bendera. Rencananya cepat kembali sebelum tanggal 17 supaya bisa ikut pasang bendera.”
Seorang warga yang ada di dekat pagar, membentak pemuda yang sudah menurunkan bendera yang terbalik itu.
“Kenapa diambil? Goblok! Pasang lagi!”
Pemuda yang tadi mengamankan bendera yang terbalik itu cepat menegakkan tiang bendera di tempat semula. Tapi sudah dikoreksi. Merahnya di atas.
“O, itu?” tunjuk Baron.
Amat terkejut melirik bendera itu sudah terpasang lagi. Ia menjawab gugup.
“Betul!”
“Tapi apanya yang terbalik. Itu kan benar? Merahnya di atas??”
Amat berbalik memandang bendera dan terkejut.
“Sialan!” bentak seorang warga, pada yang memasang bendera, “Terbalik! Putihnya di atas, goblok!”
Tiang bendera direbahkan lagi. Bendera cepat dibalik. Putihnya di atas.
“Nah itu dia Pak Baron!” kata Amat, setelah bendera putih-merah tegak lagi.
Baron menatap bendera itu sambil manggut-manggut, mengerti.
“Wah ini benar-benar kesalahan fatal! Kecerobohan yang tidak bisa dimaafkan! Dosa tak berampun. Kalau ini kesengajaan, ini tindakan subversive, kriminalitas tingkat satu!”
Warga bingung karena Baron tidak marah. Justru menyalahkan dirinya. Emosi warga jadi bangkit lagi. Semua kembali menyala tak terkendali, mau menerjang…
“Kami semua tersinggung, tidak terima bendera kebangsaan dilecehkan begitu. Betul tidak, Bung?!”
Beberapa warga menjawab serempak: “Betul!”
Semua warga ngumpat dan beringas.
“Siapa takut! Kami tidak rela kemerdekaan yang sudah direbut dengan pengorbanan darah, nanah, air mata, bahkan nyawa oleh para pahlawan, dipersetankan!”
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawan-pahlawannya.”
“Dan bendera kebangsaannya!”
“Tunggu! Gua belum rampung! Dan bendera kebangsaannya!”
“Kenyataan berapa juta pun tidak sebanding dengan rasa kebangsaan kami?! Siapa bilang kami sudah kehilangan karakter??!”
“Bakar saja!”
Melihat Baron ngeper, massa kembali mau meneruskan kebrutalannya. Petugas terpaksa menembakkan lagi senapannya ke atas.
Massa tertegun. Tapi hanya sekejap. Lalu mereka maju mau menyerang petugas.
Melihat ada bahaya, petugas langsung naik motor dan kabur. Amat mencoba menahan warga yang hendak mengalihkan amarahnya kepada Baron.
Baron pucat-pasi, tapi tidak menyerah. Ia tersenyum dan mengangkat kedua tangannya.
“Bapak-bapak, saya salah, saya menyerah. Saya minta ampun. Saya sudah salah besar menyuruh pembantu saya Iyem yang buta huruf untuk memasang bendera. Ia sudah pikun, umurnya 80 tahun dan buta warna. Saya betul-betul minta ampun, saya yang salah!”
Sikap Baron tambah merangsang keberanian warga.
“Minta ampun, minta ampun apaan?! Sesudah menghina baru minta ampun! Antek kapitalis!”
“Hancurkan saja rumahnya!”
“Ya, silakan! Hancurkan saja rumah saya! Tidak apa! Saya memang kurang ajar! Saya harus dihukum! Dosa saya terlalu besar!”
Baron mengambil batu dan melemparkan ke rumahnya sendiri. Tepat mengenai kaca jendela. Suara kaca pecah mengejutkan semua orang.
Baron mengambil batu lagi dan siap melempar.
“Ayo silakan, hancurkan saja!”
Baron terus melempari rumahnya, seperti kalap. Warga yang semula liar tak terkendali, terpesona. Semua itu di luar perhitungan mereka. Andaikan Baron mencak-mencak marah, akan lebih mudah. Andaikan Baron menyalahkan mereka, mereka tidak akan ragu-ragu meratakan rumah orang kaya itu dengan tanah.
“Ayo hancurkan saja!”
Baron terus menghujani rumahnya dengan batu. Amat pun terpesona. Satu per satu warga cuci tangan, diam-diam meninggalkan tempat itu. Mereka bingung.
Akhirnya hanya tinggal Amat. Baron lalu membuka baju. Ia mengeluarkan korek api dari kantungnya, lalu membakar bajunya.
“Bakar saja! Bakar saja! Biar saya kapok! Biar saya tidak mengulangi dosa saya! Biar semua orang takut kalau menghina bendera berarti menghina Negara dan bangsa. Kita harus punya sikap yang tegas!!”
Semua orang sudah pergi. Beberapa melihat dari kejauhan apa yang sedang terjadi. Itu sesuatu yang baru buat mereka.
Baron hendak melemparkan bajunya yang terbakar ke arah rumahnya. Amat kaget lalu cepat menghalangi langkah Baron.
“Pak Baron, jangan!”
“Biar! Biar tidak ada lagi yang mencoba menghina bendera kita!”
Baron mengambil ancang-ancang untuk melempar. Amat langsung menyergap dari belakang.
“Jangan Pak Baron! Eling!”
Baron meronta.
“Biar jadi pelajaran! Biar tidak ada lagi yang berani melecehkan Sang Saka!”
“Demi Tuhan, jangan Pak Baron! Kalau terbakar bisa merembet!” Seluruh permukiman kita bisa jadi abu!”
“Bakar! Bakar!”
Baron berteriak-triak histeris. Warga yang melihat dari kejauhan tak tahan lagi melihat orang kaya yang seperti kesurupan itu.
“Jarah! Jarah!”
Baron melompat menghindar dari Amat. Terpaksa Amat memberangusnya dengan keras.
Baron berteriak kesakitan.
“Aduh, Pak RT, sakit!”
“Makanya, tenang Pak Baron!”
Amat menekuk tangan Baron lebih keras.
“Tenang!”
Baron berhenti meronta. Badannya lemas.
“Ya begitu. Sabar saja, Pak Baron.”
“Saya sabar, Pak Amat.”
“Jangan main bakar.”
“Tidak! Tapi kalau tidak begitu, mereka tidak akan pergi.”
Amat tak mengerti. Baron lalu berbisik.
“Rumah saya kan sudah diasuransikan, termasuk dari kerusakan akibat kerusuhan dan penjarahan.”
Amat melongo.
“Maksudnya?”
“Semua kerusakan akibat kerusuhan dan penjarahan akan diganti. Saya sudah lama mau memperbaiki rumah, tapi saya tidak mau memakai uang saya sendiri.”
Amat ternganga.
“Termasuk mengganti segala barang berharga dalam rumah yang dijarah. Semua akan diganti. Terima kasih banyak atas partisipasi Bapak, yang pastinya tidak akan saya lupakan.”
Amat tambah bingung.
“Tapi Cuma ini yang bisa saya berikan.”
Baron mengeluarkan sebuah amplop tebal dari kantungnya. Lalu mengulurkan ke Amat.
“Jangan dilihat jumlahnya, tapi maknanya, tanda kekompakan kita sebagai tim. Anggap saja ini uji coba untuk menggarap proyek-proyek kita selanjutnya.”
Amat tercengang, tak tahu harus bersikap bagaimana, ketika amplop itu ditaruh di tangannya…
“Ini apa, Pak Baron?”
“Maaf, lain kali saya janji pasti bisa lebih pantasnya, menghargai partisipasi Bapak!”
“Partisipasi apa?”
Baron menunjuk bendera.
“Memasang bendera yang terbalik itu.”
“Apa?”***
Jawa Pos, Minggu 12 Oktober 2014      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar