Kota Kenangan
OLEH WINA BOJONEGORO
Kota itu memang bernama Kenangan.
Sebuah kota kecil, dengan kereta kuda, jalanan paving, dan kursi-kursi besi di
taman. Orang-orang datang menuju Kota Kenangan dengan kereta kuda, memarkirnya
di tepi taman kota, kemudian menuju kedai kopi atau kedai makan yang bisa
ditemui di mana saja di sepanjang jalan utama. Beberapa datang melalui laut,
perahu-perahu berwarna-warni yang menyeberang tanpa suara dari pusat ibu kota
hanya 25 menit.
Kota Kenangan memiliki tiga musim:
musim luka, musim cinta, dan musim tawa. Musim luka terjadi pada bulan antara
Mei-September, ialah saat para nelayan menghentikan kegiatan melautnya akibat
angin dan badai. Mereka diam di rumah, sementara para istri dan anak berhemat.
Beberapa anak gadis pergi ke
jalanan menjajakan bunga untuk menambah uang jajan. Anak lelaki membuat mainan
kertas dan menjualnya di taman kota. Para istri mencari tambahan penghasilan
dengan merajut dan dijajakannya dengan wajah muram di terik matahari. Selain
harus bekerja ekstra keras, para istri harus bersiap melayani para suami lebih
sering lagi. Para suami yang tidak bekerja biasanya akan melakukan kegiatan
seksual lebih sering daripada saat mereka sibuk melaut. Dan hidup menjadi
demikian berat. Anak-anak pun kehilangan sebagian waktu bermain, mereka lebih
sering menjajakan jualan
Adapun musim cinta jatuh pada
bulan Oktober-Februari. Angin tidak terlalu kencang pada musim ini, tetapi
dingin yang berhembus dari utara begitu menusuk tulang. Biasanya kabut lebih
sering muncul pada jam-jam seharusnya tepat untuk menyesap kopi panas. Pagi
berlangsung lebih lama dari yang seharusnya. Hujan sering turun dalam volume
sedang namun tempo lambat berupa rinai. Inilah musim cinta, para pelancong
datang untuk menikmati sensasi kabut dan udara dingin yang menusuk.
Pasangan-pasangan menjadi lebih mesra, dan cinta menjadi satu-satunya hal yang
pantas diperjuangkan.
Musim tawa hanya berlangsung
singkat: Maret-April. Di belahan bumi lain masa ini diberi label musim semi.
Tapi, tidak di Kota Kenangan. Sebab pohon dan bunga selalu tumbuh sepanjang
tahun, hanya warnanya saja yang berubah mengikuti sengatan matahari. Musim tawa
adalah ketika para penjudi dan petaruh memenuhi Kota Kenangan. Mereka datang
dari belahan negeri untuk melangsungkan hajat bersama: berjudi. Pada saat itu
seluruh penginapan berbagai kelas penuh oleh lelaki. Mereka menghisap cerutu,
menenggak bir dan tertawa-tawa dengan tawa paling keras yang pernah ada.
Dari jendela-jendela yang terbuka
di lantai dua kedai minuman dan rumah-rumah judi, tawa mereka membahana,
menggema, memenuhi udara Kota Kenangan. Di antara tawa-tawa itu kadang terselip
rintih kecil perempuan penghibur yang menghidangkan bir serta menari pada jam
tertentu. Perempuan yang memanen rezeki dalam rintih tak terbaca, dua bulan
saja.
Beberapa tahun terakhir ini,
mereka mengalami perubahan sistem dan pola tawa. Pada musim tawa selalu terjadi
pemilihan dewan kota. Dewan kota jumlahnya hanya 10 orang saja. Setiap orang
mewakili seribu penduduk berbagai usia. Maka setiap awal musim tawa akan selalu
terjadi kampanye diam-diam ke rumah-rumah penduduk, kedai-kedai kopi,
taman-taman, juga rumah bordil dan rumah judi.
Bisik-bisik telah dimulai di
beberapa kedai kopi.
“Anda harus memilih saya, Tuan
Don,” bisik Tuan Mimikri di antara cerutu dan anggur merah dari tong yang
dituang dengan kran kayu warna hitam.
“Hmm… boleh saja, tapi…” Tuan
Mimikri mendekatkan wajahnya ke telinga Tuan Don sambil menempelkan sebentuk kantung
berwarna merah. Suara kerincing pelan tertangkap Tuan Don, lalu dia melesakkan
kantung itu begitu saja ke dalam mantel tebalnya.
“Saya pasti bisa memberi Anda
kenikmatan yang lain. Ini hanya beberapa keping uang emas. Bukankah Anda
menyukai Nona Lusia yang pandai menari salsa?”
“Oh, itu soal kecil. Perempuan
selalu suka perhiasan dan pakain indah, aku bisa mendapatkannya tanpa bantuan
Anda, Tuan Mimikri. Yang saya ingin tahu, mengapa saya memilih Anda? Apa yang
akan Anda lakukan jika menjadi dewan kota?” Tujuan Mimikri segera memasang
posisi tegak, sedikit senyum memasang posisi tegak, sedikit senyum tersungging,
dan menampilkan wibawa seorang calon dewan kota.
“Sebagai penduduk asli Kota
Kenangan, saya mengetahui rahasia bahkan yang paling rahasia. Dan saya jamin,
calon anggota dewan kota yang lain tidak punya informasi ini. Mereka rata-rata
hasil perkawinan campur, asimilasi. Atau pendatang yang terlanjur jatuh cinta
pada kota kita ini. Mereka semua oportunis. Saya mencintai kota ini sebab
seluruh keluarga saya lahir di sini, nenek moyang saya lahir di sini, dan saya
memahami sejarah serta penduduknya lebih dari siapa pun. Boleh dikata, darah
yang mengalir dalam tubuh saya, seratus persen adalah…”
Tuan Don menyesap anggur merah
lebih banyak dan mendehem.
“Tolong perhatikan pertanyaan saya
semula, Tuan Mimikri.”
Tuan Mimikri gelisah sesaat,
kemudian segera menguasai diri berkat pelajaran kepribadian yang disesapnya di
ibu kota, pada sebuah lembaga bernama John Estarda Powers. Ia segera
memperbaiki letak dasi dan jas yang terseterika dengan rapi.
“Hmmm, baiklah. Saya akan… hmm…
sebagai dewan kota saya akan memperpanjang musim tawa, agar musim luka lebih
pendek sehingga seluruh penduduk Kota Kenangan bahagia lebih lama.”
Tuan Don manggut-manggut. Mengisap
cerutu, menenggak anggur, dan kembali manggut-manggut. Tuan Don adalah tokoh
dari ibu kota yang selalu datang ke Kota Kenangan setiap musim tawa. Ia membuang
berkantung-kantung uang emas untuk bersenang-senang. Kadang ia ditemani
beberapa penari salsa, tapi lebih sering ia memanggil Nona Lusia untuk menari
bersama, atau menari sendiri. Tuan Don biasanya hanya memandang puas dan
terpesona pada gerakan gemulai nan ritmis pada tubuh ramping Nona Lusia.
Tuan Mimikri menunggu respons
berikutnya dari Tuan Don. Tapi sang tokoh ibu kota itu justru membayar bil dan
pergi. Ia tidak berjudi seperti biasanya, juga tidak mencari Nona Lusia. Ia berjalan
mengenakan topi bowler berwarna hitam sambil masih menggigit cerutu. Tuan Mimikri
mengikuti gerak tubuh Tuan Don dengan ekor matanya, namun bayangan itu segera
lesap bersama tikungan jalan. Ia menjentikkan jemarinya, seorang lelaki
berbadan kurus-- sepertinya anak buah—muncul tergopoh-gopoh. Tuan Mimikri
membisikkan sesuatu ke telinga lelaki kurus, lalu si lelaki kurus keluar dengan
terburu-buru.
Lelaki kurus
tersebut bernama Rembaka. Tugasnya melayani Tuan Mimikri untuk segala
keperluannya. Ia sudah tujuh tahun mengabdi pada Tuan Mimikri yang memiliki
banyak kedai dan beberapa kapal penyebrangan. Juga belasan kereta kuda dan
rumah bordil. Rembaka berjalan terburu-buru hendak mengejar ke mana gerangan
bayangan tubuh Tuan Don, tetapi rupanya ia kehilangan buruan. Cepat benar orang
itu pergi, runtuknya dalam hati.
Kota Kenangan, musim tawa masih
berlangsung. Tetapi hari ini taka da tawa. Berita duka selalu menyebar lebih
cepat dari angin. Kota kecil yang selalu indah dan tenang itu tiba-tiba
berdarah. Sesosok tubuh tergeletak tak bernyawa pada lantai marmer. Tubuh indah
itu menjadi tak indah lagi, bau anyir dan warna merah membuat para perempuan
menjerit. Beberapa perempuan bahkan menangis tersedu sebab mereka mengenal
korban begitu dekat.
Para lelaki
segera memasang barikade. Polisi kota didatangkan. Kota Kenangan menjadi
tegang. Ini bukan kecelakaan, tetapi pembunuhan. Demikian dengung beberapa
orang. Para awak media lokal berdatangan, memotret korban, dan lupa pada etika
berita. Mereka berebut mendapatkan momen terbaik. Berita buruk adalah berita
baik bagi kami, begitu dalam hati mereka berdengung. Tubuh tak bernyawa itu
milik Nona Lusia.
Kota Kenangan bukan kota istimewa
lagi. Tetapi telah lama kota ini dibangun dengan konsep kota wisata untuk
bersenang-senang dan hidup nyaman. Lihatlah, kursi-kursi dan taman kota, dan
pepohonan, dan fasilitasnya. Sebuah perpustakaan kota berdiri megah di antara toko
suvenir dan kedai kopi, dengan koleksi ratusan ribu buku. Gedung kesenian
tersedia untuk menampilkan berbagai atraksi, tempat rakyat berbagai kasta
bersuka-cita. Pada malam-malam libur selalu dipenuhi para penonton dari dalam
kota maupun para wisatawan.
Tersedia pula rumah sakit dengan
peralatan memadai. Sekolah kejuruan dan umum tersedia dengan guru-guru lokal maupun
impor. Juga sebuah museum kota yang menceritakan asal muasal Kota Kenangan.
Meski ia serbabesar namun
serbaada, itulah kebanggaan penduduk Kota Kenangan. Tidak gemerlap namun
kombinasi seluruhnya menyenangkan. Memang belum sempurna, masih ada musim luka
yang membuat getir penduduk. Tetapi apa daya, itu semua kehendak alam. Badai dan
gelombang tinggi adalah kehendak Tuhan. Dan luka adalah penyeimbang bagi alam
semesta agar berotasi sesuai kodratnya, gelap dan terang, suka dan duka, tangis
dan tawa. Semacam keadilan alam semesta.
Wali kota yang mendengar berita
kematian seorang penari salsa terkenal segera meluncur. Para polisi memberi
kesempatan pada wali kota untuk menyaksikan jenazah Nona Lusia. Tiba-tiba tubuh
wali kota itu bergetar. Sedu sedan perlahan mengundang beberapa kepala
menengadah dan berpaling, menguar tanya.
“Pak Wali Kota menangisi jasat
Nona Lusia!!?”
“Ada apa gerangan?”
“Bukankah mudah ditebak?”
“Ya, mungkin saja mereka terlibat
asmara.”
“Bukankah Nona Lusia simpanan Tuan
Don?”
“Sepertinya begitu, tapi entahlah.”
“Tetapi sudah jamak, perempuan
cantik dan tenar seperti Nona Lusia, menjadi gundik dari banyak tokoh
sekaligus. Dia bahkan bisa menjadi mata-mata ganda.”
Begitulah,
dengung it uterus menebal laksana bola salju menggelinding dari kedai ke kedai,
dari jalanan ke jalanan, akhirnya menyebar ke beberapa kota lainnya. Inilah pembunuh
pertama kali sejak Kota Kenangan terukir dalam manuskrip sejarah. Musim tawa
belum usai namun duka telah menggelapkan seluruh kota hingga kelabu. Bahkan langit
pun tak rela mencerahkan diri. Beberapa kedai kopi kehilangan pembeli. Beberapa
wisatawan membatalkan kunjungan. Betapa kematian telah mengubah sebuah wajah
kota. Dan musim luka telah bersiap mengambil alih kekuasaan.
Wajah wali kota nan sendu terpuruk
sendiri di dalam kantornya yang megah. Ia menatap layar beberapa sketsa berisi
pose Nona Lusia. Penari itu telah disiapkan untuk menduduki posisi wali kota
empat tahun ke depan. Pak Wali Kota baru saja menjabat setahun pada masa kedua
pemilihannya. Regenerasi telah disiapkannya, dan Nona Lusia menjadi tokoh yang
disembunyikan setahun ini. Kepopulerannya sebagai penari salsa diharapkan
sukses mendulang para pemilih. Beberapa agenda seting telah disiapkan agar
perempuan cantik berusia 36 tahun itu dapat mengambil hati para kuli tinta. Dana
besar telah disiapkan agar kelak, Pak Wali Kota tetap dapat mengendalikan Kota
Kenangan melalui tangan Nona Lusia.
Tetapi duka
tak boleh terlalu lama. Pak Wali Kota segera menunjuk tim investigasi. Siapa yang
berhubungan terakhir dengan Nona Lusia kini telah duduk antre di ruang
interogasi kepolisian kota. Tak luput dari jeratan: Tuan Don dan Tuan Mimikri. Keduanya
tengah sibuk berbicara dengan para pengacara untuk meloloskan diri dari jeratan
sangka.
Di sebuah kedai yang tetap buka
dengan diam-diam, seorang lelaki tengah menenggak champagne. Ia seperti tengah
merayakan sesuatu. Tapi, ia sendirian saja. Lelaki kurus itu melesakkan topi
bowler-nya dan tersenyum puas. Namanya Rembaka. Ia tengah berdoa melalui gelas
champagne-nya agar jeruji besi segera dipenuhi para terdakwa pembunuhan Nona
Lusia. Dan, empat tahun adalah waktu yang cukup untuk menampilkan citra diri
sebaik-baiknya sebagai calon wali kota. Bukankah kaum proletar Kota Kenangan
mengenal baik dirinya, yang dahulu hanyalah tukang parkir kereta kuda?
Jawa Pos, Minggu 26 Oktober 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar