SAYONARA DAN BULAN BULAT
OLEH TONI LESMANA
Mereka duduk di rel. satu jalur rel yang tak terpakai, dari
lima jalur yang ada di depan stasiun kecil yang sunyi itu. Rel di pinggir parit
ini adalah rel terjauh dari depan stasiun. Rel ini berakhir di sebuah tugu
mungil setinggi satu meter, ke sananya lagi kebun singkong. Mereka duduk tepat
di depan mulut sebuah gang yang, diapit kolam-kolam kecil, mengarah ke
rumah-rumah temaram.
Tak ada kereta yang lewat. Sepi. Angin mengantar dingin. Lampu
di stasiun seberang mereka benderang. Begitu pula lampu-lampu yang menerangi
rel. Enam tiang, setiap tiang dua lampu. Mirip sepasang mata. Sedikit jauh di
arah barat dan timur, pada jarak yang mulai gelap, di setiap jalur berdiri juga
tiang-tiang lampu lainnya. Semuanya menyorotkan warna merah. Empat di barat,
empat di timur.
Saronay menatap bulan bulat putih di langit. Ia tercekat. Tiba-tiba
saja dalam pandangannya melayang-layang kain kafan. Bulan yang putih, malam ini,
tak lagi cahaya. Ia melihat kafan melayang di langit.
“Batu-batu bisa mengaduh, tapi mereka tak bisa bicara!”
kekasihnya melempar-lempar batu kecil ke arah rel yang lain. Kadang terbit
denting, selebihnya senyap.
Saronay masih menikmati langit. Seperti seseorang yang
bercermin dan terkesima menemukan bukan dirinya yang nampak di cermin. Ia tengadah dengan napas tertahan. Ia ingin bertanya kenapa bulan seperti kain kafan. Kain kafan yang seakan dipenuhi kata-kata. Kata-kata yang tak bisa ia baca.
Ia tahu tak mungkin bertanya pada kekasihnya yang sedang
dibakar cemburu. Kekasihnya selalu cemburu jika Saronay mabuk. Setiap kali
mabuk ia selalu mendiamkan kekasihnya. Dan kalau sedang cemburu, kekasihnya
akan minum lebih banyak, dan lebih mabuk darinya.
“Angin bisa bikin gigil, tapi mereka tak bisa bicara!”
kekasihnya merapatkan jaket. Membakar rokok. Batuk-batuk. Rokok diinjak. Membakar
lagi yang baru. Batuk-batuk lagi. Kunang-kunang hinggap di batu. Dikejarnya dengan
bara rokok. Tak berhasil. Bara rokok ditekankan ke punggung tangan kirinya. Terpejam.
Padam.
Saronay bangkit, tangannya menggapai-gapai udara, seakan
ingin menangkap bulan. Tubuhnya bukannya melompat, malah miring.
Bunyi tanda akan kedatangan kereta nyaring dari stasiun. Suara
operator mengabarkan nama kereta, kota asal dan tujuan kereta tersebut. Beberapa
petugas keluar dari ruangan. Berdiri di pinggir rel jalur satu. Satu lampu
merah berganti hijau di arah timur. Suara gemuruh dari timur. Sorot cahaya datang.
Gemuruh dan cahaya mendekat. Melambat. Kereta dengan gerbong-gerbong kosong
berhenti. Stasiun tertutup kereta.
“Kereta bisa gemuruh, tapi mereka tak bisa bicara!”
kekasihnya membakar rokok. Batuk-batuk. Dan menekan bara pada punggung tangan. Tak
meringis. Hanya menangis.
Saronay semakin miring. Jarinya meraih-raih di udara. Mukanya
tetap tengadah. Bulat bulat putih. Jauh melayang di angkasa. Melayang-layang
kain kafan. Remang muram kata-kata.
Beberapa wajah mengintip dari jendela kereta. Sebagian kepala-kepala
terkulai seperti tak berbadan. Peluit nyaring. Gemuruh. Kereta berangkat. Pelan.
Ke arah barat. Menghilang di gelap kelokan. Para petugas menghilang lagi ke
ruangan. Stasiun hanya terang lampu dan beberapa burung mungil yang mencari
tempat tidur.
Siapa yang tenang bersemayam dalam kafan, kata-kata apa yang
nyaman berkendara kafan, di mana bulan, di mana cahaya. Saronay terus miring
oleh gejolak pertanyaan, telunjuknya mulai menunjuk langit. Runcing dan
gemetar.
“Luka bisa bikin perih, tapi mereka tak bisa bicara!”
kekasihnya mulai membuka botol minuman. Mereguknya lalu dimuntahkan pada luka
dipunggung tangannya. Berulang. Bau minuman dibawa angin.
Kunang-kunang hinggap di rel. Cepat botol minuman
menghajarnya. Prang. Botol dalam genggaman tersisa setengahnya. Ujung-ujung
runcingnya berkilat. Tajam.
Saronay terjatuh telentang di atas rel dengan wajah tetap
memandang langit, telunjuk lurus ke bulan.
Kekasihnya mulai menjilati reruncing botol. Menikam punggung
lengan. Ditarik lagi. Dijilat lagi.
Seseorang muncul dari gudang tua di sebelah kanan stasiun. Berjalan
melintasi rel. Seorang lagi berlari menyusul. Tepat di bawah sepasang lampu, Nampak
pakaian mereka lusuh. Lelaki dan perempuan. Berjalan menuju Saronay dan
kekasihnya.
“Bagaimana? Kau dapat banyak? Beli apa saja buat makan?” tanya
yang lelaki, mungkin suaminya.
“Orang-orang makin pelit! Ini aku beli ikan bakar
kesukaanmu.” jawab yang perempuan.
“Mantap itu. Ya. Hanya anak-anak saja yang masih mau
memberi.”
“Barangkali mereka sudah tak percaya pada amal.”
“Jaman memang makin sulit. Semakin tak ada yang bermurah
hati.”
“Padahal rejeki mereka akan berlipat kalau banyak memberi
pada orang miskin.”
“Haha … rejeki kita yang berlipat kalau mereka banyak
memberi.”
Mereka tertahan sejenak.
“Beri mereka!” bisik suaminya.
“Beri apa?” bisik istrinya.
“Uang receh. Sekali-kali kita memberi. Mereka lebih
menyedihkan dari kita. Biar rejeki kita berlipat.”
“Mereka orang kaya.”
“Ya. Tapi lebih menyedihkan dari orang miskin.”
Istrinya melempar uang receh. Suami istri peminta-minta
berjalan hati-hati. Hampir mengendap-endap. Menghindari Saronay dan kekasihanya.
Melompati parit. Masuk gang.
Petugas keamanan stasiun keluar. Berdiri. Melihat ke segala
arah. Seorang lagi keluar. Seluruhnya tiga orang. Dua orang membawa senter. Berjalan
menyusuri dan menyoroti rel kea rah timur. Sampai lampu yang berwarna merah. Kembali
lagi. Masuk ke ruangan.
Angin makin dingin. Kabut turun. Tipis. Membayang di
lampu-lampu.
Bulan bulat putih. Pucat. Sedikit bergeser ke barat.
Saronay mendadak bangun. Duduk miring. Di matanya kafan
berubah menjadi sajadah putih. Kata-kata yang remang gelap berlepasan dan
menyatu berdiri di atasnya. Sajadah melayang dan kata-kata tegak.
Saronay merasakan gelagak pertanyaan. Di mana bulan, di mana
cahaya. Pertanyaan yang saling berbenturan dalam kepalanya. Ia berharap dapat
membaca kata-kata itu. Ia berharap jawaban. Tapi pikirannya benar-benar mabuk.
“Darah bisa ngalir, tapi mereka tak bisa bicara!” kekasihnya
masih menjilati darah di ujung reruncing botol. Luka tak hanya di punggung
tangan, tapi memanjang di lengan, sebagian di pipi.
Seluruh tubuh Saronay bergetar. Ia mencoba bangkit lagi. Miring.
Jari-jarinya meraih-raih. Di matanya terus saling bergantian antara kafan dan
sajadah. Kata-kata yang terbaring dan tegak.
Saronay merasakan gelagak terus memuncak. Ia tak tahan
dengan serbuan mabuk, tikaman pertanyaan.
“Aku harus pergi! Kita benar-benar harus berpisah!” ucapnya patah-patah
sambil tetap menatap bulan bulat putih, sambil semakin miring.
“Tak bisa. Kita saling mencintai! Kau terlalu mabuk. Dan aku
cemburu pada mabukmu.” Kekasihnya mengangkat botol tinggi-tinggi.
“Ada yang lebih mencintaiku!” suara Saronay berat serak.
“Tak ada yang lebih mencintaimu daripada aku!”
“Aku harus pergi! Aku tak mencintaimu!”
“Kau mencintaiku!”
“Aku harus pergi! Aku harus pergi!” Saronay mulai berteriak
tapi tubuhnya semakin miring.
“Kau mabuk! Kau lebih mencintai mabuk daripada aku!”
kekasihnya mengarahkan ujung botol ke muka Saronay yang masih saja tengadah ke
langit.
“Aku harus pergi!”
“Kau mau pergi ke mana? Mabuk ada dalam tubuhmu. Akan ku keluarkan
sekarang juga.” Kekasihnya bergerak mengancam.
“Aku harus pergi! Pergi menemukan kata-kata!” Saronay tak
memedulikan ancaman reruncing botol. Matanya dipenuhi kafan dan sajadah, yang
harus bergantian, menggodanya dengan kata-kata.
“Tidak bisa! Kau mabuk, Kekasihku! Jika mau pergi kau harus
bertempur dulu denganku. Baru kau boleh bertempur denganku. Baru kau boleh
bertemu dengan apa saja. Mabuk sialan. Kata-kata sialan! Kalau perlu kau
kuantar kau ke rumah mabuk, ke rumah kata-kata.” Kekasihnya bergerak memburu. Cemburu
sudah
“Aku harus pergi! Aku mencintai kata-kata!” Saronay masuk
dalam pelukan kekasihnya.
Bunyi tanda kedatangan kembali nyaring dari stasiun. Gemuruh
di kejauhan. Sorot cahaya dari arah barat.
Saronay yang terus meracau digusur kekasihnya memasuki gang.
Darah menetes di gang. Berbelok ke sebuah mushola di pinggir kolam. Keduanya lenyap
bersamaan dengan decit memanjang dari kereta yang berhenti.
Bulan bulat putih semakin tergelincir ke arah barat. Selepas
kereta berangkat lagi, stasiun kembali sunyi. Angin semakin dingin. Berhembus tipis.
Mengiris apa saja.
Kegaduhan terjadi menjelang subuh. Seseorang yang hendak
masuk mushola, tiba-tiba berlari dan berteriak-teriak seperti orang gila,
berlari ke rumah-rumah temaram. Menggedor setiap pintu.
Orang-orang dengan kantuknya masing-masing berhamburan
menuju mushola.
“Ada apa?” teriak seseorang yang baru datang.
“Saronay dan Sarotoy!” jawab yang lain gemetar.
“Pemabuk itu? Pasangan itu? Kenapa?” teriak yang lain.
“Mati di mushola!” jawab yang lainnya lagi
terkencing-kencing.
“Beruntung sekali mereka mati dalam mushola. Mungkin mereka
dijemput ajal ketika sedang tobat!” kata yang lainnya, diamini oleh yang juga
baru datang.
Orang-orang berebutan ingin melihat ke dalam mushola, nampak
di sana berpelukan sepasang tubuh bermandikan darah. Darah di mana-mana. Sepasang
tubuh laki-laki telanjang. Saronay dan kekasihnya.
Orang-orang terus berdatangan. Mushola mendadak ramai
seperti pasar. Stasiun tetap didatangi dan ditinggalkan kereta.
Di langit, bulan bulat putih terus mengelinding ke arah
barat. Putih pucat bercadar awan tipis. Seperti dibungkus kafan, seperti
mengendarai sajadah.
Kompas, Minggu 7 Desember 2014
Kompas, Minggu 7 Desember 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar